Putusan MK Soal Pemilu Dorong Partisipasi Publik Lebih Luas

PEMILU LOKAL DAN PEMILU NASIONAL. MK memutuskan bahwa Pemilu Indonesia mulai tahun 2029 akan dipisah antara Pemilu nasional dan Pemilu lokal. 


------

PEDOMAN KARYA

Selasa, 15 Juli 2025

 

Putusan MK No. 135 Tahun 2024 tentang Pemilu Nasional dan Lokal (Bagian 1):

 

Putusan MK Soal Pemilu Dorong Partisipasi Publik Lebih Luas

 

Oleh: Syarifuddin Jurdi

(Dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar)

 

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XXII/2024 yang memutuskan Judicial Review yang dimohonkan oleh Perludem terkait keserentakkan Pemilu, MK memutuskan bahwa Pemilu Indonesia mulai tahun 2029 akan dipisah antara Pemilu nasional dan Pemilu lokal.

Pemilu nasional akan memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, dan memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2029.

Setelah itu dilakukan Pemilu lokal yang jeda waktunya antara dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan untuk memilih Anggota DPRD provinsi, Anggota DPRD kabupaten/kota, pasangan calon gubernur-wakil gubernur, pasangan calon bupati-wakil bupati dan pasangan calon walikota-wakil walikota.

Putusan MK ini cukup menarik dan penting untuk menata Pemilu Indonesia yang lebih baik, lebih substansial, dan lebih partisipatif.

Dua kali Pemilu serentak (Pemilu 2019 dan 2024) dengan menggunakan UU No. 7 Tahun 2017, memiliki problem yang tidak sederhana, baik bagi penyelenggara, pemilih maupun peserta Pemilu.

Pada Pemilu 2019 dan 2024, penyelenggara Pemilu memiliki beban kerja yang cukup berat, pemilih juga ketika menggunakan hak pilihnya mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan, hal yang sama juga dihadapi peserta Pemilu.

Atas dasar pertimbangan tersebut, MK memutuskan Pemilu dilakukan secara terpisah antara Pemilu DPR, DPD dan presiden-wakil presiden dengan Pemilu DPRD, gubernur, bupati, walikota dan wakilnya. selain meringankan beban penyelenggara, juga memastikan bahwa pemilih memahami visi-misi dan program kandidat secara lebih kritis sebelum menentukan pilihannya.

Putusan MK mendasarkan argumentasinya pada pertimbangan bahwa Pemilu serentak lima kota (Pemilu DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden) dalam satu hari pemungutan suara telah menciptakan kelelahan sistemik. Putusan ini didasarkan pada konstitusi yakni UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 22 E serta Pasal 28D ayat (1).

Pertimbangan MK pada beberapa hal bersifat teknis mengenai penyelenggaraan Pemilu, misalnya pertimbangan teknis pemungutan suara yang melelahkan, baik penyelenggara maupun pemilih. Ini merupakan putusan yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai putusan yang tidak konsisten.

Kalau mencermati kembali putusan MK mengenai keserentakan Pemilu itu pernah ada melalui Putusan No. 55 Tahun 2019 yakni keserentakan Pemilu, MK menyebut bahwa keserentakan itu dapat memilih salah satu opsi dari sejumlah opsi yang tersedia, termasuk opsi menyatukan pemilihan umum nasional dan pemilihan umum lokal.

Pembacaan sederhana pada kasus pengujian mengenai keserentakan Pemilu yang diputuskan melalui Putusan MK No 55 Tahun 2019 tersebut, MK memutuskan bahwa pemaknaan Pemilu serentak dapat dilakukan dalam enam opsi.

Hakim Konstitusi dengan menggunakan penafsiran yang lebih luas menyebut bahwa Pemilu serentak dapat didesain dalam enam opsi yakni Pemilu serentak lima kotak (itu yang diselenggarakan pada Pemilu 2019 dan 2024); Pemilu serentak tujuh kotak (ini plus dari lima kotak dengan memasukkan pemilihan gubernur, bupati, walikota).

Pemilu serentak dengan pembagiaan Pemilu serentak nasional dan lokal (ini sama dengan putusan 135 Tahun 2024); Pemilu serentak dengan pembagian Pemilu serentak nasional, provinsi, dan kabupaten/kota (membagi Pemilu berdasarkan level pemerintahan); dan model Pemilu serentak lainya.

Dari keenam pilihan tersebut, MK kemudian mengembalikan kepada pembentuk undang-undang terkait keputusan mengenai desain Pemilu serentak mana yang hendak diterapkan dalam perumusan norma Pemilu kedepannya sebagai sebuah kebijakan hukum terbuka.

Berdasarkan opsi-opsi keserentakan Pemilu dalam putusan MK No. 55 Tahun 2019, sebagian penggiat demokrasi pada dasarnya mengharapkan MK menentukan satu jenis keserentakan yang dapat digunakan pada Pemilu 2024.

Meskipun demikian, harapan dan optimisme masyarakat sipil tetap tinggi, mengingat putusan MK tersebut terbuka ruang bagi pembuat UU untuk menentukan pilihan terbaik untuk memperkuat konsolidasi demokrasi Indonesia.

Kewenangan untuk menentukan jenis keserentakan yang mana menjadi domain pembuat UU, DPR dan pemerintah yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Mereka dapat mempertimbangkan aspirasi publik dan juga merasakan bagaimana kenyataan Pemilu serentak 2019, tidak kurang dari 800 orang penyelenggara adhoc (khususnya KPPS) sebagai ujung tombak penyelenggara Pemilu di lapangan gugur akibat kelelahan.

Fakta bahwa keserentakan Pemilu menjadi perhatian pembuat UU itu suatu keniscayaan, lahirnya UU No. 7 Tahun 2017 sebagai bentuk real pembuat UU memperhatikan mengenai keserentakan, dua kali Pemilu terakhir diselenggarakan dengan mengacu pada konsep keserentakan dalam UU No. 7 Tahun 2017.

Semua pihak dan lembaga negara memiliki cita-cita dan kepentingan mewujudkan sistem politik ideal untuk menghasilkan kepemimpinan yang memperoleh legitimasi rakyat.

Keluhan penyelenggara adhoc terhadap beban tugasnya menjadi salah satu perhatian dan pertimbangan MK dalam putusan terbarunya, DPR yang menjadi wakil rakyat didorong untuk mencari jalan tengah agar putusan MK tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan.

Penataan sistem Pemilu menjadi penting dilakukan untuk memperkuat sistem pemerintahan dan fungsi checks and balances antara eksekutif daan legislatif daerah.

Desakan agar pembuat UU dapat membahas dan merumuskan suatu UU Pemilu yang dapat digunakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden-wakil presiden, termasuk memilih kepala daerah, pembuat UU dapat mendesain model UU yang akan mengatur Pemilu mendatang, termasuk kemungkinan untuk menyatukan seluruh UU yang berhubungan dengan Pemilu, penyelenggara Pemilu, pemilihan dan partai politik. Kumpulan UU tersebut dapat dikategorikan sebagai omnibus law Pemilu.

Meskipun kuat dukungan publik agar DPR dan pemerintah membahas perubahan UU Pemilu, tidak serta merta elite politik di parlemen memiliki pandangan dan sikap yang sama dalam menyikapi putusan MK, termasuk pilihan model keserentakan yang akan digunakan.

Bagi pembuat UU, MK tidak menentukan suatu model tertentu mengenai keserentakan Pemilu, tapi memilih banyak opsi. Ruang inilah yang digunakan pembuat UU untuk memaknai bahwa model keserentakan yang tertuang dalam UU Pemilu dan UU Pilkada masuk dalam pilihan opsi putusan MK No. 55 Tahun 2019.

Dalam perkembangannya, pada tahun 2021 muncul semacam naskah akademik dan draft perubahan UU Pemilu untuk menyempurnakan UU No. 7 Tahun 2017. Draft itu tersebar begitu cepat melalui media sosial dan menjadi bahan pembicaraan di kalangan penyelenggara Pemilu, penggiat demokrasi, masyarakat sipil dan politisi sendiri.

Setelah menjadi bahan diskusi yang cukup panjang, situasi sosial masyarakat dalam suasana Covid’19 menjadi salah satu alasan mengapa draft itu tidak dilanjutkan pembahasannya.

Selain itu, muncul juga wacana mengenai perpanjangan masa jabatan atau tiga periode jabatan presiden yang menimbulkan respons publik yang beragam. Pendukung demokrasi dan kekuatan oposisi serta akademisi menentang ide tiga periode jabatan presiden maupun perpanjangan masa jabatan. Konsekuensinya pembahasan UU Pemilu tidak dilanjutkan dan elite berkuasa sepakat tidak mengubah UU Pemilu sampai Pemilu 2024 diselenggarakan.

Konteks yang mendorong MK mengeluarkan putusan Nomor 135 Tahun 2024 sebagai respons atas situasi politik Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir, yakni Pemilu 2019 dan Pemilu 2024, yang melahirkan polarisasi dan fragmentasi yang luas, politik uang yang masif, penyalahgunaan kekuasaan dan penggunaan bantuan sosial untuk tujuan-tujuan elektoral yang sangat merusak demokrasi.

Catatan kritis lain adalah kelelahan penyelenggara yang sangat direpotkan dengan penyelenggaraan Pemilu yang bertumpu pada tahun yang sama, baik Pemilu maupun pemilihan kepala daerah sehingga penyelenggara mengalami kelelahan, sekaligus mereka yang memperoleh tugas lima tahun hanya efektif mereka jalankan sekitar dua tahun. Selebihnya mereka tidak memiliki aktivitas dan kegiatan, karena Pemilu baru diselenggarakan lima tahun lagi.

Pada perselisihan hasil Pemilu 2024 yang disidangkan MK, banyak catatan yang dikeluarkan MK untuk memperbaiki atau merevisi UU Pemilu. Oleh sebab itu, putusan MK No. 135 dapat dimaknai dalam konteks mendorong demokrasi yang lebih berkualitas dan partisipasi publik yang lebih luas sehingga terpilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden-wakil presiden, gubernur, bupati, walikota dan wakilnya.

Apakah MK melanggar konstitusi dengan membuat putusan yang tidak “senafas” dengan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Pemilu diselenggarakan dalam lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden-wakil presiden dan DPRD, sementara putusan MK memundurkan Pemilu anggota DPRD dalam kurung dua tahun atau dua tahun enam bulan, karena akan diserentakkan dengan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota dan wakilnya)?

Tentu ini menjadi catatan tersendiri yang memerlukan diskusi yang menyita perhatian banyak kalangan, khususnya DPR yang akan membahas revisi UU Pemilu. Dalam beberapa waktu pasca-putusan MK No. 135, DPR melakukan koordinasi dan mendengarkan masukan dari berbagai ahli yang memahami perubahan konstitusi, atau mereka yang terlibat dalam perubahan UUD 1945.

Wallahu a’lam bi shawab


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama