-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 08 Juli 2025
Apresiasi Seni Yayasan Sulapa EppaE, 2025:
Ajang “Siduppa
Rapang” Seniman Bugis
Oleh: Mahrus Andis
(Penyair, Kritikus Sastra)
Yayasan Sulapa EppaE, dipimpin ketuanya
Jamal Andi SSos, seorang penggerak pemajuan budaya yang cukup aktif di
Makassar, menggelar Apresiasi Seni berbasis kearifan lokal budaya Bugis.
Kegiatan yang berlangsung sehari penuh,
Sabtu, 05 Juli 2025, di Gedung MULO Disbudpar Sulsel tersebut dihadiri para
seniman dan tokoh budaya di daerah ini.
Selain pertunjukan kesenian daerah,
kegiatan ini juga membuka forum dialog bertema Seni Berbasis Kearifan Budaya
Bugis, dengan narasumber Dr. Andi Jamilah, Mahrus Andis, Cucut Abdi Basit, Dr.
Karim dan Bahar Merdu Petta Puang. Diskusi cukup seru dipimpin moderator Rahim
Kalo.
Dr. H. Ajiep Padindang, selaku Pembina
Yayasan Sulapa EppaE, ketika memberikan sambutan mengemukakan bahwa kegiatan
apresiasi seni Bugis ini sudah dilaksanakan, jauh sebelum adanya Undang-undang
No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Kegiatan yang berlabel “Sempugi” (Serumpun
Bugis) tersebut menjadi paket andalan Yayasan Sulapa EppaE dengan ujung tombak
penggeraknya Sekolah Bahasa Bugis (SBB).
Ajiep yang Anggota DPRD Sulsel Periode
2007 – 2014, dan Anggota DPD MPR RI selama dua periode (2014-2019, 2019-2024),
menyebutkan pula bahwa kegiatan apresiasi seni berbasis kearifan lokal di tahun
ini dibiayai oleh Kementerian Kebudayaan RI melalui Dana Indonesiana kategori
dukungan institusional. Menurut Ajiep, tematik kegiatan ini fokus pada seni
berbasis budaya Bugis.
“Orang Bugis tersebar di seluruh Nusantara
hingga di negara-negara ASEAN, terutama Malaysia dan Singapura. Salah satu
tujuan kegiatan ini yaitu selain menjadi supporting bagi tumbuhnya minat
mencintai budaya leluhur di kalangan seniman, juga diharapkan tetap terjalin
komunikasi dan interaksi kebudayaan di antara etnis rumpun Bugis di seluruh
wilayah Nusantara dan diaspora di negara-negara lain. Karena itu, kita dituntut
bekerja sama untuk membangun peradaban bangsa dengan menggali dan melestarikan
serta memanfaatkan nilai-nilai kearifan budaya lokal yang telah diwariskan oleh
leluhur Bugis sejak ratusan tahun yang silam,” imbau pemikir budaya yang
bernama lengkap Andi Jamaluddin Padindang.
Tiga Dimensi Sastra Bugis
Selaku narasumber, saya melakukan
pendekatan terminologis dengan membagi 3 dimensi karya sastra Bugis yaitu: sastra
klasik, sastra modern berbahasa Bugis, dan sastra kontemporer berbasis kearifan
lokal budaya Bugis.
Sastra klasik, suatu bentuk karya puisi
dan prosa yang bersifat anonim dan menggunakan bahasa pengucapan yang tidak
lazim di tengah interaksi masyarakat Bugis. Boleh disebut bahasa arkhais,
seperti dalam cerita mitologi Sureq Galigo, Lontaraq, Pappaseng, Elong dan
Werekkada.
Jenis karya sastra Bugis ini sudah tidak
diciptakan lagi oleh masyarakat, melainkan hanya digali, dilestarikan dan
dimanfaatkan nilai-nilai kearifan masa silam yang dikandungnya.
Sementara itu, jenis sastra modern dan
kontemporer yang berdimensi bahasa daerah serta kearifan lokal Bugis, masih
amat kurang dijumpai di tengah gencarnya dinamisasi program literasi yang
selama ini digaungkan pemerintah.
Penciptaan karya puisi atau cerita
berbahasa Bugis di daerah ini sangat langka. Demikian pula, sudah jarang
ditemukan karya sastra kontemporer yang digali dari nilai-nilai kearifan lokal
budaya Bugis. Ini menjadi masalah besar dalam perspektif gerakan pemajuan
kebudayaan.
Faktor utamanya jelas yaitu rendahnya
minat apresiasi para seniman terhadap karya sastra daerahnya sendiri. Selain
itu, kebijakan pemerintah dalam program literasi sastra daerah, termasuk seni
sastra berbahasa dan berkearifan lokal Bugis, belum menyentuh sisi kebutuhan
masyarakat peminat dan pendukungnya.
Undang-undang Pemajuan Kebudayaan masih
tahap coba-coba dan belum terjabarkan secara menyeluruh di dalam kebijakan
kurikulum pendidikan di negeri ini.
Perlu Rekruitmen Guru Sastra Bugis
Dengan kondisi seperti yang saya paparkan
di atas, boleh jadi ini sebuah ancaman (masalah) bahwa kita bakal kehilangan
generasi pencinta dan pelestari karya seni sastra daerah yang diharapkan mampu
melindungi bahasa dan sastra Bugis dari kepunahannya.
Peran guru bahasa daerah di sekolah masih
sangat kecil untuk merangsang tumbuhnya kecintaan anak didik terhadap sastra
Bugis. Tidak hanya karena guru bahasa daerah dapat dihitung jari, juga semakin
parah sebab guru yang mengajarkan sastra Bugis tidak memiliki kompetensi di
bidang seni sastra. Bahkan, tidak jarang guru yang mengajarkan sastra daerah di
sekolah adalah guru olahraga yang kebetulan jam mengajarnya kosong.
Kondisi belajar-mengajar seperti ini tidak
boleh terus dibiarkan. Pemerintah wajib hadir mengambil tindakan yakni membuka
kesempatan kepada para sarjana bahasa dan sastra daerah untuk direkrut menjadi
tenaga pengajar di sekolah atau tenaga pemikir di lingkungan birokrasi
pemerintahan.
Dalam mengimplementasikan program literasi
yang berbasis budaya lokal, selain tenaga guru bahasa Bugis yang kompetensial,
Pemerintah Daerah juga butuh pemikir budaya seperti Kajao Laliddong di zaman
kerajaan Bugis.
Potensi kearifan budaya leluhur yang kaya
nilai-nilai moral, harus terus digali dan dimanfaatkan untuk kepentingan
pendidikan serta pengayaan rohani bagi masyarakat secara universal.
Masalah dan tantangan dalam literasi
sastra daerah, khususnya Bugis adalah peroblema yang tak pernah bisa selesai.
Apa yang dilakukan oleh Yayasan Sulapa EppaE melalui pentas dan dialog seni
budaya ini sangat koherensif dengan program Pemerintah sesuai amanah UU No.5 Th
2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Semoga kegiatan apresiasi seni berbasis
budaya Bugis ini dapat berlanjut dan menjadi ikonisitas bagi hadirnya
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai bentuk tanggung jawab
moral-institusional membangun bangsa yang berperadaban luhur.
Penghargaan Bagi Tokoh Seni
Yayasan Sulapa EppaE tidak hanya
menggerakkan keterlibatan seniman untuk menggali kearifan budaya leluhur Bugis.
Akan tetapi lebih dari itu, Yayasan ini pun menjejaki referensial pemikir dan
pelaku seni budaya yang selama ini telah berkiprah tanpa pamrih di dunia seni
tradisional.
Lima tokoh seni Sulawesi Selatan malam itu
memperoleh penghargaan sesuai bidang keahliannya, yaitu Andi Abubakar Hamid (Koreografer),
Cucut Abdi Basit (Penata musik), Bahar Merdu (Seni teater), Dr. Karim
(Penyutradaraan), dan Mahrus Andis (Kritikus sastra).
Penghargaan diserahkan oleh Dr. Ajiep
Padindang, didampingi Jamal Andi dan Dr. Nurlina Syahrir.
Pertunjukan Opera Bugis yang Menarik
Di awal acara, Teater SMA Negeri 1
Makassar tampil dengan pesona yang memukau penonton. Peleburan berbagai ornamen
kebudayaan ke dalam teknik teatrikal yang digarap secara apik berhasil
membangun imajinasi penonton.
Perjuangan sukma Sawerigading mengolah
laku cintanya kepada gadis kerajaan langit, Tenriabeng, yang ternyata adalah
saudara kembarnya sendiri, terlukis di atas kanvas teatrikal yang apik dan kaya
dimensi perenungan masa silam.
Abdi Basit, selaku sutradara, menawarkan
sebuah filosofi dari Sureq Galigo tentang makna sebuah sumpah atas nama cinta
sejati yang tergadai oleh kepahitan
takdir. Sawerigading kecewa berat ketika ia tahu bahwa tabu mengawini
saudara kandung sendiri.
Meskipun harus melanggar sumpah untuk
kembali ke Tanah Luwuq sebelum menemukan cintanya, akhirnya Sawerigading
berdamai dengan tuntutan hatinya. Ia dinikahkan dengan We Cudai, seorang gadis
cantik yang wajahnya mirip dengan Tenriabeng.
Daya pesona teater ini terletak dalam
simpul-simpul pesan “to riolo” (leluhur) yang dikemas melalui simbol-simbol
kultural dan dilantunkan lewat dialog, monolog, serta senandung syair kepedihan
cinta yang terkoyak.
Materi pemain cukup terkesan bagus dalam
kekompakan akting, komposi panggung terjaga dan permainan lighting serta
kepaduan irama musik bekerja harmonis. Hadirin mengakhiri tontonannya dengan
gemuruh tepuk tangan.
Malamnya acara pertunjukan kesenian
diawali dengan penampilan tarian berjudul “Pasompe” dari Sanggar Batara Maru'
Kabupaten Maros. Dilanjutkan dengan pertunjukan opera Bugis dari tiga
kabupaten, masing-masing Sekolah Bugis La Mellong dari Kabupaten Bone, dipimpin
Darmawati SPd, dengan judul: “Kajao Laliddong Sang Cendekiawan Bugis.”
Kemudian Sekolah Bugis La Tiringeng To
Taba dari Kabupaten Wajo, dipimpin Andi Tenri Bali Baso SS MHum, tampil dengan
judul opera: “Kajao Palla Mappalla-palla”, serta Sekolah Bugis La Temmamala
dari Kabupaten Soppeng yang dipimpin Dr Karim MHum, menampilkan opera berjudul:
“Ketika To Manurung Jatuh Cinta.”
Yang paling berkesan dari teater ini
karena di akhir pertunjukannya berhasil membangun sukma kebugisan dengan lagu “Beppa-beppa”
sambil membagikan kue tradisional kepada penonton.
Selain banyak penonton, kegiatan apresiasi
seni budaya Bugis ini turut dihadiri beberapa seniman kreatif, pemikir dan
pengamat seni, antara lain: Yudhistira Sukatanya, Dr. Nurlina Syahrir, Ishakim
Arts, Ahmadi Haruna, Dewi Ritayana, Prof. Sukardi Weda, Rusdin Tompo, Andi
Ruhban, dan beberapa seniman yang tidak tampak di mata saya malam itu.
Satu hal yang menjadi kesan khusus di hati
saya, bahwa kegiatan tersebut menjadi ajang pertemuan para seniman, baik fisik
maupun rohani. Paling tidak, acara seni-budaya yang dikemas oleh Yayasan Sulapa
EppaE ini menjadi ajang “siduppa rapang” (mempertemukan gagasan), khususnya
para seniman Bugis asal berbagai daerah, untuk lebih mengakrabi nilai-nilai
kearifan lokal sebagai warisan budaya dari para leluhur. Semoga.
Makassar, 07 Juli 2025
