Bertengkar di Fesbuk, Berpelukan di Lubuk

Enam penyair dan seniman foto bersama di Dewan Kesenian Makassar (DKM), Jumat, 04 Juli 2025, dari kiri ke kanan, Andi Wanua Tangke, Mahrus Andis, Anwar Nasyaruddin, Muhammad Amir Jaya, Ram Prapanca, dan Ishakim. (Foto: Djamal April Kalam)

 

-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 05 Juli 2025

 

Bertengkar di Fesbuk, Berpelukan di Lubuk

 

Oleh: Mahrus Andis

(Penyair, Kritikus Sastra)

 

Berhari-hari tidak jumpa di meja solusi (baca: warkop), kami merasakan sunyi yang paling hening. Biasanya kami berkumpul di kedai konro, di warung padang atau di meja rawon untuk mengisi “kekosongan perut.”

Namun terakhir ini, sebulan lebih kami kehilangan waktu untuk “bertengkar” di medsos dan saling meledek kelalaian kreativitas bersastra. Kepergian Ram Prapanca ke Tanah Suci membuat kerontang diskusi kami di grup WA. Terasa benar kalau tanpa “bertengkar” dalam sehari, dunia imaji kami menjadi ranggas.

Kemarin (Jumat, 04 Juli 2025, red), kami berkumpul kembali dalam suasana gembira. Teman kami, Haji Ram Prapanca mengundang kami bertemu di sebuah kafe, ngopi sekalian shalat Jumat bersama. Maka kami pun tidak membuang-buang waktu menyambut undangan itu.

Oleh-oleh dari Tanah Haram, akhirnya, menjadi halal kami terima. Luar biasa Sang Sutradara dan Pak Dosen ini kepada kami semua. Di sela-sela ibadah, Ram tidak luput mengingat cenderamata buat kami.

Satu hari penuh kami habiskan waktu bercengkerama, tertawa dan sesekali “memancing” emosi teman untuk marah. Sejak warkop, hingga selesai makan siang dan “ngegreen tea” di Camp Dewan Kesenian Sulsel, kami tak jeda bercanda.

Kadang-kadang kami mengupas soal politik, ijazah, pemakzulan hingga ekstremitas beragama. Bahkan sesekali merambah ke eksotisme daya tarik gadis-gadis Turkey di mata cerpenis Andi Wanua Tangke.

Dan ketika sampai ke pembicaraan itu, maka gimik Ustadz Amir Jaya, dan ekspresi Aji Anwar Nasyaruddin menjadi objek observasi kami. Kedua sastrawan ini selalu sensitif mendengarkan cerita perempuan cantik yang berkerudung.

Yang tidak kalah serunya jika Syahril Daeng Nassa mulai berkisah tentang capeknya mengurus Dana Bantuan Sastrawan. Banyak sekali yang harus dilakukan, termasuk mengisi  format untuk data-data kegiatan.

Jika mendengar cerita rumitnya “memburu” dana bantuan kesenian seperti itu, saya dan Ishakim hanya mampu tertunduk, berpura-pura tidak tertarik, padahal sesungguhnya otak kami berputar, menggeledah sistem manajemen yang diatur oleh Pemberi Bantuan.

Paling Ishakim hanya bergumam: “memang seperti itu aturannya”, dan saya pun menimpali: “mengapa harus dibuat rumit!”

Ya, begitulah warna pertemuan kami. Banyak cerita, canda, serta permainan emosi. Tampak benar sesuatu yang dikotomis. Bertengkar di fesbuk, tapi di lubuk jiwa selalu saling merindu.

Terima kasih Haji Ram Prapanca atas oleh-oleh dan traktirannya. Dan juga ucapan sama kepada Adinda Djamal April Kalam, Sekretaris Dewan Kesenian Sulsel, atas penyambutannya di camp seniman kemarin. Sehat semua dan sukses selalu dalam karya kreatif di dunia imaji.***

 

Makassar, 05 Juli 2025

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama