Perilaku Nepotis dan Pelanggaran Etika Harus Ditransformasi

PERILAKU NEPOTIS DAN PELANGGARAN ETIKA. Pada tataran nasional kita melihat kerakusan-kekuasaan itu misalnya terwujud dengan kecenderungan membangun dinasti melalui perilaku nepotis dan pelanggaran etika. Semua ini masuk dalam kategori pelanggaran mu’amalat (thughyaan) yang harus ditransformasi. Jika tidak, maka akan menjadi norma yang berakhir pada karakter bangsa.

 

-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 30 Maret 2024


Ramadhan sebagai Bulan Transformasi (05): 


Perilaku Nepotis dan Pelanggaran Etika Harus Ditransformasi


Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi

(Imam / Direktur Jamaica Center New York)


Seringkali kita mengasosiasi keutamaan Ramadhan dengan bulannya, padahal semua rentang waktu itu, dari menit ke jam, jam ke hari, hari ke minggu dan bulan, semuanya sama di mata Allah. “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ada dua belas bulan. Empat bulan di antaranya adalah bulan-bulan haram (dilarang melakukan perang).”

Keutamaan bulan Ramadhan ada pada bagaimana respons dan perilaku (behaviors) kita padanya. Apakah direspons secara positif dan sepenuh hati atau dibiarkan berlalu tanpa respons positif dan setengah hati pula. Setengah hati dalam menjalankan amalan-amalan ritual yang ada (puasa, qiyam, dll), apalagi menjadikannya sebagai momen transformasi atau perubahan mendasar dalam kehidupan nyata.


Enam: Transformasi Sosial


Kita meyakini Islam bukan sekadar sebagai agama (religion). Islam bukan sekadar sebuah sistem yang penuh dengan amalan-amalan ritual pemuas batin semata, melainkan sebagai “diin” atau sistem dan petunjuk hidup yang sempurna dan menyeluruh. Islam hadir selain sebagai tuntunan hidup individual, juga sebagai tuntunan kehidupan sosial kolektif (jama’ah). 

Pada tataran ini kehidupan sosial yang kita maksud adalah kehidupan yang menyangkut acuan/aturan dalam menjalankan kehidupan pada aspek mu’amalat. Bahwa Islam itu selain hadir menuntun manusia di dalam rumah-rumah ibadah (masjid-masjid), di bulan Ramadhan atau di bulan lainnya. Islam juga hadir untuk menuntun manusia untuk menjalani hidupnya di pasar, di supermarket, hingga di parlemen dan istana negara.

Sesungguhnya pada aspek mu’amalat inilah nilai “akhlak” (moral behaviors) menjadi sebuah keharusan. Kejujuran dan amanah dalam kehidupan sosial ini menjadi salah satu karakteristik orang-orang yang beriman (lihat S. Al-Mukminun ayat 8). Kejujuran dalam berbisnis menjadi jalan kebaikan dan kemuliaan dunia-akhirat (attaajiru as-shoduuq). Demikian seharusnya Islam menjadi tuntunan dalam menjalankan kehidupan mu’amalat kita.

Pada tataran inilah puasa Ramadhan hadir sebagai momen penting untuk melakukan transformasi itu. Melakukan pembenahan kebiasaan dan prilaku mu’amalat ke arah yang lebih benar dan baik. Jika selama ini dalam berbisnis seringkali melakukan “ketidakjujuran” (penipuan), maka bulan Ramadhan adalah masa untuk melakukan “self transformation” untuk menjadi pribadi dengan karakter kejujuran, termasuk dalam niaga dan bisnis.

Koneksi rasional antara puasa dan perubahan mendasar atau transformasi sosial ini ada pada esensi puasa: “menahan”. Orang berpuasa berjuang menahan diri dari makan, minum, dan hal lain yang membatalkan puasa, tapi esensinya menahan (imsak) di sini adalah menahan diri dari kecenderungan hawa nafsu yang seringkali tak terkendalikan. 

Nafsu yang tak terkendalikan inilah yang kemudian berakibat kepada ragam “transgresi” (thoughyaan) dalam kehidupan. Thughyaan ini pulalah yang membawa kepada ragam “kerusakan” (zhaharal fasaadu) dan “penderitaan (jahiim) dalam kehidupan.

Dengan puasa di bulan Ramadhan, seorang muslim melakukan kontemplasi /perenungan serta introspeksi (muhasabah) termasuk dalam perilaku sosialnya (social behaviors) yang dilakukan selama ini. Apakah itu sudah sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya? Atau sebaliknya justru melenceng dari ajaran-Nya dan tuntunan Rasul-Nya, bahkan membahayakan bagi dirinya dan lingkungannya.

Diakui atau tidak, kita hidup dalam dunia yang penuh dengan “thughyaan” (transgresi). Dan semua itu disebabkan oleh kerakusan hawa nafsu yang tak terkontrol. Berbagai pelanggaran, baik pelanggaran hukum maupun etika (moral) diakibatkan oleh kerakusan itu. 

Pada tataran nasional kita melihat kerakusan-kekuasaan itu misalnya terwujud dengan kecenderungan membangun dinasti melalui perilaku nepotis dan pelanggaran etika. Semua ini masuk dalam kategori pelanggaran mu’amalat (thughyaan) yang harus ditransformasi. Jika tidak, maka akan menjadi norma yang berakhir pada karakter bangsa.

Pada tataran global thughyan juga terjadi hampir dalam segala skala kehidupan. Secara ekonomi, dunia kapitalis menghalalkan segala cara dengan ragam manipulasi alam demi memenuhi kerakusan hawa nafsunya. Selain semakin memperbesar “jurang pemisah” antara yang kaya dan miskin, antara dunia maju (Norther nations) dan dunia ketiga (Southern nations), juga semakin memperparah kerusakan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. 

Di sinilah Islam dan puasa Ramadhan harus menjadi momen untuk melakukan perenungan dan transformasi. Semua bermula dari penataan hati dan jiwa yang berdampak positif pada perilaku dan karakter manusia. Dengan menata hati dan memperkuat spiritualitas melalui puasa Ramadhan, hawa nafsu akan secara efektif terkendalikan untuk diarahkan kepada nilai dan orientasi positif konstruktif. 

Ini pula salah satu makna dari firman Allah: “Dan barangsiapa yang takut akan maqaam (kebesaran) Tuhannya dan menahan diri dari dorongan hawa nafsunya, maka sesungguhnya Jannah yang menjadi tujuan akhirnya” (an-Nazi’at). Jannah yang dimaksud di sini selain surga di akhirat kelak, juga kedamaian dan kebahagiaan di dunia yang sementara ini. Semoga! 


Manhattan, 30 Maret 2024


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama