Dewan Kesenian Sulsel, Quo Vadis?

DEWAN KESENIAN SULAWESI SELATAN. Pengurus Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS) dilantik oleh Pj Gubernur Sulsel Bahtiar Baharuddin, di Rujab Gubernur Sulsel, Kamis, 14 Maret 2024. (Foto: Asia Ramli Prapanca) 

 

-----

PEDOMAN KARYA

Jumat, 15 Maret 2024

 

Dewan Kesenian Sulsel, Quo Vadis?

 

Oleh: Halim HD

(Networker-Organizer Kebudayaan)

 

Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS) baru saja dilantik oleh Pejabat Gubernur Sulsel pada Tanggal 14 Maret 2024, setelah Musyawarah Daerah DKSS, dan beberapa bulan sehabis Musyawarah Nasional Dewan Kesenian se-Indonesia diselenggarakan pada Desember 2023 di Jakarta.

Pelantikan itu merupakan usaha untuk membangkitkan kembali lembaga kesenian yang menjadi wadah kaum seniman dan pelaku kebudayaan untuk ikut berpartisipasi di dalam pengelolaan kehidupan senibudaya yang ada di lingkungan masyarakat, setelah satu dekade DKSS mengalami kekosongan fungsinya.

Dalam kaitan itulah kita bertanya, hendak (dibawa) kemana, Quo Vadis, DKSS? Pertanyaan yang ringan namun tak mudah untuk dijawab ini membutuhkan suatu renungan yang mendalam. Namun sebelum itu, perlu kiranya kita memberikan masukan sehubungan dengan susunan pengurus DKSS.

Saya merasa heran, dari jumlah pengurus sebanyak 61 orang, hanya terdapat antara 6-7 orang pengurus perempuan. Berarti hanya terdapat 10% posisi yang diberikan kepada kaum perempuan pelaku kesenian.

Jika kita merunut kepada perjalanan sejarah sosial kontemporer di dalam masyarakat, misalnya dalam kasus tuntutan posisi kaum perempuan haruslah minimal 30%, sebagaimana tuntutan itu juga ditujukan kepada lembaga legislatif di pusat dan kota-daerah.

Kesadaran untuk memberikan posisi kepada kaum perempuan merupakan kemestian sejarah berkaitan dengan posisi-fungsi perempuan di dalam masyarakat. Di dalam tradisi kita, posisi-fungsi perempuan berkaitan dengan kajian yang bersifat konservatif, bias gender tercipta berkaitan dengan perspektif patriarki.

Kini kita menemukan bukti tentang posisi-fungsi perempuan yang sangat penting. Tradisi kita memiliki kaitan kuat dengan ruang kehidupan keluarga. Dalam konteks itulah maka posisi-fungsi perempuan menjadi penting sebagaimana kaum laki-laki. Pada sisi lainnya, dengan memasukan jumlah kaum perempuan yang seimbang akan memberikan perspektif yang lebih kaya dan adil.

Saya berharap kepada DKSS kesadaran gender ini perlu dipikirkan. Sebab, dalam praktek pengembangan kesenian berhubungan dengan kurasi, perspektif kaum perempuan perlu dan penting untuk dipikirkan secara lebih serius, sebagai bagian dari usaha untuk merumuskan strategi seni budaya yang lebih adil.

Di dalam susunan pengurus DKSS, saya membaca adanya “Badan Riset, Kurasi dan Advokasi” (BRKA). Jika DKSS adalah suatu lembaga yang juga diartikan suatu badan, maka susunan dengan adanya BRKA bisa membingungkan.

Mungkin yang dimaksudkan adalah “biro” yang menjadi bagian dari lembaga kesenian yang disebut DKSS. Namun juga masalahnya tak hanya sampai di situ. Menggabungkan kurasi ke dalam BRKA bisa membuat kejumbuhan sistem kerja. Artinya, pengurus BRKA ini juga menjadi dan merupakan kurator yang memberikan kurasi terhadap jenis-jenis kesenian yang dipilah dan yang akan dikerjakan.

Pertanyaan berikut, lalu bagaimana dengan Komite Tari, Musik, Teater, Senirupa, Sastra dan Film, apakah kurasinya datang dari BRKA, dan komite-komite itu hanya sekadar menjadi pelaksana penyelenggara kegiatan?

Jika BRKA merangkap menjadi kurator, maaf, bukan saya bermaksud su’udzon tapi ingin mengkritisi posisi-fungsi BRKA yang tampaknya over loaded, kelebihan muatan dan fungsi, yang rasanya ujung-ujungnya tak bisa dikerjakannya.

Posisi-fungsi BRKA dengan diisi oleh empat figur seniman bisakah menangani kurasi untuk berbagai jenis kesenian? Bukankah justru sebaiknya komite-komite itu berperan dan memberikan porsi kurasi kepada mereka yang memang secara profesional menjadi bagian dari posisi-fungsinya. Sebab, kita juga perlu memikirkan kompetensi BRKA yang jika over loaded akan justru menjadi bumerang di dalam tata kelola kesenian.

Mungkin ada baiknya BRKA ini hanya menangani riset dan advokasi. Dalam konteks riset memang sudah menjadi kebutuhan bagi setiap lembaga kesenian agar rencana kerja berdasarkan data akurat yang datang dari lapangan.

Pada sisi lainnya, tugas riset itu untuk juga menghimpun data seni budaya, yang selama ini menjadi salah satu kelemahan utama lembaga kesenian. Dalam konteks riset itulah program kerja disusun secara bersama-sama dengan komite-komite.

Riset juga sangat kuat kaitannya dengan advokasi yang bersifat non-teknikal kesenian. Kita sering mendengar masalah carut-marutnya relasi antara lembaga kesenian atau Dewan Kesenian (DK) dan komunitas-sanggar-grup seni budaya di daerah dan kota dengan Pemda atau Pemkot sehubungan dengan psikologi politis.

Dalam konteks inilah biro advokasi memegang peranan untuk menjembatani dan memberikan masukan kepada Pemda-Pemkot-Pemkab. Sesungguhnya tugas BRKA ini sangat kompleks, apalagi ditimpali dengan tugas kurasi yang selalu memakan energi karena kebutuhan untuk ke lapangan sehubungan dengan kajian artistik, estetika dan rumusan tematik kesenian yang akan diselenggarakan.

 

Tata Ruang Perkotaan

 

Jika saya membaca posisi-fungsi susunan pengurus, saya juga bertanya-tanya, kenapa pula DKSS tak memasukan pakar tata ruang perkotaan. Setengah abad proses pembangunan dengan ideologi politik ekonomi yang dominan telah menciptakan proses komodifikasi tata ruang.

Ruang-ruang publik menjadi komoditas. Kota semua wilayah mengalami bukan hanya makin susutnya lahan kesenian, ruang publik kebudayaan, melainkan juga proses degradasi tata ruang yang menciptakan keretakan relasi sosial.

Di sinilah sesungguhnya perlunya memasukan pakar tata ruang yang memahami bahwa kondisi perkotaan kita yang kian ringkih dan bahkan mengarah kepada kerusakan ekosistem dalam perspektif ekologis.

DKSS sebagai rekan Pemda di tingkat provinsi, perkotaan dan kabupaten, seharusnya memberikan posisi kepada pakar sejarah perkotaan yang memahami tata ruang sebagai ruang proses kebudayaan.

Sebab, DKSS dituntut sesuai fungsinya untuk memberikan masukan kepada Pemda dan Pemkot, bahwa kehidupan kebudayaan secara umum, tak cukup hanya menjadi penyelenggara kesenian. DKSS dituntut untuk memberikan kontribusi pemikiran berkaitan dengan rumusan untuk menyusun strategi kebudayaan beserta pola operasionalnya dalam wujud policy kebudayaan.

Salah satu poin yang ingin juga saya sampaikan disini berkaitan dengan relasi antara DKSS dengan komunitas-sanggar-grup kesenian. Saya berharap DKSS mewujudkan tujuan utama lembaga kesenian sebagai fasilitator, sebagaimana juga Pemda-Pemkot sebagai pemberi fasilitas kepada pelaku kesenian, seperti yang telah dirumuskan dalam UU Pemajuan Kebudayaan.

Berkaitan dengan hal itulah, maka DKSS sesungguhnya bukanlah menjadi pelaku dan penyelenggara kesenian secara praktis. DKSS hanya menjadi payung formalitas bagi kegiatan komunitas-sanggar-grup, yang secara praktis berhubungan dengan komite-komite.

Kita sering melihat realitas persaingan antara DK tingkat Provinsi-Kabupaten-Kota dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dalam penyelenggaraan kegiatan seni budaya. Dalam konteks inilah DKSS harus memegang prinsip utama sebagai rekan Pemda-Pemkot-Pemkab, bahwa penyelenggaraan kesenian bukanlah diselenggarakan oleh instansi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Fungsi dinas tersebut adalah memberikan fasilitas dan DKSS bisa menjadi relasi untuk menjembatani dan memberikan pemahaman yang lebih fungsional.

Akhirul kata, satu hal yang rasanya akan menjadi masalah bagi DKSS yang harus dipecahkan melalui relasi secara personal dan sosial adalah masalah psikologi politis, yang masih selalu menjadi beban dalam hubungannya antara seniman dan birokrasi. Semoga hal hal birokratis bisa diatasi melalui dialog secara terbuka.***

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama