![]() |
| Anil Hukma memberikan tanggapan dalam “Bincang Buku Balutan Asmara La Ruhe”, di Rumah De La Macca Jalan Borong Raya 75A, Makassar, Jumat, 15 Agustus 2025. (ist) |
-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 21 Agustus 2025
Bincang Buku “Balutan Asmara La Ruhe” (2):
Perjalanan Kisah
Cinta Platonic
Oleh: Asnawin Aminuddin
Buku kumpulan surat cinta “Balutan Asmara
La Ruhe” karya Andi Ruhban berisi 40 surat cinta, antara lain Rintihan Relasi,
Tertutup Derita, Dialog Sunyi, Harapan Tersembunyi, Hati Tertulis, Dialog
Terpendam, Pertemuan yang Tertunda, Antara Senyum dan Skripsi, Harapan yang Tak
Tersampaikan, serta Penantian Berakhir.
Membaca teks dari surat-surat yang
terkumpul dalam buku ini, seperti menghadirkan kenangan yang mewakili
pengalaman banyak orang di masa muda tatkala masih dan menjalani rutinitas
sekolah dan kuliah.
Terkesan ringan namun dalam surat-surat
tergambar adanya kesan rasionalitas dan penuh pertimbangan dalam melangkah dan
menjalani hari-hari riang menikmati getaran kasih sayang, rasa yang paling
purba dan primordial yang ditandai oleh kehadiran Adam dan Hawa di muka bumi.
“Saat pertama membaca judulnya, benak
pembaca langsung disuguhi nama subjek yang mengalami kisah asmara. Namun di
benak pembaca hadir pula pertanyaan lebih jauh, siapa sumber hadirnya
surat-surat ini. Tentulah di sana tertulis satu kata pendek dengan sapaan Adik.
Jika secara gamblang lagi di sana tertulis satu nama: Amriani,” kata Anil Hukma
dalam prolog di buku tersebut.
Lazimnya, kata sastrawan dan akademisi
ini, sebuah surat tentu ada yang mengirim dan juga ada yang membalas, sehingga
terjalin suatu tanya jawab dan dialog, tetapi di dalam buku “Balutan Asmara La
Ruhe”, pada semua surat kesannya hanya monolog karena hanya dari satu pihak
yakni yang menulis dan mengirim surat.
“Tak ada satupun surat balasan dari si
Adik yang dimunculkan, sehingga usai kita membacanya terkesan ini adalah cinta
yang bertepuk sebelah tangan, tetapi ternyata tidak sesederhana itu,” kata Anil
dalam “Bincang Buku Balutan Asmara La Ruhe”, di Rumah De La Macca Jalan Borong
Raya 75A, Makassar, Jumat, 15 Agustus 2025.
Bincang buku yang diadakan oleh Forum
Sastrawan Indonesia Timur (Fosait) menghadirkan tiga pembicara yaitu Rusdin
Tompo (Koordinator Satupena Sulawesi Selatan), Goenawan Monoharto (sastrawan,
seniman dan penerbit), dan Yudhistira Sukatanya (sutradara teater dan
budayawan), serta dipandu oleh Ishakim (seniman).
Hadir sejumlah seniman, penyair, budayawan
dan wartawan antara lain Mahrus Andis (kritikus sastra), Muhammad Amir Jaya
(Presiden Fosait), Anwar Nasyaruddin, Syahril Rani Patakaki, Anil Hukmah,
Asnawin Aminuddin, Bahar “Petta Puang” Merdhu, Arwan Awing, Syarif Liwang, dan
Rahman Rumaday.
Anil Hukma yang hadir sebagai peserta diskusi
mengatakan, melihat konteks waktu dan tempat dalam kumpulan surat cinta Andi
Ruhban, sangat jelas bahwa surat-surat tersebut sudah tersimpan lama dan kini
kita bisa menyebutnya dengan satu kata: kenangan.
Dengan surat bertahun 1993 tetapi
pertemuan pertama bertahun 1991 menandakan ada jeda waktu dan pertimbangan
untuk menindaklanjutinya dengan suatu keberanian tindakan. Lalu dihitung dengan
tahun sekarang (2025, red) berarti sudah berjarak 32 tahun.
Saat surat ditulis keduanya masih sama-sama
muda dan daya tarik kepada lawan jenis kadang menghampiri dan menjebak diri
personal untuk merasakan getar ketertarikan. Hal tersebut terbaca pada surat
berjudul Dialog Sunyi; Jujur harus kuakui bahwa sejak kita bertemu di
perpustakaan 18 Sep 93, ada getaran aneh menimpa diriku.
“Dan getaran aneh inilah yang selalu
melingkupi mereka-mereka yang ditimpa buah-buah jatuh cinta. Dimana ini menjadi
horizon awal untuk mengenal rasa purba itu,” uja Anil.
Dalam separuh surat terbaca bahwa
penulisnya masih selalu dihadapkan pada perasaan dominan yang dibalut oleh
pertimbangan, dalam hal ini kehati-hatian. Sang penulis surat sangat sadar
bahwa segala gerak-gerik harus dipertimbangkan baik buruknya jika mau bertemu
dimana dan kapan, sehingga tidak terjebak pada pertemuan berduaan saja.
Apalagi pada saat itu si penulis sudah
berstatus sebagai pendidik dan yang membuatnya selalu berdebar hebat adalah
mahasiswinya atau anak didiknya.
“Bila demikian, pertanyaan selanjutnya,
mengapa kisah ini sudah sangat lewat dari masa lalu tapi masih disimpan dan
dimunculkan untuk sekalian diterbitkan? Secara pasti tentu hanya penulisnya
sendiri yang tahu jawaban lengkapnya. Meskipun jika dicermati sudah tergambar
dalam salah satu surat akan niat dan janji pada saat surat tersebut ditulis, di
sana tertera kalimat: Nanti tiba waktunya kuberikan dan kujadikan buku beserta
dengan semua jenis surat yang pernah kuterima sebagai bahagian yang tak
terpisahkan dalam perjalanan hidupku,” ulas Anil.
Keseruan kisah ini, lanjutnya, separuh
hilang karena komunikasinya hanya satu arah, hanya sepihak. Namun kisah seperti
ini, juga tidak aneh.
“Kita cenderung menyebutnya perjalanan
kisah cinta platonic. Sebuah perasaan mendalam yang kuat yang menghubungkan dua
orang namun tidak bergantung pada keinginan fisik (raga) melainkan pada
keinginan emosional dan spiritual untuk menyatu dengan orang lain,” tutur Anil.
Surat Cinta Kahlil Gibran
Anil Hukma kemudian mengemukakan bahwa ada
beberapa kisah surat-surat demikian, seperti yang tergambar dari kisah cinta
penyair, pelukis, dan filsuf terkenal Lebanon-Amerika: Kahlil Gibran.
Kahlil Gibran menulis kepada banyak
perempuan dan mengakui sebagai kekasihnya, namun kenyataan si objek surat hanya
mengaku sebagai sahabat dan tentu tak pernah sampai dì gerbang pernikahan.
Meskipun pasangan ini sangat dekat dan intim namun bagi Gibran rasa sayangnya
inì dijadikan sumber inspirasi.
“Kisah cinta platonik lainnya yang
terkenal adalah Qais dan Laila, sebuah kisah cinta platonik yang mendalam dan
tak terbalas,” sebut Anil.
Pembenaran tentang ini dikemukakan pula
oleh Erich Fromm, seorang psikoanalis dan filsuf dari Jerman. Ia menduga bahwa
cinta bukanlah sebuah perasaan pasif, melainkan sebuah tindakan aktif yang
memerlukan kesadaran kepedulian dan tanggung jawab. Cinta tidak hanya berfokus
pada individu lain tetapi juga pada diri sendiri dan lingkungan.
Sejatinya surat-surat dari masa lalu ini
merupakan pengungkapan diri yang tak pernah selesai. Karena menyimpan jejak dan
rasa itu adalah lumrah, tetapi cara orang berbeda-beda dalam mengeksekusinya.
Banyak yang telah mengalami namun ada yang
mengambil jarak terjauh yaitu dengan menghapus jejak itu dengan cara melupakan
sama sekali sebagai bagian dari masa lalu.
“Namun bagi penulis surat ini, La Ruhe,
justru menyimpan kisah asmara ini dan masih terus memelihara melalui lembaran
kertas bertulis tangan yang kemudian diketik ulang dan dijadikan buku,” kata
Anil.
Mendeterminasi sebuah kisah, wacana, ide,
dan pengalaman meskipun dalam surat merupakan pengalaman otentik dan
eksistensial bagi siapa saja sebagai pelaku, karena manusia itu sangat personal
dan betapa pun ribuan manusia namun tak ada yang persis sama jalan kehidupannya
tapi hanya bisa mirip kisahnya.
“Itulah kenapa kita perlu membaca kisah
hidup dan biografi orang lain karena di situ ada ragam makna untuk berefleksi
dan menemukan mutiara hikmah dan cermin untuk bisa lebih bersikap bijak dalam
menjalani kehidupan,” ujar Anil.
Satu hal yang tergambar dalam kisah ini
adalah kesabaran dan katelatenan Andi Ruhban untuk menyimpan dan mendokumentar
perjalanan rasa dengan seluruh pergolakan jiwa yang menyertainya. Di situ ada
sikap dan konstruksi kesadaran, ada kenangan yang ingin dipilah dan dipilih.
Membaca keseluruhan surat-surat dalam buku
“Balutan Asmara La Ruhe”, kita akan menerima tawaran pelbagai interpretasi yang
sangat terbuka untuk dimaknai. Salah satunya adalah cermin kenyataan dan
bingkai sejarah pada saat surat ditulis.
Salah satu gambaran paling nyata adalah
betapa surat-surat berjumlah 40 judul dengan bertinta di atas kertas putih,
beraroma rasa dan getaran cinta selalu menjadi magnet untuk ditulis dan
dilipat, lalu kemudian disampaikan kepada sang objek surat.
“Ditunggu dengan berdebar balasan yang
akan diterima. Dan, itu menyenangkan dan membahagiakan,” kata Anil.
Bandingkan dengan realitas sosial
sekarang, jamannya tentu sudah sangat beda. Generasi kini atau generasi
milenial semua serba cepat, serba instan, karena mereka bermain langsung dengan
video call, pesan lewat WA dan berbagai fitur media social lainnya, padahal
dalam jeda menunggu dalam surat konvensional, di situ ada pembelajaran penting
tentang melatih kesabaran, jejak perjuangan dalam meraih keinginan, mensiasati
jeda rencana, pengelolaan emosi, penghayatan tentang jarak dan waktu dan
sebagainya.
“Intinya dari kisah ini, tergambar: ‘lewat surat kuawetkan kenangan dan kuhibur diri’. Selain itu, apapun isi dan bentuk ‘Balutan Asmara La Ruhe’ tentu menjadi bagian dari bentuk seni mencintai,” tutup Anil. (bersambung)
.....
Tulisan bagian 3:
Puluhan Perempuan Dikirimi Surat Cinta, Semua Menolak
Tulisan bagian 1:
