Stigma Terhadap Penyandang Disabilitas Harus Dipertegas Keharamannya

STIGMA terhadap penyandang disabilitas tidak boleh dipandang sebelah mata sehingga harus dipertegas keharamannya. Problematika stigma menempatkan penyandang dipandang sebelah mata, yang seharusnya dihargai sebagaimana manusia lainnya justru menjadi kesan awal adalah rasa kasihan, belas kasih dan akhirnya berakhir pada meremehkan hingga diskriminasi. (ist)    

 

-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 12 Juni 2025

 

Stigma Penyandang Disabilitas di Kota Makassar Perspektif Maqâṣid Al-Syari’ah (3):

 

Stigma Terhadap Penyandang Disabilitas Harus Dipertegas Keharamannya

 

Oleh: Muktashim Billah

(Dosen Universitas Muhammadiyah Makassar)

 

Di dalam Islam, pembahasan mengenai penyandang disabilitas memang tidak pernah dibahas secara spesifik oleh ulama-ulama klasik. Dalam al-Qur’an dan hadis juga tidak ditemukan kalimat Penyandang Disabilitas secara umum, namun yang disebut adalah disabilitas yang diderita seperti اَلأْعَمَ yang berarti buta, seperti pada surah ‘Abasa ketika Rasulullah saw. didatangi oleh orang buta (اَلأْعَمَ َجاَءُه َأْن) namun beliau menanggapinya dengan muka masam.

Selain itu disebut juga اَلأْعَرُج dan ِرْيُض الَم dalam QS. Al-Fatḥ:48/17. Juga tuli (ُصّم) dan bisu (ُبْكم) dalam QS. Al-Baqarah:2/18, lafal tersebut pemaknaannya juga tidak bermakna pada kecacatan fisik, terkadang penyebutan-penyebutan tersebut bermakna orang yang tidak mau melihat padahal memiliki mata yang normal.

Begitu juga di dalam hadis, tidak ditemukan kalimat yang menyebutkan penyandang disabilitas melainkan dengan menggunakan kalimat yang mengarah pada disabilitas yang disandang.

Adapun dalam bahasa arab, kata penyandang disabilitas juga tidak dikenali baik para fukaha klasik hingga kontemporer. Namun, digunakan beberapa  istilah bermakna umum seperti َِذار اَلأْع ṿّأْصَحاُ (Orang yang Beralasan) yang ditemukan dalam beberapa kitab fikih seperti dalam al- Mabsūṭ karya al-Ṭūsī yang menyebutkan sebuah tema yaitu َصَلَِة ِر ِذْك يف ن ِ :َفْصُل َوالُمَتَحِّول الَمرْيض ِمَن :اَلأْعَذار ṿَأْصَحاُ (Tema: Bacaan Salat Bagi yang Berhalangan: Dari Penyakit dan Teralihkan).

Begitu juga disebut dengan الَبَلَِء َأْهُل yang diibaratkan sebagai orang yang diuji oleh Allah swt. dengan ujian tertentu yang menghalanginya melakukan sesuatu, ibn Quda¯ mah salah satu yang menggunakan istilah ini dalam kitabnya al-Mugnī.

Istilah-istilah ini tentu menandakan bahwa ulama-ulama klasik telah membahas hak-hak para penyandang disabilitas sekalipun belum disepakati istilah khusus bagi mereka.

Selain itu dalam istilah kontemporer digunakan beberapa istilah yang mengarah pada pengertian disabilitas seperti ِاج اِلاْحِتَي ُذو الَخاَصِة (Penyandang Kebutuhan Khusus) atau اِلإَعاَقُة dan الَعاَهُة yang semua bermakna sebagai orang yang memiliki keterbatasan dalam beraktivitas sebagaimana manusia normal yang disebut dengan disabilitas.

Islam memandang bahwa seluruh manusia itu sama dan tidak dibedakan karena faktor fisik. Manusia merupakan bentuk sempurna dari penciptaan yang disebut sebagai fiī Aḥsani Taqwīm.

Selain itu Allah swt. menganugerahkan akal budi kepada manusia dengan maksud sebagai khalifah-Nya di muka bumi agar bisa mengemban amanah dengan baik terutama dalam membedakan yang baik dan buruk. Namun, perlu diakui bahwa manusia diciptakan berbeda-beda. Mulai dari suku, budaya, ras hingga bentuk fisik.

Lahirnya manusia ada yang memiliki keterbatasan masing-masing. Bila dilihat dari segi spiritual, ada yang Allah swt. anugerahkan untuk menjadi nabi dan rasul yang disebut sebagai manusia unggul yang kemudian membimbing manusia ke jalan yang lurus.

Selain itu dalam hal fisik, terlihat bahwa ada manusia yang diberi kesempurnaan dalam fisik, namun ada juga yang biasa-biasa saja, bahkan ada juga yang diberi keterbatasan seperti buta, bisu ataupun tidak sempurnanya anggota tubuh.

Begitu pun secara intelektual, ada di antara mereka yang unggul dalam kecerdasan namun ternyata begitu lemah dalam hal tersebut. Dalam hal sosial, ada yang miskin dan kaya, ada yang menjadi atasan dan ada yang menjadi bawahan. Tentunya semua ini mustahil diciptakan tanpa tujuan yaitu agar manusia saling tolong menolong dan bekerja sama.

Hadirnya penyandang disabilitas di tengah-tengah masyarakat memiliki hikmah dan rahasia yang hanya diketahui oleh Allah swt. hakikat sesungguhnya, namun manusia senantiasa didorong untuk mencari hakikat tersebut agar dapat mengembangkan kesetaraan kepada penyandang disabilitas dan menciptakan kemaslahatan bersama.

Dari paparan-paparan di atas, terlihat bahwa stigma terhadap penyandang disabilitas tidak boleh dipandang sebelah mata sehingga harus dipertegas keharamannya. Problematika stigma menempatkan penyandang dipandang sebelah mata, yang seharusnya dihargai sebagaimana manusia lainnya justru menjadi kesan awal adalah rasa kasihan, belas kasih dan akhirnya berakhir pada meremehkan hingga diskriminasi.

Diskriminasi tentu saja tidak memiliki tempat termasuk dalam agama seperti Islam. Namun, pembahasan mengenai keharaman stigma terhadap penyandang disabilitas belum dibahas panjang lebar solusinya oleh para ahli fikih klasik dan kontemporer utamanya dalam tinjauan perspektif Maqāsid al-Syarȋ’ah untuk menemukan teori-teori pengurangan stigma kepada penyandang disabilitas. (bersambung)


.....

Tulisan bagian 2:

Penyandang Disabilitas Masih Mendapatkan Perlakuan Penghinaan, Diskriminasi dan Pelabelan Negatif

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama