Suro Daeng Jarre Sang Anjing Kompeni Tewas di Ujung Keris Pusaka Datu Museng

Pimpinan penyerangan kemudian mencari siasat. Dipaksanya Datu Museng menuju Pantai Losari, dengan jalan mengumpankan beberapa serdadu yang kemudian dikejarnya ke arah pantai. 





----- 

PEDOMAN KARYA

Selasa, 02 Agustus 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (41):

 

 

Suro Daeng Jarre Sang Anjing Kompeni Tewas di Ujung Keris Pusaka Datu Museng

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

Pimpinan penyerangan kemudian mencari siasat. Dipaksanya Datu Museng menuju Pantai Losari, dengan jalan mengumpankan beberapa serdadu yang kemudian dikejarnya ke arah pantai. Musuh lalu ramai-ramai mengepungnya. Karena agak lelah, Datu Museng berlindung pada sebuah perahu yang kebetulan ada di pinggir pantai. Di sana ia menembaki musuh yang coba mendekat.

Tiba-tiba ada tembakan dari arah belakang yang mengenai tubuhnya dan mengoyakkan bajunya. Ketika ia menoleh ke belakang, dilihatnya tubarani Mangngasa yang dikenal dengan gelar Pallakina (ayam jantan) Mallengkeri, sedang mengisi peluru lagi bedilnya. Datu Museng hanya geleng-geleng kepala sambil berpikir, “Pengecut juga rupanya pallakina Mallengkeri ini. Bagaimana ia bisa memperoleh gelar yang demikian hebat itu?”

Datu Museng kemudian mengarahkan bedilnya ke belakang, dan menyalak sedetik kemudian. Tubarani Mallengkeri itu rubuh tak bernyawa. Dadanya yang bidang berbulu itu dikoyak peluru tepat di bagian jantung.

Ketika Datu Museng menengadah ke langit, matahari mulai condong ke barat. Ia yakin lohor telah tiba. Sambil berdiri bertongkatkan tombak dan bedil, ia melangkahkan kaki pulang menuju rumah, untuk mendirikan sembahyang lohor. Dikala itulah tubuhnya kembali bermandikan peluru lela dan malela yang ditembakkan ke arahnya. Ia cepat-ceoat menyelinap di antara pepohonan, kemudian langsung menuju rumahnya.

Ketika ia mengundurkan diri, I Tuan Jurubahasa yang turut menyaksikan pertempuran berdarah itu, memanggil suro Daeng Jarre Daenta Daeng Jumpandang yang selalu berada di sampingnya.

“Hai suro, cari Karaeng Galesong, I Bage Daeng Majjanji. Panggil bersama Karaeng Lewa ri Popo, I Taga ri Mangindara, Karaeng Mangemba ri Dengga dan kawan-kawannya yang lain. Katakan, aku ingin bertemu dengannya di sini!”

Agak lama juga mencari mereka baru Daeng Jarre menemukan tubarani-tubarani itu yang bertahan di sebelah timur.

Suro segera menyampaikan apa keinginan I Tuan Jurubahasa. Para tubarani kemudian beramai-ramai menemui wakil Tumalompoa. Setelah bertemu, mereka pun berembuk mencari jalan untuk menyerbu Datu Museng yang kini sedang mengundurkan diri. Mereka yakin, panglima perang Sumbawa itu kembali ke rumahnya untuk bershalat. kesempatan yang tak boleh diabaikan.

Setelah seia-sekata, barisan kompeni dan pasukan bantuan segera bergerak maju mengepung rumah Datu Museng, sekali lagi. Keadaan rumah kala itu sunyi sekali. Pimpinan penyerangan memperingatkan semua penyerbu agar tidak melepaskan satu tembakan pun ke arah rumah. Jangan sampai peluru yang kesasar mengenai tubuh Maipa Deapati dan menewaskannya. Mereka tentu mendapat hukuman berat dari Tumalompoa.

Sambil berjingkat-jingkat, takut kedengaran suara langkahnya, Daeng Jarre perlahan-lahan menaiki tangga, diiringi para pimpinan tubarani, paha-kanan, pengalas dada kompeni yang kemudian menunggu di belakang pintu.

Daeng Jarre sendiri langsung melangkah masuk ruangan sambil memegang kuat-kuat hulu kerisnya, takut tidak berdaya nanti mencabutnya. Setiba di dalam, didapatinya Datu Museng sedang melakukan shalat. Tangannya sudah gatal-gatal untuk segera menikamnya, supaya tugas membunuh Datu Museng selesai sudah, tak berlarut-larut dan korban lainnya dapat dihindari. Tapi hati nuraninya tidak membenarkan. Ditunggunya dengan tangan gemetar, sampai Datu Museng selesai melakukan sembahyang.

Ketika Datu Museng mengakhiri shalatnya sambil memberi salam ke kanan dan ke kiri, berkatalah Daeng Jarre: “Karaengku Datu Museng... Tidak berguna lagi perlawanan karaeng. Tak ada manfaat lagi mengamuk membabi buta. Tubarani-tubarani pilihan kompeni sudah di atas rumah, di luar anjungan menunggu pengakuan kekalahan karaeng. Di sekeliling rumah sudah penuh sesak prajurit, ingin menyaksikan penyerahan karaeng tanpa syarat. Sebaiknya karaeng meletakkan senjata, karena sudah banyak darah tertumpah, sudah bersusun tindih mayat berkaparan, sudah...”

“Setan, anjing kompeni!” bentak Datu Museng memotong.

“Suro, bukankah telah kukatakan padamu, aku tidak biasa berbicara dua kali untuk satu persoalan. Tidak, aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan tunduk pada siapa pun kecuali Tuhan dan apabila....”

Belum habis bicaranya, Daeng Jarre tiba-tiba menghunus kerisnya, kemudian secepat kilat ditikamkan ke dada Datu Museng. Tapi panglima Perang tangkas dan sakti ini lebih cepat mengelak dan suro Daeng Jarre menikam angin. Sebelum suro sempat menarik tangannya kembali, keris pusaka Datu Museng sudah terbenam ke ulu hatinya. Daeng Jarre masih sempat meraung pilu sebelum rubuh ke lantai, laksana pohon yang tumbang diterjang angin puyuh. Ia sesaat menggelepar meregang nyawa, lalu tak berkutik lagi. Nyawanya telah menyeberang ke alam yang lain. (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya:

Datu Museng Mengamuk, Mayat-mayat Berkaparan

Serdadu Kompeni dan Tubarani Merasa Tak Dihiraukan Kedatangannya oleh Datu Museng

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama