-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 05 Juli 2025
Bertengkar di
Fesbuk, Berpelukan di Lubuk
Oleh: Mahrus Andis
(Penyair, Kritikus Sastra)
Berhari-hari tidak jumpa di meja solusi
(baca: warkop), kami merasakan sunyi yang paling hening. Biasanya kami
berkumpul di kedai konro, di warung padang atau di meja rawon untuk mengisi “kekosongan
perut.”
Namun terakhir ini, sebulan lebih kami
kehilangan waktu untuk “bertengkar” di medsos dan saling meledek kelalaian
kreativitas bersastra. Kepergian Ram Prapanca ke Tanah Suci membuat kerontang
diskusi kami di grup WA. Terasa benar kalau tanpa “bertengkar” dalam sehari,
dunia imaji kami menjadi ranggas.
Kemarin
(Jumat, 04 Juli 2025, red), kami berkumpul kembali dalam suasana gembira. Teman
kami, Haji Ram Prapanca mengundang kami bertemu di sebuah kafe, ngopi sekalian
shalat Jumat bersama. Maka kami pun tidak membuang-buang waktu menyambut undangan
itu.
Oleh-oleh dari Tanah Haram, akhirnya,
menjadi halal kami terima. Luar biasa Sang Sutradara dan Pak Dosen ini kepada
kami semua. Di sela-sela ibadah, Ram tidak luput mengingat cenderamata buat
kami.
Satu hari penuh kami habiskan waktu
bercengkerama, tertawa dan sesekali “memancing” emosi teman untuk marah. Sejak warkop,
hingga selesai makan siang dan “ngegreen tea” di Camp Dewan Kesenian Sulsel,
kami tak jeda bercanda.
Kadang-kadang kami mengupas soal politik,
ijazah, pemakzulan hingga ekstremitas beragama. Bahkan sesekali merambah ke
eksotisme daya tarik gadis-gadis Turkey di mata cerpenis Andi Wanua Tangke.
Dan ketika sampai ke pembicaraan itu, maka
gimik Ustadz Amir Jaya, dan ekspresi Aji Anwar Nasyaruddin menjadi objek
observasi kami. Kedua sastrawan ini selalu sensitif mendengarkan cerita
perempuan cantik yang berkerudung.
Yang tidak kalah serunya jika Syahril
Daeng Nassa mulai berkisah tentang capeknya mengurus Dana Bantuan Sastrawan.
Banyak sekali yang harus dilakukan, termasuk mengisi format untuk data-data kegiatan.
Jika mendengar cerita rumitnya “memburu”
dana bantuan kesenian seperti itu, saya dan Ishakim hanya mampu tertunduk,
berpura-pura tidak tertarik, padahal sesungguhnya otak kami berputar,
menggeledah sistem manajemen yang diatur oleh Pemberi Bantuan.
Paling Ishakim hanya bergumam: “memang
seperti itu aturannya”, dan saya pun menimpali: “mengapa harus dibuat rumit!”
Ya, begitulah warna pertemuan kami. Banyak
cerita, canda, serta permainan emosi. Tampak benar sesuatu yang dikotomis. Bertengkar
di fesbuk, tapi di lubuk jiwa selalu saling merindu.
Terima kasih Haji Ram Prapanca atas
oleh-oleh dan traktirannya. Dan juga ucapan sama kepada Adinda Djamal April
Kalam, Sekretaris Dewan Kesenian Sulsel, atas penyambutannya di camp seniman
kemarin. Sehat semua dan sukses selalu dalam karya kreatif di dunia imaji.***
Makassar, 05 Juli 2025