Membincang Kembali Ilmu Sosial Indonesia

 

Di Indonesia yang paling aktif mempromosikan gagasan mengenai ilmu sosial alternatif itu misalnya Kuntowijoyo yang memperkenalkan ilmu sosial profetik, suatu ilmu sosial yang dihasilkan dari pembacaan teks-teks keagamaan untuk diobjektifikasi agar teks-teks yang bersifat normatif dapat dikontribusikan dalam kehidupan sosial nyata.

------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 16 Februari 2025

 

Membincang Kembali Ilmu Sosial Indonesia

 

Oleh: Syarifuddin Jurdi

(Dosen Sosiologi Politik UIN Makassar)

 

Menjelang berakhirnya abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, ilmu sosial Indonesia masih dalam “bayang-bayang” pengaruh Barat dan Eropa. Fenomena yang sama dialami oleh ilmu sosial di negara-negara berkembang.

Dominasi itu berlangsung secara menyeluruh dalam berbagai bidang, terutama dalam riset dan publikasi akademik. Tingkat ketergantungan pada teori-teori sosial Barat sangat tinggi. Konsekluensi dari ketergantung itu mengakibatkan proyek merumuskan diskursus alternatif ilmu sosial Indonesia mengalami “kemacetan.”

Problem yang dihadapi ilmuwan Indonesia sebenarnya pada etos intelektual yang belum mengakar. Kendala yang utama mengapa proses merumuskan ilmu sosial alternatif itu belum maksimal yakni soal ketekunan dan kemandirian intelektual. Artinya, usaha untuk melepaskan ketergantungan pada dunia intelektual Barat belum dilakukan secara maksimal.

Ilmu sosial alternatif secara sederhana dapat dimaknai sebagai ilmu yang membebaskan. Ilmu sosial yang sesuai dengan corak masyarakat Indonesia atau ilmu sosial yang tidak mengalami kolonisasi.

Diskusi ilmu sosial alternatif yang telah lama dilakukan ilmuwan sosial Indonesia sejak dekade 1970-an merupakan rintisan yang memerlukan tindak-lanjut oleh generasi muda, tetapi rintisan itu menghadapi banyak kendala dan masalah internal intelektual Indonesia.

Mengapa perlu memikirkan ilmu sosial Indonesia? Salah satu jawabannya adalah masyarakat Indonesia merupakan mayoritas masyarakat muslim yang memiliki tradisi dan kebiasaan yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya (masyarakat muslim sekitar 85%, kemudian agama lain seperti Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kongucu), secara keseluruhan masyarakat Indonesia religius.

Perdebatan intelektual mengenai soal ini sebenarnya telah terbangun sejak diskusi awal yang dilakukan oleh HOS Tjokroaminoto dan para muridnya, sertabdiskusi antara Natsir dan Soekarno mengenai Islam dan kebangsaan dan lain-lain mengenai visi kebangsaan Indonesia.

Pra kemerdekaan, para intelektual Indonesia mendiskusikan banyak topik, di antaranya soal gagasan sosialisme, nasionalisme, Islamisme dan komunisme. Untuk yang terakhir sebenarnya cukup menarik, karena menghasilkan polarisasi orientasi dalam gerakan Islam yang berpengaruh pada masa itu yakni Sarekat Islam, akibat pengaruh Marxisme dan komunisme, lahirnya SI merah dan SI putih.

Visi kemanusiaan menjadi visi yang diusung oleh organisasi pergerakan yang bangkit pada awal abad ke-20 dengan beragam motif dan kepentingan. Ketika jumlah populasi Indonesia yang menamatkan pendidikan tinggi semakin bertambah, kajian mengenai masyarakat Indonesia mengalami peningkatan.

Misalnya studi yang dilakukan Deliar Noer mengenai gerakan modern Islam Indonesia sebelum kemerdekaan. Juga studi yang dilakukan oleh Selo Sumardjan mengenai Perubahan Sosial di Yogyakarta. Studi-studi lain dilakukan oleh sarjana Indonesia yang lain.

Pada dekade 1970-an muncul komunitas epistemik intelektual pribumi yang secara aktif membicarakan dan mempublikasikan studi mengenai masyarakat Indonesia. Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan sejumlah intelektual lainnya mendirikan satu lembaga yang dikenal dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

LP3ES didirikan pada 19 Agustus 1971 dengan publikasi jurnal bereputasi sangat baik pada zamannya yakni Prisma. Artikel yang dipublikasikannya sangat bernas mengenai masyarakat Indonesia dan perkembangan ekonominya.

LP3ES merupakan lembaga yang menjadi instrumen sarjana Indonesia untuk melakukan kajian dan studi mengenai modernisasi, pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan perkembangan masyarakat Indonesia. Komunitas ini tidak mengisolasi diri dengan dunia intelektual dari luar, sejumlah hasil studi Indonesianis dipublikasikan oleh jurnal yang dikelola Prisma. 

Pada saat yang sama, sarjana asing yang secara serius melakukan studi dan kajian mengenai masyarakat Indonesia meningkat jumlahnya. Indonesianis memiliki motif tersendiri dalam menjelaskan masyarakat Indonesia. Sejumlah nama yang cukup melegenda di antaranya Clifford Geertz, William Liddle, Harry J. Benda, BJ. Boland, Mitsuo Nakamura, dan lain-lain.

Kehadiran mereka mewarnai perkembangan studi sosial politik di Indonesia. Ditambah dengan meningkatnya literatur ilmu sosial yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mempermudah sarjana dan calon sarjana Indonesia mengakses sumber bacaan yangmendukung kegiatan akademiknya. 

Dekade 1980-an dan 1990-an menjadi masa yang cukup penting dalam proses perkembangan ilmu sosial Indonesia. Perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan bidang ilmu sosial menyebar ke seluruh Indonesia yang membuka kesempatan tumbuh dan berkembangnya studi dan kajian mengenai ilmu sosial yang spesifik membicarakan masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia.

Namun dalam kenyataannya, dominasi ilmu sosial Barat tetap kuat, sarjana Indonesia merujuk pada sumber referensi yang berasal dari ilmu sosial yang dihasilkan dari kajian dan studi sarjana Barat.

Referensi utama dalam kajian ilmu-ilmu sosial merujuk pada misalnya Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, atau yang populer belakangan Jurgen Habermas, Anthony Giddens, George Ritzer dan lain-lain, sementara sarjana kita belum banyak yang menghasilkan karya monumental yang dapat dijadikan referensi utama, baik secara metodologi maupun teoritik.

Sejak dekade 1980-an muncul gagasan untuk melakukan pribuminisasi ilmu sosial secara masif, namun semangat itu tidak berkelanjutan, tidak terlembaga dengan baik dan bersifat parsial, seharusnya menjadi gerakan yang melibatkan suatu institusi utama yang berfungsi merumuskan ilmu sosial yang bersifat khas Indonesia.

Sejumlah sarjana Indonesia secara sadar sudah melakukan upaya itu secara serius dengan membuat wadah dan sarana promosi gagasan berupa jurnal dan majalah ilmiah seperti Jurnal Prisma dan Ulumul Qur’an yang konsisten mempromosikan gagasan ilmu sosial alternatif.

Pentingnya pribuminisasi sebagai upaya untuk menyertakan sejumlah sarjana sosial klasik yang terlupakan dalam khasanah ilmu sosial secara umum. Dalam literatur ilmu sosial Barat tidak menyebut kontribusi sarjana muslim seperti Ibn Khaldun dalam studi mereka, meskipun substansi yang dihasilkan sarjana Barat yang menjadi referensi kajian ilmu sosial itu bersumber dari Ibn Kahldun, sebagai contoh, konsep atau teori mengenai solidaritas sosial, gagasan ini sebenarnya sudah dirintis oleh Ibn Khaldun dengan istilah ashobiyah, sejak beberapa abad yang lampau.

Pribuminisasi ilmu sosial dipromosikan secara umum oleh sarjana dan intelektual muslim yang merasa bahwa masyarakat Indonesia mayoritas Islam dan cara bagaimana memahami masyarakat Islam itu memerlukan pendekatan tersendiri yang menghasilkan kajian akademik.

Untuk melakukan gerakan itu, sarjana Muslim seperti Ismail Raji Al-Faruqi secara serius melakukan perenungan intelektual yang menghasilkan satu karya penting dalam bidang intelektual yakni buku berjudul: “Tawhid: Its Implications for Thought and Life” yang terbit di Amerika pada tahun 1982. Suatu karya penting dalam rangka saintifikasi Islam, istilah yang dipopulerkan oleh Kuntowijoyo sebagai pembeda dari Islamisasi ilmu.

Di Indonesia yang paling aktif mempromosikan gagasan mengenai ilmu sosial alternatif itu misalnya Kuntowijoyo yang memperkenalkan ilmu sosial profetik, suatu ilmu sosial yang dihasilkan dari pembacaan teks-teks keagamaan untuk diobjektifikasi agar teks-teks yang bersifat normatif dapat dikontribusikan dalam kehidupan sosial nyata.

Melalui gagasan ini, Kuntowijoyo menghendaki agar dilakukan gerakan apa yang disebutnya dengan saintifikasi Islam, bahkan ia mendorong agar meninggalkan gerakan Islamisasi ilmu.

Upaya Kuntowijoyo ini memerlukan gerakan lanjutan agar ilmu sosial alternatif itu dapat melembaga dalam pengembangannya. Kawan Kuntowijoyo yang cukup produktif dalam menulis karya-karya intelektual yakni Dawam Rahardjo yang memberi Pengantar pada buku Kuntowijoyo: “Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi”, menyambut baik apa yang diinisiasi oleh Kuntowijoyo. Namun beberapa kali saya berdiskusi dengan Dawam Rahardjo sewaktu beliau masih menjadi Rektor Universitas Proklamasi Yogyakarta, menyebut bahwa gerakan saintifikasi Islam terus digiatkan, tetapi tetap juga meneruskan proyek Islamisasi ilmu, dua hal ini tidak boleh diabaikan untuk mengembangkan ilmu sosial alternatif.

Para perintis gerakan ini sudah mewariskan karya intelektualnya yang cukup penting untuk menjadi spirit agar ilmu sosial Indonesia bisa berkembang dengan baik tanpa terlalu terjebak dengan perkembangan ilmu sosial Barat.

Kampus-kampus Islam yang kini berkembang kajiannya yang tidak lagi ilmu agama semata, tetapi pendirian disiplin ilmu umum pada perguruan tinggi Islam bisa menjadi instrumen pengembangan ilmu dalam arti yang lebih luas.

Kampus UIN, IAIN, STAIN dan Universitas Islam seperti Universitas Muhammadiyah, dapat dipergunakan sebagai instrumen pengembangan ilmu dalam arti yang luas, khususnya pengembangan ilmu sosial yang khas Indonesia. (bersambung)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama