Hercules ‘Bau Tanah’-nya


Kesan diksi “Bau tanah atau kayak mayat berjalan” bila dilontarkan langsung kepada para pihak bersangkutan, tentu akan marah hingga darah mendidih bah bara api. Eloknya jangan ucapkan, dan cukup ditulisin di artikel atau narasi novelan agar berkesan santun, supaya darah bernadi jatung meledak plus mati mendadak pula. - Maman A. Majid Binfas -


------

PEDOMAN KARYA

Rabu, 14 Mei 2025

 

Hercules ‘Bau Tanah’-nya

 

Oleh: Maman A. Majid Binfas

(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)

 

Istilah “bau tanah” merupakan diksi bau yang khas dari tanah, baik setelah hujan turun / petrichor maupun digunakan sebagai simbolikalisasi ditujukan kepada orang lanjut usia. Dan konotasi kesannya, memang lebih kepada durasi mendekati akan kematian. 

Namun, bagi orang yang berilmu pengetahuan agak memadai, masalah kematian tak mestinya selalu berdurasi demikian.

Maut kematian tanpa mengenal usia, apakah masih embrio atau tua. Cantik atau jelek berpremanan, pintar atau bodohan juga jabatan bertahta dan berjumlah hartawan. Semuanya itu, tidak akan diperdulikan oleh maut kematian. Maut tetap akan jujur menghampiri siapapun dan apapun, semasih ia bernama makhluk hidup ciptaan Tuhan.

Jujur, dari awalnya memang saya tak tertarik untuk menggores mengenai dagelan diksi bah “belah bambu” yang didaur ulang oleh Bung Hercules, berdiksi “Bau tanah”. Namun, dikarenakan digiring oleh Bung Najamuddin melalui narasinya bergaya AI / Artificial Intelligence dengan topik “Negara yang Absen dan Bangkitnya Premanisme.”

Di dalam narasinya, dia mengaitkan dengan goresan saya tentang “Iqra Bersalaman Wal Asri”. Kemudian, melalui Japri Whatsapp_nya, setelah narasinya diterbitkan oleh Pedoman Karya: dia mengucapkan _“Terimakasih. Semoga tdk digugat sama Hercules tulisan ini.”

Selanjutnya, saya membalas, “kenapa mesti takut, memang dia / Hercules bukan manusia biasa saja, yang berasal dari tanah dan akan kembali juga jadi tanah. Tentu, semua yang berasal dari sumber yang sama, mesti akan berbau tanah pula, dan itu memang tanpa bisa dipungkiri bung.”

Terlepas japrian, kemudian, narasi Bung Najamuddin, saya bantu viralkan dengan topik “Goresan Tanpa Pandang Buluan”, dan lebih kurangnya, diantarkan dengan komentar.

Dalam tulisan, Bung Dr. Najamuddin, pada bagian narasinya, mengutip dan menjabarkan argumen tentang logika goresan saya. Sekalipun, goresan saya tak berkaitan dengan preman Hercules, namun bersifat umum tanpa pandang buluan apapun.

Terkadang, memang ada lebih kurangnya, dan dikaitkan dengan topik narasinya. Namun, hal itu dianggap wajar dan logis saja, di dalam dunia publik berkesan akademis.

Bahkan, menjadi bagian dari sub topiknya, dan agar bisa dibaca kembali bagian dimaksudkan, mungkin tidak terlalu keliru untuk dikutip kembali dengan apa adanya guna memahaminya.

 

Memahami dan Mengamalkan Nilai-Nilai Agama

 

Bagian akhir tulisan ini menarik dikutip untuk menjadi bahan renungan mengatasi premanisme tulisan Maman A. Majid Binfas, di Pedoman Karya, pada Jumat, 09 Mei 2025, tentang Iqra Bersalaman Wal Asri yang bisa membawa kita pada refleksi mendalam tentang esensi nilai-nilai spiritual dan moral dalam kehidupan sehari-hari.

Maman mengawali dengan mengingatkan kita tentang peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu ketika Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud, dan peran cicak yang berusaha memperbesar api, serta burung pipit yang membantu dengan mengambil air dari danau untuk memadamkan api.

Maman kemudian mengaitkan cerita ini dengan kehidupan sehari-hari, di mana banyak orang yang mengklaim memiliki iman kuat namun tidak tercermin dalam perilaku sehari-hari dengan mengutip QS As-Saff ayat 3, yang mengkritik orang-orang yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan.

Ayat ini, menjadi pengingat bagi kita sebagai agamawan maupun akademisi untuk memastikan bahwa iman kita tidak hanya diucapkan, tetapi juga diimplementasikan dalam tindakan nyata.

Maman juga mengkritik budaya karetan dan kebiasaan masyarakat yang lebih mengutamakan penampilan luar daripada esensi nilai-nilai spiritual dan moral. Menurutnya penting bagi akademisi apalagi agamawan menekankan pentingnya memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar mengucapkan kata-kata manis tanpa tindakan nyata.

Dalam bagian akhir tulisannya, Maman menggunakan metafora cicak dan tikus untuk menggambarkan perilaku manusia yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan tidak peduli dengan nilai-nilai moral dan spiritual.

Di sini, pentingnya mengatasi premanisme dengan menekankan pentingnya bimbingan logis dan bermata nurani untuk menghindari perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki esensi nilai-nilai spiritual.

Tulisan Maman ini dapat membawa agamawan dan akademisi pada upaya refleksi tentang pentingnya memahami dan mengamalkan nilai-nilai spiritual dan moral dalam kehidupan sehari-hari sebagai teladan guna mengatasi segala bentuk premanisme baik nyata maupun terselubung.

Apakah kita hanya mengucapkan kata-kata manis tanpa tindakan nyata, ataukah kita benar-benar memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan kita?

Jawaban atas pertanyaan Maman ini akan menentukan apakah kita dapat mencapai esensi Iqra dan Wal Asri dalam kehidupan kita, termasuk untuk mencegah perilaku premanisme di sekitar dan bahkan yang berpotensi pada diri kita.

 

Potensi Bau Tanah atau Mayat Berjalan

 

Lontaran, Hercules “bau tanah”, beraroma kurang sedap ketika mengatakan Pak Sutiyoso (Jenderal Purnawirawan TNI), sebagaimana dikutip oleh Tribun Jakarta, Selasa, 06 Mei 2025, yakni sbb:

“Kayak Pak Sutiyoso itu ngapain, Pak Sutiyoso itu gak usahlah menyinggung Ormas, sudahlah kalau saya bilang mulutmu sudah bau tanah. Gak usah nyinggung-nyinggung kita,” ujar Hercules.

Akibat, dari lontaran tersebut, berhingga jadi bertebaran aroma bauh tanah bah jamuran musim hujan, baik melalui medsos maupun media off lainnya.

Memang, kesan diksi “Bau tanah atau kayak mayat berjalan” bila dilontarkan langsung kepada para pihak bersangkutan, tentu akan marah hingga darah mendidih bah bara api. Eloknya jangan ucapkan, dan cukup ditulisin di artikel atau narasi novelan agar berkesan santun, supaya darah bernadi jatung meledak plus mati mendadak pula.

Apalagi, ada yang saling balas ocehan berjotosan di publik dengan mengatakan kepada Hercules bah “Mayat yang berjalan”. Tentu, makin tak elokan lagi kesannya.

Kesan, istilah “Mayat yang berjalan” boleh dimaknai dengan mayat yang berjalan apa adanya, sebagaimana dibudayakan di beberapa daerah yang meyakininnya. Dalam konteks lain, dimaknai untuk menggambarkan seseorang yang secara fisik masih hidup dan berjalan, namun secara batin atau spiritual dianggap seperti mayat. 

Bahkan simbolikalisasi diksi “mayat yang berjalan” digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak lagi peduli dengan nilai-nilai spiritual, agama, atau kebaikan, sehingga hidupnya menjadi tanpa tujuan dan makna.

Sekalipun, kesannya bermakna telah tampak jelas, dia telah membayangi maut kematian dihadapannya akan segera tiba dengan tiba-tiba hampa diduga pula.

Bahkan, objek “kayak mayat berjalan” tersebut, bertampilan pedean, sebenarnya hanya ambisi gaya tipuan kerangka raganya doang nan pula.

Rasa pedean dikarenakan merasa diri, ada bekingan bungkusan buhulan yang beresensi sama mawon pada ketumbangan barengan pula.

Kalau, saya menggores ini hanya semata untuk logika pencerahan dengan mengandalkan kekuatan anugerah dari Tuhan tanpa kedengkian.

 

Bertuhan Kedengkian

 

Kalau hanya sekadar untuk memuaskan rasa naluri nafsu kedengkian kepada orang lain, tidak ada gunanya di hadapan Tuhan.

Bahkan, hanya menambalin beban batin yang dapat melumati jantung berhingga maut kematian,_ lebih dahsyat kesadisannya, sebelum takdir sesungguhnya bertakbiran untuk diri sendiri.

Walaupun, QS Al-Hujuraat:12 telah diindahkan dengan terang dan nyata, sebagaimana artinya__

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya, sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Namun, esensi domain kesan diksi di atas ini, hampir punah dan buram plus rabun ayam, baik dalam dimensi institusi pendidikan berkarakter didesain maupun pada lantunan orasi mimbar agama berperilaku nyata di lapangan kebangsaan.

Bahkan, domain dekil dalam kedengkian telah menaburi, baik di institusi pendidikan maupun labelan keagamaan yang gamang dalam realitas berkenyataan.

Dan akibatnya, bangunan kebangsaan berhingga akar rumput hingga pelosok pun tercerabut, terhinggapi kebrutalan dalam keliaran rasa dengkinya dipertuankan.

Bahkan, rasa kedengkian dipertuhankan demi kepuasan naluri nafsu arogansi, bukan saja diidap oleh orang tak berilmuan atau preman saja. Tetapi sebaliknya, bahkan yang merasa berpendidikan pun demikian pula, sekalipun bernilai sampah dihadapan Tuhan.

 

Jadi Ilmuan Premanan

 

Kalau benar menantang tentang keilmuan jangan setengah matang, akan lebih jantan jadi preman sejati.

Sekalipun, kematian di depan mata akan tetap dihadapi. Itu baru berjiwa jantan juga matang berkalang tanah mesti ditutantasin.

Kalau bah BJ Habibie, tentu dunia telah mengakui memang pantas dianugerahi Pahlawan tanpa dapat dipungkiri keaktualan temuannya.

Beliau, bukan preman keilmuwan tetapi terbukti nyata di depan mata, dan dinikmati menjadi warisan Indonesia membumi.

Juga, mesti dijempolin oleh siapapun hingga bersalaman husnul khotimah diaminkan.

Jadi, soal diksi “bau tanah atau mayat berjalan” tidak mesti dibesar-besarkan, apalagi demi radius politikalisasi recehan an sich doang yang didagelani, sehingga kembali berulang untuk dikenang tanpa bermakna apapun. Mesti disiumankan diri masing-masing dengan kadar kecerdasan tinggi, sesungguhnya kita, adalah manusia biasa saja, yang berasal dari tanah dan akan kembali juga jadi tanah. Tentu, diyakini semua yang berasal dari sumber yang sama mawon, dan akan berpulang jadi aroma berbau tanah pula.

Sekalipun, ragaan dipolesin dengan aksesori parfum diformalin dengan aroma apapun yang dibiusin tak akan berpengaruh dari asas bau khas beraroma tanahnya. Dan itu memang  tanpa bisa dipungkiri oleh siapapun.

Apalagi, bila aroma diksinya “bau tanah” merambat hingga kompleks kampus pun tejerumus, baik berdimensi umum maupun bernuansa religius pun, hendak turut  tergiur untuk berkasmaran dengannya.

Maka, semakin sempurnalah kalam kekaramannya, bahkan ijazah pun bisa beraroma “bau tanah” dan atau “kayak mayat berjalan” untuk tanda khatam. _Wallahualam

 



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama