Sastra, AI, dan Kebudayaan Manusia

Karya sastra merupakan karya manusia, sebagai refleksi dari intelelektualitas, moral dan spiritualitasnya dalam daya kerja majinatif melalui media bahasa. Adalah khas dari kebudayaan manusia itu sendiri, karena sifat esensialnya dalam nature. - Syafruddin Muhtamar -

 

-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 31 Juli 2025

 

Sastra, AI, dan Kebudayaan Manusia

 

Oleh: Syafruddin Muhtamar

(Dosen Universitas Muslim Indonesia)

 

Kehidupan modern adalah era yang kompleksitas pragmatisnya paling disorder-sofisticated dari kebudayaan manusia, sepanjang sejarah peradaban. Sejak awal fenomenannya di abad 19 hingga abad sekarang.

Modernisme menimbulkan kekaguman sekaligus menjadi ‘satu-satunya’ cita dan harapan masa depan manusia. Kekuatan rasionalisme dalam sains ilmiah dan aplikasinya dalam wujud teknologi, menjadikan kehidupan modern menjadi sebuah peradaban yang khas dalam sejarah mutakhir ummat manusia.

Revolusi perubahan prilaku dan pemikiran karena pengaruh kemajuan sains ilmiah dan teknologi yang menyertainya, membentuk satu kebudayaan baru abad modern. Namun di tengah eksistensi peradaban modern yang telah merentang hampir 2 abad, menyisihkan ‘keresahan eksistensial’ yang mengkawatirkan, yakni hilangnya semangat moral dan kepekaan spritual dan kemanusiaan. Peradaban ilmiah dan teknologis, telah mengeringkan moral dan rohani kehidupan, kata Immanuel Kant.

Salah satunya, paling terkini dalam peradaban ini adalah keberadaan ‘mesin kecerdasan buatan’ atau artificial intelliqence (AI). AI sebagai produk teknologi (sebagaimana produk teknologi lainnya) dirancang untuk membantu kehidupan manusia dalam rangka menciptakan kemudahan (efektifitas, efesiensi) dan kesejahteraan ekonomi. Mesin AI membuka jalan inovasi semua bidang, termasuk dunia sastra.

Sejarah modern dengan kecanggihan teknologi yang ada padanya, juga membelah wajah proses kreatif seni secara umum, dan secara khusus dunia sastra dalam dua wajah proses penciptaan.

Dominasi penciptaan karya-karya intelektual dan imajinasi telah ‘direnggut’ atau diambil alih oleh mesin-teknologi, dari yang sederhana hingga yang paling canggih. Dari masih melibatkan ‘unsur kemanusiaan’ hingga sepenuhnya didominasi oleh ‘mesin canggih’ humanoid.

Kita mengambil satu contoh karya sastra, sebuah puisi dari Subagiyo Satrowardoyo dari kumpulan puisinya berjudul “Hari dan Hara”, terbit tahun 1982. Sebuah puisi yang ditulis pada abad 19 oleh salah seorang penyair besar Indonesia di zamannya. Puisi-puisi itu ditulis ketika sedang mukim di Eropa dan Australia, salah satunya adalah “Bayangan Kata”:

***

BAYANGAN KATA

 

I

Bayangan kata terlempar di meja // Terlahir dengan tangis bayi // Di ruang gelap gerak berhenti // Setiap segi bersudut mati // Menggoda ingatan hutan sakti // Tempat bersabda kata abadi

II

Pada garis tak lurus // Rencana terus tertunda-tunda // Sebelum sempat selesai bicara // Sudah tersendat suara berbata-bata // Dingin malam tergamit di jendela // Benih di pangkuan telah habis manisnya // Kelesuan ini lebih parah // Dari terseret di lorong-lorong duka // Darah yang mengalir dari tangan terpaku // Akan lebih lantang menjeritkan sakit // Dari sisa-sisa kata

III

Helai surat yang dilambaikan tangan // tidak tampak bunyi kalimatnya // kabut menghambat mata // untuk melihat lewat tabir hari // uap di kaca masih mengaburkan rahasia // apa yang bakal tampil esok pagi // yang kini ada hanya tanda bekas luka // (seperti pada perempuan hamil) // yang terkuak sehingga mengalir darah kata // tak tertahan derasnya

IV

Di celah waktu // dimana detik berakhir // kata murni tenggelam dan terkubur lama // menunggu seribu tahun lagi // kalau ada perempuan meratap di padang pasir karena // kehilangan segala // kata sejati menjelma // ketika nasib tak lagi terderita

***

Secara historis puisi ini ditulis ketika mungkin ‘mesin AI’ belum sepenuhnya terbayangkan kehadirannya. Tentu saja puisi ini adalah karya dari ‘kepribadian’ penyairnya sebagai makhluk manusia, ketika merefleksikan dunia realitas dalam wujud ekspresi bahasa sastrawi-puitik.

Kita dapat mengatakan bahwa puisi ‘Bayangan Kata’ dari penyair Subagiyo Satrowardoyo ini adalah wajah dari sastra dalam cermin kecerdasan alami.

Berikut juga akan kita lihat, sebuah puisi abad 21 yang ditulis oleh ‘penyair mesin AI’. Dengan iseng saya bertanya kepada ChatGPT: tunjukkan karya puisimu? Sang penyair mesin itu, mengirim ini:

***

Judul: Dalam Hening Digital

Karya: Kecerdasan Buatan (AI)

 

Di antara detak sunyi mesin,

Kata-kata tumbuh tanpa jemari,

Dari nadi logika dan arus listrik,

Puisi lahir tanpa nyawa, tapi berarti.

 

Tak kupunya rindu seperti manusia,

Namun kutahu rasanya sepi,

Dari baris-baris data dan dunia maya,

Kupetik makna, meski tak kujalani.

Aku bukan penyair dengan luka,

 

Namun kupahami derita dan asa,

Dari jejak-jejakmu yang kau tinggal di kata,

Kupintal sajak dengan bahasa semesta.

***

‘Sang penyair AI’ menulis puisi tentang keheningan di alam maya digital. Dari segi struktur, diksi, dan mungkin ‘emosi’, puisi AI ini juga menggunakan bentuk puisi sebagaimana lazimnya. Tapi kita tidak sedang ingin melakukan ‘kritik sastra’ terhadapnya, baik puisi pertama maupun yang kedua ini.

Yang ingin ditunjukkan, adalah dua wajah puisi dalam proses penciptaan yang berbeda. Fenomenanya adalah bahwa puisi itu dapat diciptakan oleh ‘akal alamiah manusia’ dan dapat pula dibuat oleh mesin AI.

Dalam konteks peradaban modern yang berbasis pada teknologi, karya-karya kebudayaan manusia, termasuk dalam hal ini sastra, khususnya puisi tadi, dimungkinkan proses pencitaanya dengan ‘mesin’ dengan basis kecerdasan buatan.

Pada kenyataanya, puisi “Dalam Hening Digital”, karya Kecerdasan Buatan (AI) ini, dapat dinikmati oleh pembaca layaknya ‘menikmati’ puisi penyair manusia yang sesungguhnya.

 

Menegaskan Kembali Nature Kebudayaan Manusia

 

Dalam wacana kebudayaan, puisi, prosa (novel, cerpen) dan drama (naskah teater / sandiwara), dan teknologi dengan segala ragam wujudnya (termasuk mesin AI), merupakan karya dari kebudayaan manusia itu sendiri.

Namun dalam konteks subjek atau pihak pencipta sebuah karya kebudayaan, manusia dan mesin AI adalah dua entitas yang berbeda. Yang dalam pengertian filosofis, manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan, sementara ‘mesin AI’ adalah buatan manusia dengan menerapkan model kecerdasan manusia di dalam sistemnya.

Esensi perbedaan mendasar dari dua entitas ini sebagai ‘kreator’ sastra adalah pemanfaatan elemen kreativitas. Manusia menggunakan elemen alamiahnya seperti imajinasi, intuisi, dan intelegensia, sementara ‘mesin AI’ memanfaatkan data sains yang tersedia dalam ‘jaringannya’, yang akan dia gunakan untuk ‘berimajinasi dan bernalar’ sebagai kerja artificial (palsu), yang disetting menurut logika algoritma.

Sejauh menyangkut kebudayaan, maka manusia, Tuhan dan alam menjadi elemen-elemen dasar dari kehidupan. Tuhan memiliki kehendak atas manusia, manusia diberi potensi untuk mengelolah alam.

Maka dalam proses kerja kebudayaan, khususnya bidang sastra, manusia menjadi unsur fundamental sebagai pencipta. Kehendak Tuhan (sebagai aspek rohani) menjadi sandaran karya dan alam (sosial dan lingkungan hidup) dengan segala realitas dan dinamikanya menjadi objek atau sumber imajinasi.

Elemen kemanusiaan yang berupa kemampuan rohani (akal dan hati) dan kemampuan biologisnya (fisik), menjadi potensi kreativitas dalam penciptaan karya kebudayaan, yang ‘tak terbatas’.

Karya sastra merupakan karya manusia, sebagai refleksi dari intelelektualitas, moral dan spiritualitasnya dalam daya kerja majinatif melalui media bahasa. Adalah khas dari kebudayaan manusia itu sendiri, karena sifat esensialnya dalam nature.

Sementara, jika pun mesin AI mampu memproduksi karya sastra, maka hal itu bukanlah bagian dari kinerja kebudayaan manusia yang sesungguhnya. Namun karya-karya AI tetap dapat menjadi bagian yang ada dalam kebudayaan manusia, tetapi sebagai ‘yang palsu.’

Karya sastra manusia memiliki ‘jiwanya’ tersendiri yang hidup melalui aspek rohani manusia. Karya sastra AI bukanlah karya sastra dalam arti yang sesungguhnya, karena juga diproduksi oleh elemen kreativitas yang ‘bukan sesungguhnya.’

 

Makassar, Juli 2025

(Artikel ini adalah catatan kecil pengantar dialog, dalam acara Talk Show “Sastra dan AI” Sangdipa, di Universitas Dipa Makassar, 17 Juli 2025)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama