-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 14 Februari 2024
Dirty Vote, Film Dokumentar yang Menghebohkan
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi
(Diaspora Indonesia &
Imam di Kota New York)
Dalam perjalanan kembali
kampung New York kali ini,
pikiran saya terus menerus digeluti oleh acara maha hebat Kumpul Akbar Paslon
Anies-Muhaimin di JIS, Sabtu 10 Februari
lalu. Hal yang paling berkesan adalah jiwa kerelawanan dan kepahlawanan mereka,
para pejuang perubahan itu. Tentu yang paling terdepan adalah
Capres-Cawapresnya, Anies-Muhaimin, yang pada malamnya masih menghadiri acara
“Desak Anies” di Surabaya hingga jauh malam.
Saya mencoba
membanding-bandingkan antara kampanye para Paslon yang bertanding di Pilpres tahun ini. Perbedaan itu sangat
mencolok. Ada yang melakukan kampanye dengan tradisi usang, uang, sembako,
joget-joget yang tidak lucu, dan ragam hiburan yang tidak mendidik.
Sementara Paslon 1 berkampanye dengan membangun jiwa
kerelawanan dan kepahlawanan, serta kampanye yang mencerahkan. Debat Anies dan
Slepet Muhaimin sebenarnya menjadi kampanye inovatif yang belum terjadi bahkan
di negara manapun, termasuk di Amerika.
Sambil membaca banyak sumber berita, termasuk membuka
beberapa akun media sosial, saya dikejutkan oleh kiriman seorang teman dengan judul:
Dirty Vote.
Awalnya, saya kira ini adalah film dokumentar
tentang Pemilu
di sebuah negara Barat. Saya tidak membayangkan kalau film itu bercerita
tentang berbagai pelanggaran, manipulasi, pengangkangan aturan dan etika, dan
apapun kata yang Anda
gunakan terhadap Pilpres
Indonesia kali ini.
Lebih runyamnya lagi
karena aktor utama yang dibicarakan di film itu adalah Presiden RI, orang
nomor satu yang seharusnya punya tanggung jawab konstitusi, moral dan etika untuk menjaga
integritàs Pemilu.
Begitu banyak hal yang
diekspos oleh film Dirty Vote itu, padahal
Pak JK menyebutnya film itu hanya
menyampaikan sekitar 15% dari berbagai pelanggaran dan manipulasi yang terjadi
dalam Pilpres kali ini.
Namun yang 15% itu pun telah membuka, atau tepatnya
menguatkan kembali apa yang sudah lama diberitakan atau diceritakan oleh banyak
kalangan. Dari isu upaya penjegalan calon tertentu (baca Anies), cawe-cawe dan
keterlibatan langsung dan keberpihakan presiden kepada Paslon tertentu, hingga
penggunaan aparatur negara (pj kepala daerah/Kades) dan penggunaan fasilitas
negara (Bansos
misalnya) dalam upaya memenangkan Paslon
yang didukung oleh presiden.
Tapi akar dari semua
pelanggaran dan manipulasi itu adalah cawe-cawe dan keterlibatan Presiden
Jokowi dalam menentukan siapa yang boleh maju, dan (keinginannya) untuk
mengganjal calon lain untuk maju Pilpres.
Puncak dari hawa nafsu Presiden Jokowi untuk mempertahankan kekuasaan itu
bukan baru. Dari ragam wacana yang dibangun, penambahan masa jabatan menjadi
tiga periode, lalu wacana memperpanjang masa jabatan, konon kabarnya minimal 3
tahun, dan seterusnya.
Nafsu kekuasaan Presiden Jokowi ini semakin terbuka dengan
terjadinya friksi antara dirinya dan partainya (PDIP). Konon kekecewaan itu
menjadi nyata ketika PDIP justru menolak keinginan Jokowi menambah periode atau
minimal menambah masa jabatan.
Sejak itu terjadi
drama-drama politik yang lucu dan menggelikan. Salah satunya Jokowi semakin
lengket dengan PSI, bahkan anaknya (Kaesang) menjadi anggotanya. Tiga hari
setelah menjadi anggota Kaesang diangkat menjadi ketum partai itu.
Anti klimaks dari nafsu
kekuasaan Jokowi
semakin meninggi ketika partai-partai
koalisi pendukung jagoannya tidak mampu
mencapai kata sepakat tentang siapa yang akan mendampingi Prabowo di Pilpres.
Tiba-tiba drama yang
menggelikan itu terjadi lagi. Wacana mencawapreskan putra sulung Jokowi (Gibran) semakin
menguat. Bahkan dibangun persepsi bahwa dialah yang dapat menyatukan
partai-partai koalisi Prabowo.
Dari sini kita semua tahu
cerita selanjutnya. Umur Gibran yang belum memenuhi syarat pencawapresan
menjadi ganjalan. Maka yang harus dilakukan adalah mengubah peraturan itu melalui Mahkamah
Konstitusi yang juga diketuai oleh Anwar
Usman, paman
dari Gibran dan adik ipar Jokowi. Perubahan itupun terjadi dengan
terbukti melanggar etika berat. Sang paman pun harus menerima nasib dipecat
dari posisi Ketua MK.
Dengan lolosnya Gibran
melalui proses manipulatif dan nepotis ini, lengkaplah semua alasan bagi presiden melakukan pelanggaran-pelanggaran.
Dan itu dilakukan tanpa malu-malu lagi. Di masa presiden mana saja sebelumnya tidak ada
presiden aktif yang terbuka mendukung, bahkan membuka diri untuk kampanye bagi Paslon tertentu.
Kali ini bahkan
mengatakan terbuka jika presiden bisa mendukung dan berkampanye. Lebih jauh
karena presiden
mendukung, terbukalah negara dipakai (aparat dan fasilitas) untuk mendukung dan
kampanye bagi paslon tertentu (baca No. 2).
Dengan film dokumentar
Dirty Vote ini semua praktek-praktek
kotor itu semakin jelas. Walaupun sekali lagi bukan hal baru. Karena
sesungguhnya semua yang disebutkan di film itu telah beredar dan diketahui oleh
publik. Satu di antaranya misalnya adalah pengangkatan Pj kepala daerah
(Gubernur dan Bupati/Walikota).
Walau ada dari Tim Paslon 2 membantah hal ini, saya pribadi
ada interaksi langsung dari salah seorang staf ahli Pj Gubernur itu.
Menurutnya, saat ini dialah (staf ahli) yang menangani jabatan gubenur di daerah itu karena Pj Gubenurnya
sibuk kampanye untuk memenangkan Prabowo-Gibran.
Saya juga mendengarkan
langsung dari beberapa kepala desa (keluarga dan teman) yang konon telah
dipanggil oleh Polres
dan diperintahkan untuk memenangkan Paslon
No.
2. Ada juga kepala desa yang dijanjikan dana desa yang boleh dipakai untuk apa
saja (tentu maksudnya alat kampanye) dan tidak akan dimintai pertanggung
jawaban asal memenangkan Paslon
No.
2.
Kesimpulannya, film dokumentar Dirty Vote sesungguhnya
bukan hal baru dan tidak perlu mengejutkan. Bahkan kalau saja kita ikuti semua
proses-proses itu, dari pencalonan Capres/Cawapres hingga ke skandal MK, pastinya
bukan simsalabin. Tapi nampaknya sudah dipersiapkan rencana yang matang.
Yang mengejutkan kemudian
adalah kepanikan dan respons
itu justru datang dari Tim Paslon
2. Bukan dari Presiden, MK, KPU, Bawaslu, dan lain-lain, yang menjadi objek di film itu.
Hal yang semakin
menguatkan bahwa Paslon
No.
2 hanya ingin berkuasa. Tidak ada keinginan untuk menjaga integritàs Pemilu. Bukankah film ini bertujuan menjaga integritàs Pemilu, demokrasi dan insitusi kenegaraan? Wallahu a’lam!
JFK New York, 12 Februari 2024