Menjaga Keluarga Tradisi

Proses kebudayaan itu tampak sederhana walau tak mudah bagi masyarakat modern untuk memahaminya secara lebih mendalam. Dunia modern yang dengan basis kehidupan sosial ekonomi dengan industri sebagai pijakannya, kesenian dan kebudayaan sebagiannya dianggap sebagai suatu proses pasar di mana siapa saja bisa membelinya.

 

-------

Sabtu, 23 Maret 2024

 

Menjaga Keluarga Tradisi

 

Oleh: Halim HD

(Networker-Organizer Kebudayaan)

 

Membayangkan suatu keluarga yang dengan ketekunan yang tak bisa dinilai oleh waktu sekejap, dan hanya bisa kita masuki dengan cara bagaimana kita mengikuti dan meresapkan apa yang dikerjakannya di antara pekerjaan lain yang berkaitan dengan kehidupan sosial ekonomi, seperti mengolah tanah yang berkaitan dengan dunia pertanian dan perladangan sebagai basis penting kehidupan masyarakat di pinggiran atau perdesaan.

Selain itu, pekerjaan lain yang ikut menunjang sejenis profesi yang berkaitan dengan dunia seni tradisi, seperti kerajinan tangan dan pembuatan peralatan kesenian yang merupakan kebutuhan yang pernah menjadi tulang punggung bagi kehidupan tradisi masyarakat, namun kini tampaknya kian menyusut meskipun masih ditekuni sebagai kewajiban yang diturunkan oleh leluhurnya.

Proses kebudayaan itu tampak sederhana walau tak mudah bagi masyarakat modern untuk memahaminya secara lebih mendalam. Dunia modern yang dengan basis kehidupan sosial ekonomi dengan industri sebagai pijakannya, kesenian dan kebudayaan sebagiannya dianggap sebagai suatu proses pasar di mana siapa saja bisa membelinya.

Zaman memang mengubah melalui perkembangan ekonomi dengan dukungan politik dan ideologi yang lambat laun ikut menyingkirkan proses tradisi yang pernah selama ratusan tahun menjadi basis bagi suatu puncak kehidupan masyarakat.

Basis itu kini menyusut dan perubahan orientasi masyarakat berubah tidak lagi terikat kepada norma sosial bahwa ikatan tradisi bukan jaminan bagi masyarakat untuk menangguk nilai. Modernisasi memiliki peranan, betapa pun kerangka modernisasi itu bisa dipertanyakan dan digugat dalam konteks upaya menegakan kembali tatanan nilai, sehabis penggusuran seluruh struktur sosial oleh arus modernisasi.

Barangkali atau bahkan sangat penting bagi kita untuk menilai ulang posisi organisasi dan institusi kebudayaan modern yang mungkin semula diharapkan bisa ikut mengelola arah perkembangan kebudayaan, namun oleh dampak politik lokal dan interes elite dalam mengelola kehidupan sosial, kini organisasi dan institusi itu mengalami degradasi posisi dan fungsinya.

Kita tentu saja mendengar, dan tak jarang didengungkan bahwa lembaga pendidikan pada jenjang apapun sebagai suatu lembaga kebudayaan, dan khususnya lembaga pendidikan kesenian punya misi di dalam ikut mengelola, menjaga dan melakukan konservasi terhadap kehidupan tradisi.

Tetapi pada prakteknya kita menemukan bagaimana birokrasi pendidikan yang hanya memandang selembar sertifikat sebagai ukuran membuat institusi pendidikan menciptakan jarak, dan bahkan memutuskan relasi sosial.

Ironi dari kondisi ini pada satu sisi institusi itu menganggap dirinya melakukan proses transfer tatanan nilai tradisi secara teoritik dan praktek, tapi pada sisi lainnya institusi itu justru tak mampu dan bahkan tak bisa melibatkan para empu dan pakar tradisi non-pendidikan terlibat secara intensif.

Satu-dua institusi pendidikan masih mengundang, misalnya, ISI Surakarta, dengan memberi posisi, walaupun posisi itu tak cukup memberikan dampak sosial ekonomi kepada para empu, sekadar penghargaan.

Jika ISI Surakarta bisa melakukan hal itu, menjadi pertanyaan kita, bagaimana dengan SMKI, UNM, atau kampus umum lainnya? Sudah lama saya mendengar tak adanya suatu pelibatan yang intensif terhadap para empu tradisi dalam kaitannya dengan proses transfer pengetahuan dan keterampilan. Tapi saya juga mendengar adanya kunjungan sejenis kuliah lapangan yang hanya beberapa hari dalam satu semester atau setahun.

Saya kurang tahu, apakah program kuliah lapangan ini bisa memberikan makna yang berarti bagi mahasiswa dan posisi para empu. Program yang terasa basa-basi itu makin membuktikan bahwa politik birokrasi yang tak peka kepada makna kesejarahan telah membekuk cara berpikir kaum akademisi di kampus UNM.

Sambil menepuk dada sebagai pembaharu tradisi, banyak kaum akademisi yang benar-benar tak menyadari bahwa ketika arus modernisasi melindas berbagai penjuru kehidupan masyarakat dan khususnya selera dan orientasi nilai lama kian goyah, tepukan dada itu rasanya seperti sejenis arogansi kaum terdidik yang mengalami amnesia historis.

Maka dalam kondisi itu kita menyaksikan proses pelestarian, konservasi mengalami kejumudan dan masuk ke dalam sikap konservatif.

Marilah kita bertanya-tanya, siapakah yang sesungguhnya pakar gandrang yang akan melanjutkan kepiawaian yang dahsyaat dari seorang Empu Daeng Serang, Empu Daeng Mile (alm), atau kepakaran dan keterampilan Puik-puik sekelas Daeng Erang?

Siapakah yang menjadi pakar bagi jenis Pakarena Burane yang sirna dari bumi Sulawesi Selatan? Siapakah yang melanjutkan Pakarena Empu Mak Coppong yang melahirkan genre Pakarena Kampili, atau Pakarena Empu Mak Cida’ di Malino? Adakah kini masih ada empu teater tradisi Kondo Buleng, dan siapakah yang mewarisinya?

Jika institusi pendidikan dalam belitan birokrasi yang menggusur visi tentang tradisi dan tak mampu menggerakkan dirinya untuk membuka kemungkinan, mungkinkah kita bisa bertanya- tanya kepada DKSS (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan)? Sebab kita tahu Dinas Kebudayaan, Dinas Pariwisata, bukanlah suatu institusi yang bisa kita ajak merumuskan suatu strategi kebudayaan.

Di dalam institusi ini pun kita menemukan kebuntuan cara berpikir dalam tata kelola tradisi, apalagi jika kita ajak untuk masuk ke dalam kerangka visi untuk kehidupan mendatang.

Harapan kepada DKSS mungkin bisa kita sandarkan, walaupun kita juga tahu, bahwa hal itu bergantung kepada cara kerja dan cara berpikir pengelola lembaga. Tapi menyandarkan suatu harapan mungkin bisa ikut mendorong DKSS untuk bisa sigap menangkap gejala terjadinya suatu degradasi kehidupan tradisi.

Siapa tahu melalui DKSS bisa menciptakan suatu dialog intensif dengan mengajak UNM dan Dinas Kebudayaan, Dinas Pariwisata untuk meninjau kembali praktek dan pengembangan cara berpikir tentang tradisi.

 

Studio Plesungan, Plesungan, Karanganyar, 23 Maret 2024


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama