![]() |
| PENYANDANG DISABILITAS bukan objek belas kasihan, namun individu yang memiliki hak-hak yang sama dengan orang lain. (ist) |
-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 16 Juni 2025
Stigma Penyandang Disabilitas di Kota
Makassar Perspektif Maqâṣid Al-Syari’ah (5):
Penyandang
Disabilitas Bukan Objek Belas Kasihan
Oleh: Muktashim Billah
(Dosen Universitas Muhammadiyah Makassar)
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
dalam BAB I tentang Ketentuan Umum disebutkan, Penyandang Disabilitas adalah
setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan
dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Berdasarkan pengertian tersebut, dipahami
bahwa diksi yang digunakan adalah keterbatasan. Keterbatasan menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan yang terbatas. Terbatas diartikan sebagai
tidak leluasa atau telah dibatasi, sehingga dapat dipahami bahwa keterbatasan
adalah ketidakmampuan melakukan sesuatu karena adanya batasan yang tidak
sanggup dilakukan.
Keterbatasan tersebut dalam bentuk (a) disabilitas
fisik. Sekalipun dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tidak disebutkan secara
rinci tentang kriteria disabilitas secara fisik namun disabilitas dalam bentuk
fisik diartikan sebagai keadaan yang merupakan lanjutan dari suatu penyakit
yang berproses dan mengakibatkan kerusakan pada jasmani dan rohani yang tidak
reversible, serta adanya gangguan pada fungsi dari alat yang berkaitan, sehingga
disabilitas dari segi fisik mengalami kelainan fisiologis pada alat gerak yang
berimplikasi pada terganggunya aktivitas yang juga menghambat aksesibilitas
dalam beraktivitas.
(b) Disabilitas intelektual yaitu bentuk
disabilitas yang berkaitan dengan keterbelakangan dalam hal fungsi-fungsi
intelektual yang berada di bawah rata-rata yang tampak secara jelas, yang
diperparah dengan ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada
masa perkembangan terutama hambatan dalam kecerdasan sehingga pertumbuhannya
tidak optimal dengan IQ di bawah 70.31.
Hak-hak Penyandang Disabilitas dalam UU 8
Tahun 2016
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas merupakan peraturan hukum di Indonesia yang memberikan
perlindungan dan hak-hak bagi penyandang disabilitas.
Berdasarkan pada Bab III Pasal 5 tentang
Hak Penyandang Disabilitas, terdapat 22 hak penyandang disabilitas dan bagi
perempuan dan anak-anak juga memiliki hak-hak khusus yang harus diperhatikan.
Secara umum berikut adalah beberapa hak
penting yang diatur dalam undang-undang tersebut yaitu hak atas kesetaraan, hak
atas partisipasi sosial, hak atas pendidikan inklusif, hak atas pekerjaan dan
pelatihan, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas aksesibilitas, hak atas
perlindungan hukum, hak atas komunikasi.
Hak-hak Penyandang Disabilitas dalam Islam
Dalam Islam, penyandang disabilitas
dianggap sebagai bagian penting dari umat manusia yang harus dihormati dan
dilindungi. Ajaran Islam menekankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan
empati terhadap semua individu, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, atau sensorik.
Dalam pandangan Islam, penyandang
disabilitas bukan objek belas kasihan, namun individu yang memiliki hak-hak
yang sama dengan orang lain.
Beberapa hak penyandang disabilitas yang
diakui dalam Islam yaitu hak atas penghormatan dan martabat, hak atas
aksesibilitas, hak atas pendidikan: setiap individu, hak atas pekerjaan, hak
atas kesehatan, hak atas dukungan sosial & hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan masyarakat.
Penyandang disabilitas memiliki hak yang
sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Mereka harus diberikan
kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan budaya, sosial, dan keagamaan tanpa
diskriminasi atau hambatan yang tidak perlu.
Dalam perspektif agama seperti Islam, umat
Muslim diajarkan untuk melihat penyandang disabilitas sebagai individu yang
memiliki kesempatan untuk memperoleh pahala melalui perbuatan baik dan
pelayanan maksimal.
Masyarakat Muslim juga didorong untuk
mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan dan potensi
penyandang disabilitas, serta melakukan upaya konkret untuk memenuhi hak-hak
mereka.
Stigma kepada Penyandang Disabilitas
Stigma yang dialami oleh penyandang
disabilitas adalah masalah sosial yang serius di masyarakat. Stigma terjadi
ketika penyandang disabilitas dianggap rendah, diabaikan, atau diperlakukan
secara tidak adil karena kondisi fisik, sensorik, atau kognitif mereka.
Stigma adalah stereotip negatif,
prasangka, dan diskriminasi yang ditujukan kepada individu atau kelompok
berdasarkan karakteristik tertentu, termasuk kondisi fisik atau mental yang
menyebabkan disabilitas.
Stigma dapat menyebabkan penyandang
disabilitas mengalami penolakan sosial, pengucilan, dan kesulitan dalam
memperoleh hak-hak yang seharusnya mereka miliki. Stigma dapat berdampak
negatif pada kehidupan penyandang disabilitas, termasuk keterbatasan aksesibilitas,
kesempatan pendidikan dan pekerjaan, serta isolasi sosial.
Stigma terhadap penyandang disabilitas
dapat berasal dari ketidaktahuan, prasangka, dan mitos yang beredar di
masyarakat. Banyak orang yang tidak memahami bahwa disabilitas bukanlah sesuatu
yang harus dihindari atau ditakuti, melainkan merupakan bagian dari keragaman
manusia.
Ketidaktahuan ini sering kali menghasilkan stereotip negatif dan prasangka terhadap penyandang disabilitas. Selain itu, media juga memainkan peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap disabilitas. Ketika media sering kali menggambarkan penyandang disabilitas sebagai orang yang lemah, hal ini akan memperkuat stigma dan menciptakan pandangan negatif yang lebih lanjut. (bersambung)
......
Tulisan bagian 4:

