“Badik”, Puisi Aspar: Cedera Dimensi Metaforis

Aspar keasyikan memainkan majas komparatif sehingga makna filosofis puisinya mengalami cacat bawaan. Penyair seakan lupa bahwa badik yang terselip di pinggang, tidak berbanding makna dengan badik yang ada di dalam hati. Badik di pinggang adalah fisikal (baca: budaya), sementara badik di hati adalah keyakinan akidah (baca: syariat).

 

-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 04 Mei 2024

 

Kritik Sastra:

 

“Badik”, Puisi Aspar: Cedera Dimensi Metaforis

 

Oleh: Mahrus Andis

 

Kemampuan seorang sastrawan nasional dalam menulis karya sastra, tentu, tidak diragukan lagi. Tak terkecuali dalam penciptaan puisi. Namun, sebagai manusia biasa, tentu seorang penyair tidak harus selalu tampil dengan karya-karya berkualitas sastra.

Banyak faktor yang berpengaruh, termasuk usia dan tingkat kontemplasi yang melemah. Demikian pun yang terjadi pada diri penyair asal Sulawesi Selatan, Aspar Paturusi.

Dalam sebuah puisinya yang berjudul “Badik” (baca: ini juga yang menjadi judul buku antologinya, Penerbit Garis Warna Indonesia, Jakarta: 2011), Aspar menulis sebagai berikut:

***

 

BADIK

 

jangan sentuh lagi badik kakek

kini tenang tergeletak di peti

genggamlah sebilah badik perkasa

penakluk segala masalah

 

badik itu tidak terselip di pinggang

tapi harus kukuh tegak di hati

badik itu bernama badik iman

pamornya berukir takwa

 

inilah badik yang harus kau miliki

tak ada darah di tajam ujungnya

hanya berhias cinta kasih

senyum buat saudara seiman

 

badik iman berpamor takwa

cabut dari hati segera

bila ada duka musibah

 

Jakarta, 13 Juli 2010

***

 

Membaca puisi ini, kita seakan berhadapan dengan seorang “kakek”. Atau katakanlah si kakek itu bernama “peradaban”. Ibarat “to manurung” (manusia dewa yang turun dari langit), Aspar memperkenalkan sebuah peradaban baru di balik makna usang sebilah badik: tradisi pembunuhan warisan nenek moyang turun-temurun.

Bagi penyair, masa kejayaan badik sebagai senjata eksekusi bagi tegaknya nilai “siriq” sudah berlalu. Ia telah menjadi situs yang menampung nilai sejarah.

Badik yang “fisik” dan menjadi kebanggaan di masa silam harus disimpan dalam peti antik. Badik yang tidak lagi terselip di pinggang dan tak ada darah di tajam ujungnya. Badik yang berhias cinta kasih kepada sesama adalah badik yang “ruh”. Badik iman yang cahayanya menjadi senyum bagi segenap solusi kedamaian umat manusia.

Sesungguhnya, tawaran badik fisik menjadi badik ruh sudah dilakukan sebelumnya oleh Aspar. Novelnya yang berjudul “Pulau” (diangkat ke layar lebar dengan judul “Lelaki dari Tanjung Bira”, 1990-an) sudah meletakkan badik bukan sebagai pembunuh, melainkan sekadar simbol keberanian melawan pelanggaran adat.

Di film tersebut ada adegan “siriq”, yakni sepasang remaja (kallolo dan anaqdara) berduaan di tempat yang sunyi. Ayah si gadis mendatangi rumah orang tua si pemuda. Keduanya adalah nakhoda, pelaut ulung yang dihormati di kampungnya.

Kedua nakhoda tersebut berhadap-hadapan dengan badik siap dihunus. Namun apa yang terjadi? Aspar Paturusi, sebagai pengarang cerita, tidak membiarkan badik itu berbicara. Badik fisik yang terselip di pinggang kedua nakhoda “kini tenang tergeletak di peti”. Badik ruh, yaitu “badik iman berpamor takwa” yang bersemayam di bilik hati segera tercabut. Dan solusi peradaban baru pun hadir di antara dua hati yang menanggung “siriq.”

Lelaki Sattu dan perempuan Aminah (pasangan remaja yang membuat malu keluarga dalam novel itu), akhirnya dinikahkan secara adat tanpa “ada darah di tajam ujung” badik.

Kali ini, lewat puisinya yang berjudul “badik”, Aspar pun telah menyugesti pembaca untuk melebur badik fisik menjadi badik ruhani. Pada tataran semiotika-sintaksis, ini bisa disebut berhasil. Namun, dari dimensi semiotika-semantis, Aspar tersandung penggunaan metafor (configuration language) yang menyimpang.

Coba perhatikan bait akhir puisinya di bawah ini:

“...

badik iman berpamor takwa

cabut dari hati segera

bila ada duka musibah”

 

Betapa Aspar keasyikan memainkan majas komparatif sehingga makna filosofis puisinya mengalami cacat bawaan. Penyair seakan lupa bahwa badik yang terselip di pinggang, tidak berbanding makna dengan badik yang ada di dalam hati. Badik di pinggang adalah fisikal (baca: budaya), sementara badik di hati adalah keyakinan akidah (baca: syariat).

Mencabut “badik iman” dari hati, sama halnya dengan “murtad” (keluar dari akidah). Tentu bukan ini yang dimaksudkan penyair. Namun karena kekhilafannya memilih diksi membuat puisi “Badik” mengalami cedera pada dimensi metaforis.***

 

Makassar, 04 Mei 2024


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama