-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 15 Agustus 2025
Refleksi HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-80:
Kemiskinan,
Ketidakadilan, dan Kemerdekaan
Oleh: Usman Lonta
Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa
Indonesia merayakan hari kemerdekaan dengan gegap gempita. Bendera merah putih
dikibarkan, upacara dilaksanakan dengan penih khikmat, pesta rakyat bertebaran
di mana-mana.
Namun, di balik perayaan tersebut,
pertanyaan mendasar yang selalu muncul adalah apa makna kemerdekaan bagi orang
miskin? Apakah kemerdekaan hanya menjadi milik mereka yang mampu
mengeksploitasi sumber daya alam secara serampangan?
Ataukah para pejabat yang berwenang untuk
mengakumulasi kekayaan negara tanpa distribusi secara adi? Ataukah juga
dirasakan oleh rakyat kecil yang setiap hari bekerja serabutan, berjibaku
menutupi kebutuhan sehari-hari?
Bagi rakyat kecil, kemerdekaan bukan hanya
soal terbebas dari penjajahan asing, tapi juga bebas dari cengkeraman
kemiskinan. Kemerdekaan itu sederhana: bisa makan layak, bisa menyekolahkan
anak, bisa berobat tanpa takut biaya, dan bisa bekerja tanpa dieksploitasi.
Sayangnya, meski Indonesia sudah 80 tahun
merdeka, jutaan warga masih hidup di bawah garis kemiskinan. Masih ada keluarga
yang tinggal di rumah reyot, masih ada anak yang putus sekolah, dan masih
banyak buruh yang bekerja keras dengan upah tak sebanding.
Kemerdekaan sejati tidak cukup diukur dari
pembangunan infrastruktur atau pertumbuhan ekonomi. Kemerdekaan sejatinya dirasakan sampai ke akar rumput.
Bagi petani miskin, kemerdekaan berarti
bisa menggarap tanah sendiri. Bagi nelayan, kemerdekaan berarti bisa melaut
dengan aman dan mendapat harga ikan yang adil. Bagi pedagang kecil, kemerdekaan
berarti ada ruang usaha tanpa digusur.
Dengan kata lain, kemerdekaan sejati
adalah akses dan kesempatan yang adil bagi semua, terutama bagi mereka yang
lemah dan terpinggirkan.
Delapan puluh tahun adalah usia matang
bagi sebuah bangsa. Namun, kemerdekaan yang sejati baru bisa kita rayakan jika
semua rakyat, tanpa terkecuali, bisa hidup bermartabat. Jika masih ada rakyat
yang kelaparan, maka janji kemerdekaan belum sepenuhnya ditepati.
Dalam Pembukaan UUD 45 alinea keempat,
tujuan terbentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah (1) untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan
kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang bersasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan social.
Refleksi terhadap tujuan kemerdekaan yang
kita penringati tahun ini adalah momentum yang sangat penting agar kita tidak
terjebak dalam perayaan simbolik, sementara esensi kemerdekaan belum dirasakan
semua lapisan masyarakat.
Kemerdekaan adalah pekerjaan rumah
bersama. Negara harus hadir melalui kebijakan yang pro-rakyat: distribusi
ekonomi yang adil, perlindungan sosial yang nyata, dan pemberdayaan ekonomi
kerakyatan. Tanpa itu, kemerdekaan hanya jadi milik segelintir orang.
Pada akhirnya, kemerdekaan sejati adalah
ketika setiap warga negara, termasuk yang miskin, bisa hidup layak, punya
harapan; mengakses pendidikan yang bermutu, mengakses lahan untuk digarap,
mengakses modal usaha, dan merasa dihargai sebagai manusia. Wallahu a’lam
bishshawab.
Sungguminasa, 18 Agustus 2025

