-----
Sabtu, 16 Agustus 2025
Mentan: Ada
Pihak-pihak Naikkan Harga Beras Secara Tidak Wajar
JAKARTA, (PEDOMAN KARYA). Menteri
Pertanian Andi Amran Sulaiman (Mentan Amran) membeberkan sejatinya stok beras
nasional dalam kondisi surplus, akan tetapi terlihat adanya anomali harga yang
terbentuk di pasar beras.
Menurutnya, terdapat sejumlah faktor
struktural dan perilaku pasar yang membuat harga beras masih belum stabil. Isu
yang ramai diberitakan soal banyaknya penggilingan padi kecil yang disebut
tutup, Mentan Amran menilai informasi itu tidak sepenuhnya tepat.
Ketua Umum Kerukunan Keluarga Sulawesi
Selatan ini menekankan bahwa kondisi yang dialami penggilingan sebenarnya lebih
terkait dengan struktur kapasitas yang tidak seimbang dengan produksi padi
nasional, bukan semata karena faktor penutupan baru-baru ini.
“Sekarang ada tiga klaster penggilingan.
Tolong diperhatikan ya. Ada penggilingan kecil, menengah, dan besar. Yang kecil
jumlahnya 161.000 unit. Yang menengah 7.300 unit. Yang besar 1.065 unit. Clear
ya,” ujarnya usai mengikuti konferensi pers mengenai Nota Keuangan dan RAPBN
2026, Jumat, 15 Agustus 2025.
Ia kemudian mengurai lebih detail soal
ketidakseimbangan tersebut. Kapasitas giling yang tersedia di penggilingan
kecil saja sudah mencapai 116 juta ton per tahun, sementara produksi padi
nasional hanya sekitar 65 juta ton. Artinya, kapasitas giling jauh melampaui
jumlah produksi sehingga banyak mesin yang menganggur.
“Kapasitas penggilingan yang kecil adalah
116 juta ton tapi produksi padi Indonesia hanya 65 juta ton. Menurut Anda,
kalau kapasitas 116 juta, kemudian produksi padi Indonesia hanya 65 juta, idle
nggak?” terang Mentan.
Mentan Amran menambahkan bahwa kabar soal
penggilingan kecil yang tutup bukanlah fenomena baru. Menurutnya, hal ini sudah
sering terjadi sejak lama akibat struktur pasar dan kapasitas yang tidak
seimbang.
“Ada yang menulis kemarin bahwasannya,
pabrik (penggilingan) kecil tutup, itu sudah lama terjadi,” ucapnya.
Faktor musiman juga ikut menjelaskan
mengapa sebagian penggilingan tidak beroperasi. Produksi padi Indonesia
didominasi pada semester pertama, yakni Januari hingga Juni, yang menyumbang
sekitar 70 persen produksi nasional.
Akibatnya, sebagian besar gabah sudah
digiling di periode itu, sedangkan pada semester kedua pasokan bahan baku
berkurang.
Menurutnya, ketimpangan harga antara
penggilingan besar dan kecil turut menambah beban. Pemain besar mampu membeli
gabah dengan harga lebih tinggi sehingga menggeser ruang gerak penggilingan
kecil.
“Yang besar harusnya tidak masuk
mengganggu yang kecil. Karena yang kecil, kalau dia beli Rp6.500, yang besar
beli Rp6.700. Kalau yang kecil naik Rp6.700, yang besar beli Rp7.000. Artinya,
yang kecil terganggu,” tegasnya.
Meski begitu, Mentan Amran melihat
dinamika pasar belakangan justru membawa dampak positif. Penurunan penjualan
beras premium di supermarket modern diikuti dengan peningkatan permintaan di
pasar tradisional. Hal ini memberi kesempatan bagi penggilingan kecil untuk
kembali mendapatkan pasokan.
“Tapi lihat fenomena, setelah terjadi
pengurangan premium di supermarket modern, terjadi peningkatan penjualan di
pasar tradisional. Kemudian penggilingan kecil mendapatkan supply. Itu adalah
berkah bagi penggilingan kecil dan pasar tradisional.” tuturnya.
Mentan Amran menilai penting untuk
meluruskan pemahaman publik. Dengan stok beras yang hanya sekitar 23 juta ton
tersisa di sisa tahun berjalan dan kapasitas giling terpasang hingga 165 juta
ton, wajar bila tidak semua penggilingan bisa beroperasi penuh. Kondisi ini
membuat penggilingan kecil kerap kalah bersaing dalam harga.
“Kalau berasnya saat ini tinggal 23 juta,
gak banyak, kapasitas pabrik seluruhnya itu 165 juta, tentu kan tidak kebagian
yang kecil. Kenapa yang kecil? Kalah bersaing dalam harga. Nah, ini
mudah-mudahan akan terbentuk struktur pasar baru,” ujarnya.
Curang dan Tidak Wajar
Selain faktor kapasitas dan distribusi,
Amran juga menyoroti adanya praktik kecurangan yang ikut mengerek harga beras.
Ia mengungkapkan bahwa ada pihak-pihak yang menaikkan harga secara tidak wajar,
jauh di atas harga seharusnya.
“Nah, setelah itu diperparah lagi dengan
harga dan kualitas yang tidak benar. Itu mengangkat harga. Dan itu sudah berapa
tersangka ditetapkan” ungkapnya.
Berdasarkan pemantauan terbaru, Mentan
Amran menyebut harga beras sudah mulai mengalami penurunan di sejumlah daerah,
meski di beberapa wilayah lain masih bertahan.
“Kemudian kami pantau tadi, itu sudah
terjadi penurunan (harga beras) di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, kecuali
Sumatera Utara masih tetap harganya, Aceh turun, Kalimantan Selatan turun,
kemudian Sulawesi Selatan. Jadi turun, Lampung juga turun. Pasti turun,”
terangnya.
Mentan Amran membantah anggapan bahwa
tingginya harga beras saat ini disebabkan penyerapan besar oleh Bulog. Ia
menekankan bahwa Bulog hanya menyerap sekitar 8 persen dari total beras yang
beredar, sedangkan sisanya dikuasai oleh swasta.
“Ada pengamat tuh mengatakan kenapa harga
tinggi, karena Bulog serap banyak, benar nggak? Sekarang adalah yang diserap
itu Bulog hanya 8 persen, sedangkan 2,8 juta ton dibagi dengan 34 juta ton itu
sama dengan 8 persen. Swasta serap 92 persen,” pungkasnya.
Mentan Amran menegaskan pemerintah bersama
kementerian terkait telah beberapa kali melakukan rapat koordinasi terkait
kondisi ini. Ia optimistis kesepakatan bersama akan menghasilkan struktur pasar
baru yang lebih sehat. (st)
