-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 29 Juni 2025
Sejarah dalam
Ingatan Negara
(Dosen Fakutas Hukum, Universitas Muslim
Indonesia, Makassar)
Kabar penyegaran sejarah Indonesia
menyeruduk teligah publik, beberapa waktu lalu. Dengungnya seolah membawa serta
semangat patriotisme-nasionalisme kabinet merah putih. Rencana penyegaran sejarah itu dimatangkan di
Kementerian Kebudayaan, dan tengah dalam proses tindak lanjut penyelesaian.
Bagaimanakah negara memperlakukan masa
lalu dalam ingatannya sebagai ‘sejarah resmi’? Sejarah adalah ungkapan
kebenaran peristiwa. Aristoteles menyebutnya sebagai catatan fakta masa lalu
yang diverifikasi dengan bukti. Tetapi ‘sejarah resmi’ biasanya dikerjakan
dengan beban ideologi di pundak ‘penulis.’
Pengaruh kekuasaan membuat sejarah resmi
menjadi ‘konotatif’: mereduksi kompetensi obyektiv ke ambang, yang biasanya
‘sulit dimengerti’, sehingga usaha penulisan atau revisi sejarah resmi oleh
negara, biasanya mengundang kontroversial.
Kegiatan ‘pemutakhiran sejarah’ sebagai
tindakan administratif negara, telah dilakukan beberapa kali dalam siklus
pemerintahan nasional. Awal dasawarsa pemerintahan reformasi, ada penyusunan
“Indonesia dalam Arus sejarah” tahun 2012.
Dan permulaan periode Orde Baru, juga
disusun Sejarah Nasional Indonesia, tahun 1984. Sekarang, sejarah resmi itu
akan kembali ‘digodok’, dalam ‘visi’ 'Reinventing Indonesian Identity, ‘term
arahan’ yang digunakan Tim Penyusun.
Sudah menjadi permakluman jika ‘catatan
resmi sejarah’, berbaur kepentingan kekuasaan negara dan ‘kepentingan kelompok
atau individu dalam kekuasaan’. Kepentingan negara adalah kepentingan
konstitusional. Kepentingan kelompok atau individu adalah legitimasi dan
justifikasi politis.
Segala bentuk perbuatan pemerintah
bersifat administrative recht. Keputusan dalam maknanya sebagai tindakan
administrasi, mengandung konsekwensi konstitusionalitas. Karena perbuatan
pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan bernegara. Keputusan
administrasi negara penulisan ‘sejarah resmi’ maupun ‘revisi’ direfleksikan
sebagai tanggung jawab kekuasaan demi soliditas penegakan moral konstitutif.
Moral fundamental konstitusi, Pancasila.
Disinilah letak beban ideologis proses administrasi penulisan sejarah nasional,
berakar. Bahwa, ‘sejarah resmi’ itu disusun sebagai penopang kekukuhan
identitas nasional dan kebangsaan Indonesia, dalam citra ideologi Pancasila.
Pengelolaan ‘sejarah’ melalui
administrasi, selalu mengandung corak ‘kepentingan negara’. Era kabinet Orde
Lama, melalui Kementerian Pendidikan, diadakan Kongres Sejarah Nasional pertama
1957, untuk sebuah rancangan sejarah nasional.
Semangat ‘pembangunan nasional’ awal
keberadaan NKRI ‘mewarnai’ rancangan sejarah resmi. Pendekatan percepatan
pembangunan ekonomi melalui stabilitas politik, juga ‘menentukan’ corak
penulisan sejarah nasional, secara sentralistik, oleh kabinet fase Orde Baru.
Kabinet merah putih era Indonesia
mutakhir, dengan latar problematika nasional dan internasional yang berbeda, di
tengah pusaran zaman yang tidak berkepastian: juga melakukan tindakan
administrasi ‘sejarah’.
Akar semangatnya tentu bertumpu pada Asta
Cita kabinet yang melatarinya. Khususnya, cita memperkokoh ideologi Pancasila.
Termasuk visi dan misi negara yang tertuang dalam RPJPN 2025-2045: menjadi
NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil, dan makmur.
Semangat dan spektrum ideologis juga akan
mempengaruhi sendi kebijakan pemerintah dalam ‘merevisi sejarah resmi’ periode
ini.
Sejarah resmi dengan beban ‘kepentingan’
politik kontitusional negara, sering mengudang gaduh kritis: ada kecurigaan,
sejarah resmi akan menjelma alat legitimasi atau justifikasi. Terutama jika,
berkenaan sebuah peristiwa ‘politik kekuasaan’, dimana ‘negara’ ditengarai
terlibat sebagai ‘aktor antagonis’ di dalamnya.
Dalam konteks penulisan sejarah resmi,
maka terhadapnya, metode penafsiran menjadi terbuka secara dinamis, sebagai
implikasi ideologis dari sisi negara.
Kebijaksanaan Sejarah ‘Identitas
Indonesia’
Sejarah memiliki arti penting bagi
manusia. Entitas politik negara, baik modern maupun klasik, tentu akan
menangani ‘urusan sejarahnya’ sendiri demi kepentingan bangsa tersebut.
Karenanya, covered ‘keyakinan idologis’ dalam ‘catatan sejarah resmi’, lazim
secara politik, demi penegaasan sebuah identitas nation-state.
Sentuhan ‘ideologis’ itu merupakan
pengejawantahan rasa politik kekuasaan kontitutif. Official history dihadirkan
demi memperkuat fondasi semangat hidup bangsa dan negara bersangkutan. Namun
demikan, tidak bermakna pengabaian dan/atau mengorbankan hakikat ‘kebenaran’
realitas sejarah, yang mungkin ada dalam versi non-official.
Pada dasarnya, penulisan sejarah sangatlah
plural dan cair, di tengah kecanggihan rasionalisme sainstifik abad mutakhir.
Namun bahwa ‘keyakinan ideologis’, merupakan kandungan unik dari kekhasan
penulisan sejarah resmi.
Kebijaksanaan memandang ‘sejarah resmi’
perlu, karena ‘produk itu’ membawa ‘perlambangan’ sebuah identitas ‘jati diri’
melalui ornamen peristiwa dari masa lampau. Yang isinya, dapat dimahfumkan
sebagai warisan nilai, kebijaksanaan moral, refleksi perjuangan nasional,
inspirasi kepemimpinan dan kenegaraan, kebanggaan peradaban, patriotisme,
keragaman budaya, kekayaan geografis, dan kekayaan local-sience.
Sejarah bukan sekadar akumulasi peristiwa
dari masa lampau, tetapi juga sebuah bagunan dialektika rasio dan pengalaman
manusia, kata Kuntowijaya.
Sejarah resmi adalah ‘teropong diri’
kebijaksanaan, agar ia berhikmah bagi perjalanan bangsa ke arah masa depan.
Tanpa mengabaikan pluralitas kebenaran sejarah yang ada, dari waktu silam.***

