Sabda Konstitusi Ekoteologi

Pohon program pembangunan pemerintah yang berakar dan harus berbuah ekonomi, berdampak arah penafsiran ‘kemakmuran’ dan ‘penguasaan negara’ pada kapitalistik. Akhirnya, institusi industrial berbasis kapitalisme bertindak sebagai aktor utama dalam ‘skenario’ pengelolaan sumber daya alam. - Syafruddin Muhtamar -

 

-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 29 November 2025

 

OPINI

 

Sabda Konstitusi Ekoteologi

 

Oleh: Syafruddin Muhtamar

(Mengajar di Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia)

 

Peringatan global tentang krisis lingkungan hidup, selalu menjadi ajang gaung berulang, dari suara perih derita alam. Labirin cerita nestapa: dari deforestasi, buramnya keanekaragaman hayati, hingga ancaman kepunahan masyarakat adat, mensketsa sebuah hubungan ‘tidak benar’ antar manusia dan alam. Mitos ekologi masa silam mengenai ‘alam perawan adalah ibu kehidupan’, terdengar seperti dengung dongeng zaman sekarang.

Kerusakan akut ini, dicurigai karena pilihan cara kelola manusia atas lingkungan. Studi Jason Hickel (2022), terhadap 160 negara, rentang 50 tahun, menunjuk faktor pendorong kerusakan lingkungan global: umumnya karena nafsu berlebihan pemanfaatan sumber daya. Selain dari  ekstraksi, pengolahan, distribusi, dan perambahan hutan industri. Dan negara industri maju, penyumbang utama skala kerusakan itu.

Pendekatan industrialistik institusi modern atas alam, membawa efek samping membahayakan ekosistem, bahkan kelanjutan hidup manusia. Sebagaimana Capra (2000) menyebut, krisis multidimensional peradaban modern adalah biang kepunahan ras manusia, karena cara pandang mekanistik dalam sains, terhadap alam. Ekoteologi salah satu gagasan mutakhir pengurai akar kiris ekologi.

Aura teologis konstitusi 1945, terpancar dari beberapa sudut: preambule pada frase ‘berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa’, pada kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ yang dinyatakan sebagai dasar negara (Pancasila), pasal 29 ayat 1, pasal 31 ayat 5 bahwa ‘negara memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan ummat manusia’.

Norma dasar tersebut merupakan ‘prisma’ spritualisme dan religius bangsa ini. Nilai ketuhanan yang mengakar pada kehidupan masyarakat, terefleksi melalui nilai etis dan moril, dijunjung tinggi dalam konstitusi. Etika-moril spritual dan agama dapat menjadi perbendaharaan norma yuridis bagi pengelolaan lingkungan.

Ekoteologi memperoleh penguatan konstitusionalitasnya, disini. Bahwa nilai ketuhanan sebagai dasar bernegara dan berbangsa, dapat diintegrasikan dengan pemikirian ilmiah bidang lingkungan, dalam kerangka regulasi. Konstitusi membuka ‘ruang kebijakan relatif’ pembangunan dan penanganan kerusakan ektrem lingkungan hidup, dengan dua sentuhan: ‘tangan tuhan’ dan tangan manusia.

Berkaca pada dinamika asas-asas dalam UU lingkungan hidup: UU No. 4/1982, yang menekankan asas pelestariaan lingkungan sebagai menunjang pembangunan, UU  No. 32/2009 meletakkan asas, pada tanggungjawab, pelestarian dan keberlanjutan, keterpaduan, manfaat, kehati-hatian, keadilan, ekoregion, keanekaragaman hayati, pencemar membayar, partisipatif, kearifan lokal, tata kelola pemerintahan yang baik dan otonomi daerah.

Sementara dalam omnibuslaw, UU No 11/2020, asas dalam UU PPLH tidak diubah, tetapi menambahkan aspek kemudahan perizinan investasi, tanpa mengabaikan pelestarian dan keberlanjutan lingkungan.

Tersamar menemukan ‘prisma spritualualisme’ dibalik asas-asas tersebut, kecuali pemahaman mengenai moral-etika rasional pengelolaan lingkungan. Moral dan etika rasional telah dimaklumi sebagai gagasan dan praktik fundamental pembangunan masyarakat.

Ada kecerahan baru ketika regulasi terakhir memasukkan asas kearifan lokal. Dimana asas ini, dipahami masih bagian dari cara pandang dan praktik hidup dalam berspektrum spritual dan agama.

Walau bagai sebiji bintang di malam pekat: namun pelibatan kearifan Tradisi atau sains local, sebagai pilihan pendekatan, memberikan titik terang kebijakan untuk terus mendorong terbukanya ruang ‘teologis’ bagi pengelolaan lingkungan. “Cahaya teologi” konstitusi masih seperti ruang hampa dalam banyak kebijakan ekologis. Meskipun ‘cahaya itu’ menyala terang sebagai fondasi negara.

Kata S.H. Nasr (1984), sedikit yang menyadari kiris manusia modern karena sebab over development bukan under development. Keabsaan rasionalisme sains, yang meletakkan alam sebagai gejala fisik, dan dalam fungsi ekonomi semata, berdampak pada dominasi manusia atas alam.

Konsep kelestarian dan keberlanjutan, merupakan simpati rasio dalam sikap adil dan tanggung jawab. Meski, kerusakan yang timbul, hampir mustahil kembali pada kondisi ‘alam yang perawan’.

Sifat mekanistik sains ilmiah ini perlu dipandu ulang dengan pandangan metafisik dalam spiritualisme dan religiusme. Demi eliminasi kerusakan lingkungan lebih jauh. Ekoteologi diperlukan, sebagai jalan integrasi antara sains obyektiv dalam ranah ilmiah dan sains ‘subyektif’ dalam ranah metafisika. Pengejawantahannya dapat menempuh lajur konstitusionalitas.

 

Ilusi Kebijakan Ekologis

 

Instrumen yuridis mengelolaan lingkungan, banyak dipersoalkan karena asumsi pemerintah ‘berat sebelah’ ke sisi institusi industrial. Mahkamah konstitusi dalam putusan No. 3/PUU-VIII/2010, memberi satu sinyal mengenai ‘keperpihakan’ itu.

Bahwa norma hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) dalam UU 27/2007 dinyatakan inkonstitusional, karena mengandung semangat privatisasi. Semangat itu berseberangan langsung dengan kaidah kepentingan publik dalam konstitusi.

Hampir merata instrument legal ekologis, menempatkan dalam pertimbangan yuridisnya, makna sumber daya alam sebagai anugerah Tuhan YME, sebagai kekayaan yang dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun dalam praktik pernomaan operasional, terjadi bias moral.

Pohon program pembangunan pemerintah yang berakar dan harus berbuah ekonomi, berdampak arah penafsiran ‘kemakmuran’ dan ‘penguasaan negara’ pada kapitalistik. Akhirnya, institusi industrial berbasis kapitalisme bertindak sebagai aktor utama dalam ‘skenario’ pengelolaan sumber daya alam.

Ada ilusi kebijakan disini. Idealnya alam dari Tuhan, untuk rakyat melalui negara, namun ralitasnya seperti suara gaung berulang atas realitas: derita lingkungan dan nestapa manusia. Tidak ada kuntinuitas moral ‘teologis’ konstitusi dalam kebijakan ekologis.

Diskontinu ini disisip oleh rasionalisme kebijakan ekologis berbasis antroposentrisme: keterpisahan alam dan manusia; manusia dominan atas alam. Implikasinya, motif hak yuridis lingkungan  lebih condong pada kebutuhan ekonomi, ketimbang kebutuhan sosial, alam dan rohani manusia. Kata Plumwood (2005) dalam konteks itu, alam dianggap seperti mesin tanpa roh, bisa diekploitasi demi urusan manusia.

Keterputusan moral konstitutif sebagai ‘ruang kosong norma’, dapat menjadi ruang materi muatan yuridis bagi gagasan ekoteologi, tanpa mengecilkan peran dan makna rasio manusia (anthropos).

Ruang harap atas sebuah kebijakan ekologis yang menumpu pada kesejatian manusia, sebagai mahluk suprame yang dikaruniai Tuhan: akal, hati dan alam semesta, untuk menyatakan kesyukurannya kepada sang Pencipta, sebagai ‘yang berwenang’ pengelola bumi.***


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama