-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 28 Juli 2025
Penyair: “Miskin”,
tapi Bahagia
Oleh: Andi Wanua Tangke
Sastrawan AA Navis pernah mengatakan:
penyair (baca: sastrawan) namanya besar, terkenal, tapi hidupnya miskin. Dua
atau tiga bulan lalu: harian Kompas (di halaman depan) mengupas besar-besaran
tentang hidup yang memprihatinkan ini. Jejak kehidupan memprihatinkan itu
Kompas memberitakannya selama tiga hari berturut-turut.
Pilihan pemberitaan Kompas itu, sejumlah
penyair, sastrawan, seniman, budayawan: mempertanyakannya. “Untuk apa Kompas
menulis hal itu. Bukankah jejak kehidupan memprihatinkan itu, memang sejak dulu
terjadi. Dan semua orang sudah paham. Apa nilai beritanya?”
Begitulah respon mereka. Namun di balik
itu, ada juga yang menyambutnya secara positif. “Bagus juga Kompas mengangkat
sebagai berita penting di halaman depan, bahkan sebagai berita utama. Siapa
tahu dengan berita itu, pemerintah, dalam hal ini Menteri Kebudayaan Fadli Zon
merasa tergugah: mencarikan solusi agar kehidupan bagi seniman dan sastrawan
menjadi layak.
Soal kehidupan memprihatinkan ini, saya
pernah menanyakan kepada penyair Abdul
Hadi WM. “Itu benar, tapi bukan hanya di negeri ini. Di luar negeri juga banyak
hidupnya seperti itu,” kata Abdul Hadi WM.
*
Hidup seniman boleh memprihatinkan seperti
yang diungkap Kompas, namun hari ini, Senin - 28 Juli 2025, DKSS (Dewan
Kesenian Sulawesi Selatan) tampil membahagiakan para penyair di Sulawesi
Selatan.
Bertempat di Saopanrita UNM Parangtambung,
DKSS menggelar empat acara kebahagiaan bagi para penyair: Pertama, diskusi dan
bedah buku “Sayap-Sayap Indonesia”. Buku antologi puisi bersama ini menampilkan
karya puluhan penyair. Ada tiga pembicara: Mahrus Andis, Aslan Abidin, Rusdin
Tompo.
Kedua, Deklarasi Hari Puisi Sulawesi
Selatan. Ketiga, launching buku antologi puisi “Sayap-Sayap Indonesia”.
Deklarasi ini disampaikan langsung oleh Ketua DKSS, Dr. Arifin Manggau SPd MPd.
Keempat, pembacaan dan musikalisasi puisi oleh para penyair dan komunitas
sastra.
Ram Prapanca, sosok penyair dan sutradara,
tampil sebagai penggerak kebangkitan dunia kepenyairan di daerah ini melalui
lembaga DKSS. “Ya, kita harus hidupkan DKSS. Mari kita bersatu berbahagia
sebagai seniman, penyair, budayawan,” katanya kepada saya lewat telepon, tiga
hari sebelum launching “Sayap-Sayap Indonesia.”
Tampaknya Ram Prapanca ingin mengulang
kesuksesan acara Musik dan Puisi “Kopi Haji” yang juga digelar DKSS di
Saopanrita, Sabtu malam, 12 Juli 2025.
Mengapa harus Kopi Haji? Ini berkaitan
dangan: Prof Karta Jayadi, pembina DKSS dan Rektor UNM, baru saja kembali dari
tanah suci menunaikan ibadah haji. Sekalian memperingati hari ulang tahun Prof
Karta Jayadi yang sudah memasuki usia 60 tahun.
Malam itu: puluhan seniman hadir, selain
menikmati minuman sarabba, mereka juga tampil membacakan puisinya di panggung.
Saya merasakan malam hingga larut itu: benar-benar mendengungkan suasana yang
sungguh asyik. Para penyair, dengan gaya khasnya, tampil penuh penghayatan
membacakan lirik-lirik puisinya. Penuh kebahagiaan.
Ketika Karta Jayadi tampil, kali ini tidak
membaca puisi, seniman bergelar profesor ini, memilih menyanyikan dua lagu
karya Ebiet G Ade. Saya terharu mendengarnya. Penghayatan Karta Jayadi sungguh
dalam menghayati lirik-lirik Ebiet G Ade.
Saya juga larut. Mungkin karena kebetulan skripsi sarjana saya di Fakultas Sastra Unhas meneliti karya lirik-lirik Ebiet G Ade. Dalam skripsi itu saya membuktikan: Ebiet G Ade bukan sekadar penyanyi, tapi seorang penyair. Telah dibukukan dengan judul: Ebiet G Ade Mencoba Melupakan Tuhan. Skripsi itu juga telah masuk dalam dokumentasi di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. ***

