Pertunjukan Mate Ni Santangi Ri Butta Ayutthaya

Pertunjukan drama To’dopuli di Negeri Siam” ditampilkan Taeater Kita Makassar, di Gedung Teater Tertutup Gedung Kesenian Societeit de Harmonie Makassar, Satu, 13 Mei 2023.   

 


-------

PEDOMAN KARYA

Selasa, 16 Mei 2023

 

Catatan Pertunjukan:

 

 

Mate Ni Santangi Ri Butta Ayutthaya

 

 

Oleh: Yudhistira Sukatanya

(Seniman, Budayawan)

 

Panggung masih gelap, ketika terdengar desis gunsmoke dan asap putih mengepul sesaat. Sayup terdengar gumam teks berbahasa Makassar dalam dendang seorang lelaki, membuka pertunjukan kolaborasi Teater-Tari-Musik dan video multimedia bertitel To’dopuli di Negeri Siam(TNS). Sungguh tampilan yang menjanjikan suasana heroik nan menarik.

 

Bajikangngang ma mate akcerak

na nikanayya mate tangganreya

Boko ma ri butta kalasssukangku

ri empoang siri siagang pacceku

-----------------------------------------

Lebih mulia mati berdarah

Dibanding mati kelaparan

Kutinggalkan kampung halaman

Demi menjunjung tinggi harga diri dan empatiku

 

Sajian pembuka kolaborasi produksi Teater Kita Makassar dalam “Festival Seni Pertunjukan 2023” itu berlangsung pada hari Sabtu, 13 Mei 2023, pukul 19.30 Wita, di Teater Tertutup Gedung Kesenian Societeit de Harmonie Makassar. Kali ini kembali mendapat dukungan penuh dari Dinas Pariwisata Kota Makassar.

Tampilan seni pertunjukan TNS ini merupakan akumulasi kajian dari dramaturg Maestro Teater, Dr Asia Ramli MPd, penulis sekaligus sutradara, dibantu Andi Taslim Saputra SPd MPd, asisten sutradara.

Diperkuat dukungan komposisi musik Dr Arifin Manggau SPd MPd, dan tata gerak oleh Dr Joharlinda SPd MA, dosen Jurusan Seni Pertunjukan Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar (UNM).

Sekira seratus pemain, terdiri dari aktor dan penari, mahasiswa dari Program Studi Sendratasik dan Program Studi Seni Tari Jurusan Seni Pertunjukan Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar, Teater Kampus FSD UNM, DE Art Studio FSD UNM, serta beberapa seniman dari Teater Kita Makassar, Forum Sastra Kepulauan, Studio Kita Makassar dan Tangan Perkusi serta beberapa grup kesenian lain di Makassar ruah di pentas berukuran 17 X 8 meter.

Ringkas cerita, TNS mulanya berkisah tentang peristiwa eksodus besar-besaran pasca-penandatanganan Cappaya ri Bungaya tahun 1667. Sejumlah panglima Kerajaan Gowa menolak menaati isi perjanjian. Laksamana Karaeng Karaeng Bontomarannu, Karaeng Bontonompo, dan I Manindori Karaeng Galesong, berangkat meninggalkan Makassar.

Dalam pelayaran ikut pula I Yandulu Daeng Mangalle, Fatima Daeng Takontu, adik kandung Karaeng Galesong, anak Sultan Hasanuddin. Setelah menetap di Jawa selama tiga tahun, Daeng Mangalle kemudian mempersunting Angke Sapiah, putri yang disebut masih memiliki hubungan darah dengan raja-raja Makassar.

Pada tahun 1672, di Kesultanan Banten, terjadi konflik antara Sultan Ageng Tirtajasa dilawan putranya sendiri, Abdul Nas’r Abdul Kahar Sultan Haji, yang mendapat dukungan dari Belanda. Pertumpahan darah tak terelakkan.

Menyadari situasi di Banten tidak kondusif, adik karaeng Galesong, I Fatimah Daeng Takontu, menyingkir ke Kerajaan Mempawa, Kalimantan Barat. Di sana dia mendirikan perguruan silat yang menggunakan senjata ballira. Daeng Takontu wafat dan dimakamkan di Pulau Tumaju, Mempawa.

Sementara Daeng Mangalle bersama istri dan anaknya, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo yang masih kecil berserta 200 orang pengikutnya mengungsi ke Kerajaan Siam, Thailand.

Menurut sejarawan Perancis Nicholas Gervaise, dalam bukunya “Description historique du royaume de Macaçar” diterbitkan pertama kali di Perancis. Kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dr Mardi Adi Armin MHum, dengan judul “Sejarah Kerajaan Makassar” terbitan UPT Unhas Press, 2022.

Gervaise menulis tentang kedatangan rombongan Daeng Mangalle ke Negeri Siam. Awalnya rombongan ini disambut baik oleh Somdet Phra Narai, Raja Ayutthaya, saat itu. Permintaan suaka mereka dikabulkan. Bahkan kepada mereka diberi pemukiman yang lokasinya di tepian sungai, bertetangga dengan perkampungan orang Melayu. Kebetulan orang Melayu dan Makassar sama-sama pemeluk agama Islam.

Pada masa pemerintahan Raja Ayutthaya Phara Narai (1656-1688) pernah mengizinkan pedagang Portugis, Spanyol, Belanda, dan Prancis untuk mendirikan permukiman di luar tembok kota Ayyuthaya. Phara Narai pernah mengirimkan duta ke Prancis yang ketika itu dipimpin Louis XIV untuk meminta dukungan keamanan.

Sontak keadaan aman dan damai berubah saat raja Ayutthaya Phra Narai mulai mendatangkan serdadu Prancis dipimpin oleh Claude de Forbin untuk menjadi pengawal raja. Kemudian Claude de Forbin, diangkat jadi Gubernur Ayutthaya.

Menyaksikan kedatangan serdadu-serdadu Prancis itu, Daeng Mangalle menganggapnya sebagai awal bencana. Daeng Mangalle sebagai pemimpin komunitas Makassar berpendapat. tidak sepatutnya orang Islam bergaul dan diperintah oleh non-muslim.

Kedudukan raja Phra Narai yang semakin kuat membuka peluang perbudakan di Ayutthaya. Utamanya dalam memperlakukan orang-orang pendatang dari timur dari kalangan muslim.

Kondisi di Ayutthaya yang berubah semakin rawan, bahkan terancam kudeta perebutan takhta menyebabkan Raja Phra Narai menganggap perlu mengamankan kekuasaannya. Kemudian raja mengangkat Constantine Faulkon, pegawai Serikat Dagang Hindia Timur Inggris (EIC)  yang berasal dari Yunani menjadi penasihat raja.

Sentimen anti-Eropa kian membara. Berembus kabar adanya upaya kristenisasi Raja Phra Narai. Saat yang sama beredar intrik di dalam istana, jika Phra Petracha, kakak tiri Phra Narai berambisi menduduki takhta kerajaan.

Sementara di luar istana para imigran dari Makassar, Champa, Kamboja, dan Melayu pun mulai menunjukkan ketidaksukaan mereka pada sejumlah kebijakan Raja Phara Narai yang bersekutu dengan orang Eropa seperti Perancis, Inggris, Portugis dan Belanda. Karena itu imigran komunitas Melayu, Campa, dan lainnya mengambil sikap, diam-diam mendukung rencana pemberontakan Phra Petracha.

Menurut catatan sejarawan Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (KPG, 2006). Daeng Mangalle atau dikenal juga dengan nama Daen Ma-Alee adalah pangeran Makassar dituduh ikut terlibat dalam konspirasi untuk menyerang istana Kerajaan Siam.

Jelang akhir tahun 1686, pecah pemberontakan massal antara koalisi para pemukim Champa, Melayu, Persia membantu Pangeran Phra Petracha Ayutthata yang anti-Eropa untuk melawan pasukan Kerajaan Siam yang dibantu serdadu Eropa.

Raja Phra Narai mengetahui rencana makar itu lalu segera melakukan gerak cepat mengerahkan kekuatan serdadu guna memadamkan pemberontakan. Ia memerintahkan agar para pemberontak segera dipaksa menyerah. Bagi yang segera menyerah diberi kesempatan memohon pengampunan raja.

 

Daeng Mangalle Angkat Senjata


Raja Phra Narai juga memerintahkan agar Daeng Mangalle pun segera memohon ampun, tetapi perintah itu ditolak mentah-mentah. Apalagi ketika akan menghadap raja, badik mereka wajib dilucuti, disita. Daeng Mangalle menolak keras.



Tak terhindarkan perang puputan pun pecah. Pasukan Daeng Mangalle yang hanya berjumlah 47 orang bersenjata tombak dan badik melawan 700-an serdadu Eropa bersenapan. Dalam perang tak seimbang itu Daeng Mangalle tahu betul ia dan kerabatnya sulit menang. Namun ia bertekad akan memberi perlawanan setimpal yang takkan dapat dilupakan bangsa Ayutthaya sampai kapan pun. Baginya lebih baik tumbang berkalang tanah dari pada menjadi budak di negeri orang.

Seluruh pintu keluar kampung Makassar di tepi sungai Chao Phraya dikepung. Dalam keheningan subuh, serbuan serdadu koalisi pihak lawan dimulai. Bola-bola api dari meriam sundut mulai ditembakkan ke wilayah perkampungan. Api merah menyala membakar seisi desa, meluluhlantakkan ratusan rumah, penduduk sipil menjadi korban. Melihat keberhasilan taktik bumi hangus serdadu koalisi Siam-Eropa sempat merasa menang.

Tak dinyana, daerah sekitar Sungai Chao Phraya itu malah berubah menjadi medan pertempuran sengit. Selama tiga pekan pertarungan beruntun berlangsung tanpa jeda. Daeng Mangalle memimpin pasukan pemberani bertahan dan kemudian balik menyerang serdadu Eropa dengan keberanian luar biasa.

Mereka tak gentar menghadapi pasukan Eropa dengan menegakkan semangat siri”. Tekad “Toddopuli” suatu keyakinan untuk membela kehormatan sampai titik darah penghabisan. Mengerikan, mereka mengejar, membunuh lawan tanpa ampun. Apalagi karena diketahui bahwa serdadu Prancis dan Portugis saat itu tengah membantai bahkan memperkosa perempuan dan anak-anak.

Para perempuan Makassar bersenjatakan ballira senjata tajam dari bilah balok alat tenun, bahu membahu membantu menyerang, menerjang lawan. Amuk orang Makassar mengakibatkan Kapten Coates dari Inggris tumbang.

Keberanian orang Makassar membuat Claude de Forbin dan kawan-kawan jeri, bergidik ngeri. Forbin menjadi saksi bagaimana 200 pria bersenjata keris dan tombak bisa demikian menggila melawan lebih dari 3000 tentara koalisi. Ribuan pasukan gabungan dipaksa mundur, menunggu bala bantuan datang.

Kedatangan bala bantuan pasukan gabungan dalam jumlah besar membuat sisa-sisa orang Makassar semakin terkepung. Posisinya terjepit dari segala arah. Tapi mereka tak rela menyerah. Ada nilai dan keyakinan di setiap dada mereka yang dipertahankan berdasarkan budaya Makassar sehingga setiap orang rela mati di medan laga dari pada menanggung malu. Keberanian seperti itu, memang di luar nalar, muncul dalam detik-detik terjadi kebuntuan, cul-de-sac.

Daeng Manggale yang dalam kondisi terkepung malah kian menyala nyali semangatnya.  Hingga ujung tali napasnya nyaris berakhir ia masih sempat menerjang seorang Menteri Siam lalu langsung menghabisi seorang serdadu Inggris. Ketika itulah Daeng Mangalle terluka dengan lima tusukan tombak para pengkhianat. Daeng Mangalle baru benar-benar rubuh setelah dihujani peluru Perancis. Fisabilillah.

Kejadian tersebut pada tahun 1686. Orang-orang Makassar yang dianggap terlibat pemberontakan bersenjata melawan raja di Ayuthaya akhirnya semua nyaris terbunuh dengan tragis.

“Mate Ni Santangi Ri Butta Ayutthaya” – Mati menegakkan kehormatan harga diri. Di antara puing rongsokan perang hanya tersisa dua bangsawan muda, putra Daeng Mangalle.

Kisah dua anak Daeng Mangalle asal Makassar ini pertama kali diungkap pula oleh Christian Pelras (1934-2014), etnolog Prancis ahli mengenai Indonesia, khususnya sosial budaya Sulawesi.

Ia membahasnya dalam artikel yang terbit di Masyarakat Indonesia edisi Juni 1982, berjudul Beberapa penjelasan mengenai dua anak bangsawan Makassar yang pernah ke Perancis pada abad ke XVI.

Kemudian Pelras menuliskannya juga di jurnal Archipel edisi 1997. Tajuk pembahasannya berjudul, La première description de Célèbes-sud en français et la destinée remarquable de deux jeunes Princes Makassar dans la France de Louis XIV.

Belakangan Bernard Dorleans memasukkan kisahnya dalam Les Francais et l'Indonesie due XVIe au Xxe siecle, terbit 2001. Edisi bahasa Indonesia buku tersebut berjudul “Orang Indonesia & Orang Prancis Dari Abad XVI Sampai dengan Abad XX.” KPG, 2006. Melengkapi kisah “Bagaimana nasib Daeng Ruru dan Daeng Tulolo?

Diceritakan kedua remaja anak Daeng Mangalle kemudian dibawa berlayar dengan kapal Coche menuju Eropa pada akhir November 1686, berjejak di Prancis pada September 1687.  Usai dibaptis, mereka mendapatkan nama kehormatan—bak Raja Prancis. Daeng Ruru bergelar Louis Pierre Makassar. Daeng Tulolo, saudaranya mendapat gelar Louis Dauphin Makassar.

Rekonstruksi plot peristiwa dalam pertunjukan TNS telah berusaha diramu selengkap mungkin berdasarkan kajian dramaturgi yang serius atas sejumlah data dari bacaan. Lalu hasil bacaan tersebut ditulis ulang menjadi drama, panduan dalam menata karakter, dialog, akting, komposisi gerak, tari, musik dan visual multimedia.

Hasil kajian dramaturgi TNS telah terangkai dalam pertunjukan sekira satu jam. Memadatkan cerita panjang memang bukan hal yang mudah. Tak terhindarkan dapat terjadinya beberapa lompatan plot yang mengakibatkan adanya ruang hilang dalam logika cerita. Padahal pada garapan TNS, terlihat dan terasa masih tersedia cukup slot waktu, jika adegan tidak dibuat berkepanjangan.

Adegan bisa dibuat impresif namun efektif untuk menyampaikan maksud dan membuat konstruksi cerita lebih baik. Garapan gerak tari yang impresif tanpa narasi perlu takaran artistik. Tari untuk menghadirkan peristiwa atau tari dalam peristiwa adalah dua hal yang berbeda fungsi. 

Setelah menyaksikan karya kolaboratif TNS  tentu melegakan. Bahkan tertitip harapan bahwa karya pertunjukan sejenis ini berikutnya perlu ditampilkan lebih berkualitas, lebih baik. Apalagi dengan keterlibatan Maestro Teater Dr Asia Ramli MPd, beserta tim dramaturginya yang dikenal pekerja keras.

Perlu diberi kesempatan, waktu, dan dukungan dana yang cukup guna lebih banyak mengelaborasi cerita dari bilik budaya Sulawesi Selatan yang menginspirasi. Apalagi jika dibuat dalam kemasan pertunjukan tunggal.

Semoga Festival Seni Pertunjukan berikutnya tidak lagi jadi semacam ajang acara ala “Aneka Ria Safari” yang pernah sangat digemari pemirsa TVRI di masa lalu. Tampilan sarat dijejali gado-gado sejumlah paket acara yang terbilang hanya hiburan ringan yang membuat “sakit gigi.”

Pertunjukan ala TNS sebaiknya bisa menjadi program tunggal unggulan yang dapat menjadi tontonan dan tuntunan, alternatif pilihan bagi warga kota Makassar, sekaligus menjadikannya event pilihan utama dalam giat pariwisata kota.  

 

Tamamaung medio Mei 2022

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama