Undang-Undang Akan Kosong Jika Tidak Disertai Moralitas Hukum

 

“Hukum mempunyai hubungan erat dengan moral serta tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena kedua kaidah tersebut sama-sama mengatur tingkah laku manusia dan sama-sama bertujuan mengatur ketenteraman hidup manusia.”

- Achmad Ramli Karim-



----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 14 Desember 2022

 

OPINI

 

 

Undang-Undang Akan Kosong Jika Tidak Disertai Moralitas Hukum 

 

 

Oleh: Achmad Ramli Karim

(Pengamat Politik & Pemerhati Pendidikan)


Suatu produk hukum (norma) tidak berdiri sendiri, tetapi sangat terkait dengan orang (manusia) sebagai subjek sekaligus objek hukum, begitu pula terkait dengan norma-norma lainnya, khususnya norma moral/etika.

Hukum mempunyai hubungan erat dengan moral serta tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena kedua kaidah tersebut sama-sama mengatur tingkah laku manusia dan sama-sama bertujuan mengatur ketenteraman hidup manusia.

Hukum membutuhkan moral sebagaimana pepatah jaman Romawi Kuno “Quid Legas Sine Moribus”, yang berarti undang-undang kalau tidak disertai moralitas, maka hukum akan kosong, karena kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh kualitas moral pembuatnya.

Oleh karena itu, hukum harus selalu diukur dengan norma moral. Moral merupakan suatu etika yang bersumber dari hati nurani seseorang, yang menilai baik dan buruknya suatu perilaku atau tindakan, yang menjadi karakter dari individu atau kelompok, berdasarkan pandangan hidup dan agamanya.

Adapun perilaku yang baik dan buruk, bisa dilihat dari cara berpikir, bertindak dan merespons suatu keadaan. Artinya, ada pengaruh timbal balik antara hukum dan moral dalam berbagai aspek kehidupan manusia, ada kontribusi moral terhadap hukum, begitu pula ada kontribusi hukum terhadap moral.

Moralitas penyelenggara negara dan pemangku kepentingan sangat mempengaruhi produk hukum, sedangkan produk hukum akan mempengaruhi pandangan baik dan buruk masyarakat tersebut.

Dalam hal ini nilai-nilai yang terkadung dalam Pancasila sebagai moral dari bangsa Indonesia yang menjadi dasar perilaku dan acuan, bagi penyelenggara negara dalam mengambil sikap dan kebijakan.

Dan Indonesia dengan Pancasila sebagai sumber moral, maka niliai-nilai Pancasila akan menjadi perilaku yang terlihat dan diterapkan pada kehidupan berjalannya bangsa dan negara Indonesia.

Moral itu sangat penting bagi setiap orang maupun setiap bangsa. Mengapa sangat penting? Karena apabila moral bangsa hancur, maka akan hancur pula bangsa itu. Hal ini berarti bahwa pemerintah yang selalu menjaga moral bangsanya, maka kehidupan bangsa tersebut akan selau tenteram dan damai.

Sebaliknya, pemerintahan yang tidak mengindahkan moral bangsanya, maka akan menciptakan perpecahan dan pertikaian dalam masyarakatnya. Apalagi kalau ada unsur kesengajaan berpikir menjadikan issu agama guna memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat demi kepentingan kelompok tertentu, adalah bentuk sikap dan perilaku yang tidak bermoral.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moral adalah baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya.

Mengapa norma moral sangat penting bagi manusia? Karena; “Moral (nurani) menjadi pengendali dan alat ukur tentang baik buruknya suatu perbuatan, sikap, dan kewajiban.”

Dengan kata lain, tidak ada produk hukum yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat, jika dilahirkan dari prinsif moralitas. Karena prinsif moralitas dimiliki setiap individu tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Jawabannya sangat simple, akan tetapi sangat sulit diimplementasikan dalam praktik kehidupan sosial, disebabkan oleh egoisme dan kepentingan masing-masing.

Sudah banyak contoh di depan mata, bagaimana amburadulnya penerapan hukum, yang disebabkan oleh integritas dan moral penegak hukum tergadaikan oleh kepentingan.

“Kita patut berbangga karena berhasil memiliki KUHP sendiri, bukan buatan negara lain. Jika dihitung dari mulai berlakunya KUHP Belanda di Indonesia tahun 1918, sudah 104 tahun sampai saat ini. Indonesia sendiri telah merumuskan pembaruan hukum pidana sejak 1963,” ujar Menkumham RI, Yasonna Hamonangan Laoly.

Dalam perjalanan penyusunan RUU KUHP, ada beberapa pasal krusial yang menjadi sumber perdebatan. Bahkan Pemerintah dan DPR sempat dihadapkan dengan pasal-pasal yang dianggap kontroversial, di antaranya pasal penghinaan Presiden, pidana kumpul kebo, pidana santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis.

Yasonna menilai pasal-pasal yang dianggap kontroversial bisa memicu ketidakpuasan golongan-golongan masyarakat tertentu. Yasonna mengimbau pihak-pihak yang tidak setuju atau protes terhadap RUU KUHP dapat menyampaikannya melalui mekanisme yang benar. Masyarakat diperbolehkan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). (Badan pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum & HAM RI).

Betul kita harus berbangga karena selama 104 berlakunya KUHP produk Belanda, baru tahun 2022 kita memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri asli produk legislatif Indonesia.

Suatu prestasi luar biasa yang patut diacungi jempol, karena legislatif (DPR) telah mengedepankan sikap moralnya dalam memutuskan produk hukum yang sebelumnya banyak menimbulkan kontroversial di tengah-tengah masyarakat.

Untuk itu, publik sudah sepatasnya mengacungkal jempol dan berterimakasih kepada wakilnya di legislatif, semoga KUHP tersebut benar-benar lahir dari pertimbangan moralitas segenab anggota DPR RI.

Ada dua hal penting yang membanggakan dari produk legislasi tersebut yang memperkuat “legal standing” atau “kedudukan hukum dalam perkara pidana, adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan pelaporan di Kepolisian Repoblik Indonesia terhadap dugaan tindak pidana yang ia ketahui atau ia alami.”

Kedua hal krusial dimaksud sebagai sumber komplik sosial yaitu, pertama; tentang larangan penyebaran ajaran komunisme/marxisme-lenismisme, dan kedua; tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan, yang sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, untuk melanggengkan kekuasaannya dengan memecah belah kekuatan politik mayoritas penganut agama dalam masyarakat (politik adu domba), guna meraih keuntungan dari perpecahan tersebut.

 

Penyebaran Ajaran Komunisme

 

Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara tentang larangan Penyebaran atau Pengembangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagaimana diatur dalam Pasal 188 KUHP; (1) Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

Pasal 189. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun, Setiap Orang yang: (a). mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran komunisme/marxisme-leninisme; atau (b). mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada atau menerima bantuan dari organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang sepatutnya diketahui menganut ajaran komunisme/marxismeleninisme dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang sah.

Pasal 190 (1). Setiap Orang yang menyatakan keinginannya Di Muka Umum dengan lisan, tulisan, atau melalui media apapun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Dengan demikian KUHP yang baru saja disahkan pada 06 Desember 2022, telah memperkuat posisi Ketetapam MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi PKI, dan Larangan Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Pemerintah selama ini menggunakan dua dasar hukum utama untuk melarang, memberangus, dan mencegah berkembangnya kembali paham komunisme di Indonesia, yaitu;

Pertama; ialah Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi PKI, dan Larangan Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Dalam pertimbangan TAP MPRS tersebut, tercantum tiga alasan, yaitu; 1). paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme pada hakikatnya bertentangan dengan Pancasila.

2). orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut paham atau ajaran komunisme, marxisme, leninisme, khususnya PKI, dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, telah nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan pemerintahan yang sah dengan jalan kekerasan.

3). perlu mengambil tindakan tegas terhadap PKI dan kegiatan-kegiatan penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.

Ketetapan ini sangat kuat, karena secara konstitusional MPR atau lembaga lain tidak dapat mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, sebab saat ini MPR tidak memiliki wewenang untuk mencabut TAP MPR yang dibuat pada tahun 2003 dan sebelumnya.

Kedua, (sebelum disahkan RUU KUHP yang baru, 6/12/2022) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1999 tentang perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara, sebagaimana tercantum pada pasal 107 pada KUHP tersebut.

 

Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kepercayaan

 

Pasal 302 Setiap Orang Di Muka Umum yang: a. melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; b. menyatakan kebencian atau permusuhan; atau c. menghasut Untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V (lima ratus juta rupiah).

Pasal 303 (1) Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V (lima ratus juta rupiah).

(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan Tindak Pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.

 

-----

Penulis: Drs. Achmad Ramli K, SH., MH, adalah Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, mantan Ketua Bidang Advokasi & Perlindungan Hukum APSI Pusat, Alumni PMP/PKn Angkatan 81 FKIS IKIP UP, Alumni 92 FH UMI Makasar.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama