Udhin Palisuri, Penyair Auditorium Yang Cinta Kedamaian

Di bulan Desember, 2002, ada 3 puisi Udhin Palisuri yang bernuansa sinistis kepada pengacau keamanan dan patut diungkapkan. Ketiga puisi ini saya temukan dalam buku “50 Seniman Sulawesi Selatan & Karyanya”, terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel, 1995. Puisi tersebut mengandung kutukan dalam bentuk sinisme terhadap teroris yang dinilai minggat dari ajaran agama.
 



-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 30 November 2022

 

Jejak Sastrawan Sulsel (7):

 

 

Udhin Palisuri, Penyair Auditorium Yang Cinta Kedamaian

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Sastrawan)

 

Ahad, 27 November 2022, saya di perjalanan dari Bulukumba menuju Makassar. Di atas mobil, siaran sore radio Gamasi (baca: GAya Makassar Ada di SIni) melantunkan lagu-lagu daerah.

Tiba-tiba hadir sebuah spot light dari vokal seseorang yang saya kenal. Suara Udhin Palisuri, seniman teater, film dan penyair Sulawesi Selatan yang sering disapa Mayor”. Belum jelas mengapa teman-temannya di Dewan Kesenian Makassar (DKM), dulu, memberinya pangkat mayor. Boleh jadi karena kedekatannya dengan birokrasi militer yang sehari-harinya menjadi wartawan koran Angkatan Bersenjata, atau lantaran profilnya yang bertubuh besar jangkung, mirip umumnya perwira TNI.

Suara lantang Udhin Palisuri yang membacakan sepenggal puisinya itu mengingatkan saya kepada diri almarhum yang sudah meninggal dunia 8 tahun lalu. Kak Udhin, panggilan mesra kami di Dewan Kesenian Makassar, terbilang deklamator ulung. Vokalnya khas bariton namun tetap ritmis ketika ia membacakan puisi. Dia tergolong seniman multitalenta yang juga jurnalis senior di Sulawesi Selatan.

Penyair yang suami penyiar TVRI Makassar di tahun 1980-an, Endang Palisuri, banyak menulis puisi-puisi epik-auditorium. Saya sebut auditorium karena hampir seluruh puisinya enak dibacakan di tengah orang banyak. Mirip puisi pamfletnya WS Rendra.

Udhin Palisuri juga seorang aktor layar lebar yang pernah main dalam film “Senja di Pantai Losari” (1975) bersama Emilia Contessa dan Deddi Soetomo.

Di dunia teater, Udhin Palisuri tidak asing. Di Jakarta, ia bergabung dengan Teater Kecil Arifin C Noer, dan main dalam drama “Mega-mega.”

Dia pun seorang sutradara teater yang berbakat. Beberapa pementasan  kolosal yang pernah disutradarainya, antara lain “Daeng Pasau” (karya Djamaluddin Effendy, seorang perwira TNI yang bertugas di Kodam-Makassar) serta “Datu Museng dan Maipa Deapati” (naskah Fahmi Syariff).

Tidak sedikit sinetron TVRI (baik lokal maupun nasional) yang pernah ia bintangi. Demikian pula puisi yang dia tulis cukup banyak dan sudah terbit menjadi buku sebelum  dia meninggal dunia, 2 Juni 2014.

Udhin Palisuri yang lahir 16 Agustus 1948 di Enrekang, dikenal sebagai seniman yang  peramah dan akrab dengan semua level pergaulan. Puisi-puisinya bernafaskan nasionalisme, humanis dan pengaguman terhadap orang atau institusi yang dihormatinya. Karena itu, “Mayor” Udhin sangat dekat dengan para tokoh masyarakat, termasuk pejabat di lingkungan sipil dan militer.

Saya mengenal Udhin Palisuri di tahun 1976, ketika ia diundang Bupati Bulukumba untuk melatih drama para seniman muda. Saat itu, Udhin menulis naskah berjudul “Laki-laki”. Pementasannya sukses dengan penonton yang melimpah ruah.

Pada puncak peringatan Hari Jadi Kabupaten Bulukumba, 2010 (?), Udhin Palisuri diundang untuk membaca puisi di Lapangan Pemuda Bulukumba. Dia tampil berwibawa di atas trap (sebentuk kotak segi empat untuk tempat berdiri), di tengah ratusan hadirin dari berbagai kalangan.

Saat itu, Udhin membacakan puisi saya yang berjudul “Bulukumbaku Gelombang Berzikir” diiringi musik tiup oleh Cucut (Abdi Bashit, seniman tari) dari luar lapangan, membuat pembacaan puisi semakin syahdu ibarat hembusan angin, beriak perlahan dari selat Selayar. Tepuk tangan pun menggema di penjuru lapangan. 

Di bulan Desember, 2002, ada 3 puisi Udhin Palisuri yang bernuansa sinistis kepada pengacau keamanan dan patut diungkapkan. Ketiga puisi ini saya temukan dalam buku “50 Seniman Sulawesi Selatan & Karyanya”, terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel, 1995. Puisi tersebut mengandung kutukan dalam bentuk sinisme terhadap teroris yang dinilai minggat dari ajaran agama. Mari kita baca berikut ini:

 

Puisi-1:

 

BERSERAKAN DI LANTAI

 

Bom

kabur kenangan

hidangan gurih dan lezat

berserakan di lantai

duhai

sudah begitu kejam

mengusik santap malamku

(buka puasa berlumur duka)

         -Desember 2002-

 

 

Puisi-2

 

MAAFKAN KAMI YA TUHAN

 

Maafkan kami, bila malam menggema takbir

berubah warna kelabu

Maafkan kami, bila Idul Fitri yang syahdu

berubah mengalir darah

Maafkan kami, bila malam bertabur rahmat

berubah membawa laknat

Maafkan kami, bila malam berselimut takwa

berubah meledak bencana

Maafkan kami ya Tuhan

      -Mks, 2002-

 

 

Puisi-3

 

DOA SEORANG TERORIS

 

Ya Allah, ampuni dosaku karena telah merakit kematian dengan bom maut

Ya Allah, ampuni dosaku karena membuat bencana

mengumbar hawa nafsu

Ya Allah, ampuni dosaku karena begitu berani melawan kebenaran

Ya Allah, ampuni dosaku karena tak punya malu membuat kacau di tengah negeri damai

Ya Allah, ampuni dosaku karena begitu angkuh

merenggut nyawa orang tak berdosa

Ya Allah, ampuni dosaku karena lupa

minta maaf kepadamu

  -Mks, Desember 2002-

 

Ke-3 puisi di atas, tampak amat bersahaja. Namun jika ditelisik, terasa nada puitik penyair sangat sinis terhadap sebuah sistem. Para teroris, pengacau pembuat bom yang tidak berperikemanusiaan, telah membuat kezaliman di saat penyair menikmati keberkahan bulan suci Ramadan. (Puisi -1, “buka puasa berlumur duka”)

Bulan suci Ramadan harusnya menjadi tempat mensucikan hati dari segala bisikan iblis. Namun, di mata penyair, ada saja manusia yang merasa tak berdosa melampaui kemauan Tuhan, mengubah malam bertabur rahmat menjadi laknat. Mereka orang-orang yang melakukan ini, menurut penyair, adalah bagian dari “kami”. (Puisi ke-2, “maafkan kami ya Tuhan”)

Dalam puisinya yang terakhir, penyair menggunakan kata “aku”. Diksi meng-aku-kan diri dalam larik puisi itu adalah sinisme stadium tertinggi kepada teroris, pengacau yang tega membunuh manusia tak berdosa.

Penyair, seakan mewakili teroris pembuat bom maut menyampaikan rasa berdosa kepada Tuhan karena keangkuhannya yang melampaui batas dan lupa bertaubat atas kejahatan yang dia lakukan itu. (Puisi ke-3, “Ya Allah, ampuni dosaku karena lupa minta maaf kepadamu”)

Puisi-puisi di atas cukuplah mewakili ideologi penyair terhadap tegaknya spirit kedamaian, kemanusiaan dan kerukunan umat beragama di negeri ini. Memahami lebih dalam tentang diksi “kami” dan “aku”, serta kaitannya dengan terorisme di bulan Ramadan pada puisi tersebut, tentu kita membutuhkan kritik sastra.

Paling tidak, puisi ini harus dilihat melalui teori analisis semiotik atau Strukturalisme genetiknya Lucien Goldmann (1913-1970).

Demikian. Semoga dengan kenangan ini, ruh almarhum sastrawan Udhin Palisuri mendapat tempat yang indah di pangkuan Allah Rabbun Gafur. Aamiin.

 

Makassar, 28 November 2022


2 Komentar

  1. Terima kasih atas tulisan ta .. paling tidak mengobati rasa rindu kami yg tak bertepi

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama