Qurban Pertama Diajarkan oleh Nabi Adam kepada Anaknya

Qurban diajarkan pertama kali oleh Nabiullah Adam a.s kepada kedua putranya (Qabil dan Habil) untuk memperoleh jawaban dari perselisihan antara keduanya, yang manakah di antara keinginan mereka yang diridhai oleh Tuhan Allah SWT. - Abdul Rakhim Nanda -

 

-----

PEDOMAN KARYA

Jumat, 06 Juni 2025

 

Qurban Pertama Diajarkan oleh Nabi Adam kepada Anaknya

 

Oleh: Abdul Rakhim Nanda

 

‘Iedul Qurban, disebut juga ‘iedul Adha. Secara etimologi, kata qurban berasal dari bahasa Arab qariba –yaqrabu– qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang berarti dekat (S. Askar, Al Ahzar: 2011: 656), sehingga menurut istilah, qurban berarti mendekatkan diri kepada Allah melalui ritual penyembelihan hewan ternak.

Adapun kata ‘Idul adha muncul dari “udhhiyyah” yang merupakan bentuk jamak dari “dhahiyyah” (dari dhaha) yang artinya ‘naiknya matahari’ waktu dhuha, sedangkan udhhiyyah sendiri bermakna ‘hewan yang dikurbankan’ (S. Askar, Al Ahzar: 2011: 439).

Ini menununjukkan makna waktu prosesi penyembelihan qurban yang diselenggarakan seusai shalat ‘Idul adha 10 Dzulhijjah (hari nahar), ditambah tiga hari pada tanggal 11-13 Dzulhijjah (hari tasyriq).

Kata qurban yang bermakna ‘dekat’, bila diberi akhiran huruf nun-alif yang bermakna ‘sempurna’, maka kata qurban menjadi qurbânan yang bermakna ‘pendekatan diri secara sempurna.’

Qurban adalah jenis ibadah (pendekatan diri) paling tua di kehidupan dunia ini. Qurban diajarkan pertama kali oleh Nabiullah Adam a.s kepada kedua putranya (Qabil dan Habil) untuk memperoleh jawaban dari perselisihan antara keduanya, yang manakah di antara keinginan mereka yang diridhai oleh Tuhan Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam al Qur’an surah al-Maidah/5: 27:

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata: Aku pasti membunuhmu! Berkata Habil: Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertakwa.”

Kemudian Qurban (pendekatan diri melalui ritual persembahan penyembelihan) yang kedua, diperintahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim melalui mimpi untuk menyembelih anaknya sebagai-mana firmanNya dalam al-Qur’an surah As Shaffat (37): 102-107:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Wahai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: Wahai Ibrahim! Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

Begitulah wujud ke-Islam-an yang dicontohkan oleh Bapak Tauhid kita dalam Islam, Nabiullah Ibrahim a.s. dan putra kesayangannya Ismail a.s. yang diabadikan dalam Al-qur’an.

Pendekatan secara totalitas (qurbânan) kepada Allah SWT dengan dasar taqwa, ikhlash, sabar dan tawakkal sebagaimana dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail, melahirkan ketentuan Allah yang sangat baik dan jauh lebih ringan, yakni Allah mengganti penyembelihan Ismail --sebagai objek ritual qurban--dengan sembelihan yang agung, sehingga menjadi kesyukuran yang tak terhingga bagi kita umat para Nabi terutama umat Rasulullah s.a.w, bahwa Allah SWT menetapkan cara mendekatkan diri kepadaNya, bentuk ritualnya tidak lagi harus menyembelih anak kita tapi cukup menyembelih sembelihan agung (dzibhin adzhim) berupa binatang ternak yang disebut bahimatul an’am (domba, kambing unta, sapi, (QS: 22:34 & 6:142-144)) sebagai ketentuan Allah.

Ritual pendekatan diri dalam bentuk menyembelih udhiyyah dari jenis bahîmatul an’am juga harus dilakukan dengan sepenuh pendekatan totalitas-sempurna (qurbânan) dengan dasar taqwa kepada Allah SWT karena nilai taqwa itulah yang diterima.

Firman Allah SWT dalam al-qur’an:

“Sekali-kali tidaklah dapat mencapai (keridhaan) Allah daging-daging unta dan darahnya itu, tetapi yang dapat mencapainya adalah ketaqwaan dari kamu. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (QS Al-Hajj/22: 37).

Oleh karena hasil akhir dari dari pendekatan totalitas kepada Allah (baca: qurbânan) adalah taqwa sebagaimana firman Allah SWT pada QS al-Hajj ayat 37 tersebut, maka nilai-nilai pendekatan kepada Allah harus diterjemahkan sebagai pendekatan kepada Allah secara totalitas.

Idul Adha bukan hanya hari raya penyembelihan hewan qurban, tapi juga momentum menghidupkan kembali semangat pengorbanan yang agung dari Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan putranya Nabi Ismail 'alaihissalam. Betapa luar biasa ketaatan mereka, dengan dasar taqwa, ikhlash, sabar dan tawakkal itu.

Semangat inilah yang menjadi inspirasi besar dalam membangun peradaban: ketaatan total, kesadaran spiritual, dan keikhlasan yang tulus diikuti dengan jiwa yang sabar dan tawakkal.

Allah berfirman: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu´, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (QS. Al-Ahzab: 35)

 

.....

Penulis Abdul Rakhim Nanda adalah Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel dan Rektor Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama