![]() |
| Presiden Prabowo Subianto tidak identik dengan diksi pakaro, namun mungkin lebih berkesan kepada pemaknaan kata sebagai jawara. |
-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 20 Agustus 2025
Pakaro, Presiden
Prabowo
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Esensi dari kata 'pakaro' dalam bahasa
Bima, boleh dimaknai sok kuasa atau sok jagoan semau gue atau kelakuan yang
sewenang sewenang gaya premanisme semau gue karena terlalu berani berbuat
kenekatan dan ada sesuatu ilmu hitam diandalinnya.
Misalnya, mempunyai ilmu hitam kebalan
atau turunan berada /keluarga jagoan juga berandalan yang nekatan sehingga
orang merasa takut padanya, sekalipun tidak selamanya demikian esensinya, bila
ada lawan lebih jagoan benaran, maka kepakaroannya pun akan berubah menjadi
ayam sayuran.
Bahkan esensi dari kata pakaro hampir seiring dengan pemaknaan kata “rewa / rewako” / berani / terlalu nekatan dalam bahasa Makassar. Selain itu, “rewa” juga bisa berarti “lawan” atau “suka berkelahi” tergantung pada konteks penggunaannya.
Mungkin, esensi dari pakaro atau rewako,
lebih indentik dengan diksi “Sok jagoan” berarti berpura-pura menjadi
orang yang paling hebat, kuat, atau pandai, padahal sebenarnya tidak
demikian.
Orang yang “sok jagoan” seringkali suka
mencari perhatian, ingin menang sendiri, dan terkadang menggunakan kekerasan “semau
gue” untuk menyelesaikan masalah.
Istilah tersebut, juga bisa dikaitkan
dengan superiority complex / kompleks superioritas, di mana seseorang
merasa lebih baik dari orang lain dan merendahkan orang lain.
Akibat, lebih dikesankan superiority
complex, tentu berbeda esensinya dengan kehadiran kata jawara yang
sesungguhnya. Jawara merupakan sebutan untuk seseorang yang dianggap jago,
juara, atau ahli dalam suatu bidang, terutama dalam konteks ilmu bela diri atau
seni tradisional, seperti pencak silat.
Di Banten, jawara juga dikenal sebagai
tokoh yang memiliki peran penting dalam masyarakat, termasuk menjaga keamanan
dan ketertiban menjadi budaya luhur berkeadaban.
Tentu, Presiden Prabowo Subianto tidak
identik dengan diksi pakaro, namun mungkin lebih berkesan kepada pemaknaan kata
sebagai jawara.
Di mana, beliau telah tahan banting
menjadi milter militan, sekalipun diberhentikan di tengah gejolak karirnya
berbintang. Bahkan telah beberapa kali jatuh bangun jadi kandindat calon
Presiden. Namun, tetap tegar dan teguh menggapai cita citanya menjadi Presiden,
dan alhamdulillah, tercapai sebagaimana yang diharapkannya.
Beliau juga tanpa mengidam penyakit rasa
dendam berlebihan, sebagaimana di antara sebagian dari pendahulunya. Dan
justru, ia merangkul lawannya untuk masuk kabinet merah putih.
Sekalipun, mungkin banyak pihak menilai
rangkulannya, berkesan agak bergaya “kuda troya” senyapan untuk diremukin
pikiran sehingga tak tersirat betati permusuhan.
Boleh juga diindikasikan, agar mereka
tidak lagi pakaro yang dapat membuat gerakan gaduhan liar, di saat beliau jadi
Presiden. Sekalipun, Presiden bisa saja menumpas dengan kejawaraan kekuasaan
yang dimilikinnya, berdasarkan Undang-undang Dasar dilegitimasinya.
Jawaranya Presiden Prabowo
Kejawaraan dimaksudkan, yakni diharapkan
kepada Presiden Prabowo untuk melaksanakan amanah Undang-Undang Dasar 1945
dengan jantan di dalam melegitimasikan secara masif, terutama di antaranya UU
pasal 33 ayat 3.
Kandungan isi dari pasal tersebut,
memang sangat vital intuk saat ini, mesti diberlakukan dengan nyata
menjadi esensi kejawaraannya. Sebagaimana kesan yang saya goreskan pada
MabesNews.com, dengan topik “Dibajak Merdeka Rakyat Membara” 16/8/2025.
Di mana, bunyi dan kandungan pasal
tersebut, masih terus saja berlalu melolong, bah air di daun talas hampa bekas
dan hanya jadi berkas didengung dengan imingan berangan kosong doang!
Sementara esensi dari UUD yang dimaksudkan
di atas, bahwa: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Bahkan pasal ini, hanya dijadikan diksi
berkalimatan yang sungguh indah dan menawan terurai untuk legitimasi sebagai
naskah di dalam orasi, namun lenyap dalam aksi tindakan dunia nyata.
Hampa bukti juga tanpa jejak yang berarti,
terkecuali hasilnya melimpah ruah untuk dikuras habis, demi kemakmuran
perkorupsian yang dilanggengkan untuk bertunggang langgang dengan beragam
dagelan dipertontonkan.
Lalu, di mana buktinya sebagai muara mata
nurani di dalam sila kelima dari Pancasila yang berdiksi “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Semestinya, kini setelah 80 tahun
Indonesia merdeka dari penindasan penjajah, sudah sepantasnya untuk menikmati
kemakmuran sejati, sebagaimana diamanahkan oleh pasal UUD 45 tersebut.
Sungguh sangat mengherankan, justru
kini masih saja dirasakan, kesan pakaro membajak untuk manjurin pajak. Bahkan,
menjamur tindakan berpakaro yang seenak dengkulan berlabial dentalan di tengah
limpahan pengangguran menganga!
Dan itu berarti sama halnya dengan memicu
mercon api untuk semakin membara pada hamparan savanna nan lagi kerontangan di
semesta alam nusantara berkalam!
Sekalipun, kalam usia kemerdekaan
Indonesia telah 80 tahun, namun rakyat semakin digulung dan dibajak untuk
dipajakin dengan berlipatan tanpa karuan hingga pelosok negeri. Namun, kesan
usia kemerdekaan telah berangka tua demikian pun, belum jua berkesan merdeka
menjadi harapan Pahlawan sejati.
Sejatinya, moto Merdeka atau
mati yang menjadi kunci yang telah diperjuangkan oleh Pahlawan sejati
mesti dikedepankan. Hal demikian, tidak lain agar bangsa Berketuhanan nan Abadi
yang menjadi suratan kehidupan sejatinya. Sehingga penghuninya aman dari
kelaparan, tidak lagi dibajak oleh penjajahan dengan pajak penindasan berkesan
pakaro berlebihan.
Manakala, rakyat masih juga terus dibajak
dengan pakaro dalam penindasan untuk berpajak yang berlebihan. Tentu, bukan hal
keliru bila rakyat pun akan bertindak pakaro yang semakin membara di dalam
berdemostrasi guna menuntuk haknya yang berkeadilan tulen. Termasuk, tindakan
pakaro dengan masif turun di jalan ataupun melalui tulisan. Dan itu mungkin hal
yang wajar saja, bah berawal dari Pati, Jawa Tengah yang bergejolak .
Berawal dari Pati
Boleh jadi berawal dari Pati. bertampak
peti mati demokrasi bukan dari mata hati. Tetapi, discovery bermata uang
terbagi dengan benderang menderu juga terselubung. Hingga lembaran uang
berkarung agar bisa jadi pemenang berkunang kunang_
Membumbung, tentu aji mumpung mesti
melambung dan kini, mesti dituai ledakan demo besar besaran dari rakyat sendiri
akan menindasinnya.
Boleh jadi, berawal dari Pati, bertampak
peti mati demokrasi bukan dari mata hati. Tentu, wajar Rakyat akan bangkit
terus untuk menindasi pilihan demokrasi bermata uang berkarung karung.
Berhingga terkurung dan terkungkung akar dari demokrasi kong kali kongan.
Kini, boleh jadi berawal dari Pati Jawa
Tengah, gaung gong telah bertabu dan mungkin akan terus melangkah tiada henti
melingkari negeri. Berhingga esensi dari berdemokrasi akan bersolusi bukan
kepada uang berangka lagi, tetapi bermata hati nurani jadi kiblatannya.
Tentu. demontrasi berbuah kerusuhan yang
terjadi di Pati, Jawa Tengah, mungkin tidak elokjuga dikaitin pengalihan isu
dengan dagelan ala Jokowi yang lagi viral diseterukan. Sekalipun,
diseterukan tersebut, mungkin juga agak terkesan pada diksi pakaro
berhingga berlebihan sehingga episode akhirnya pun tidak karuan.
Tentu, Presiden Prabowo Subianto tidak
identik dengan kesan diksi pakaro yang tak karuan, tetapi lebih militan menjadi
jawara tulen. Apalagi, bila beliau melaksanakan pesan UUD 45 dengan rasa
berkeadilan sejati secara masif tanpa pandang bulu.
Manakala, masih jua mendaur ulang lagi,
tentang asas kesan diksi pakaro masa lalu yang dialamatkan kepadanya. Maka,
kesan aroma dari reformasi sesungguhnya, mungkin boleh diindikasikan masih
belum terlalu sembuh dari bekas luka yang bercendana istana di dalam berkalam.
_Wallahu'alam.
