Tiga Konfrontasi Hegemoni Kekuasaan

Cerpen “1965” karya Andi Wanua Tangke ini merupakan salah satu narasi fiksi yang berobsesi pada peristiwa konfrontasi kekuasaan Orla. Cerpen ini mengingatkan saya pada karya Umar Kayam yang selalu membekas pada ingatan, yakni “Sri Sumarah” dan “Bawuk.”


-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 19 Agustus 2025

 

ESAI

 

Tiga Konfrontasi Hegemoni  Kekuasaan 

 

(Apresiasi Cerpen “1965” karya Andi Wanua Tangke)


Oleh: S. Prasetyo Utomo     

 

REALITAS konfrontasi kekuasaan yang membawa korban dan perubahan besar tatatan politik, seringkali menjadi obsesi sastrawan selama berpuluh tahun. Luka kemanusiaan, pengorbanan, penderitaan, dan ketidakadilan, berulangkali menggugah sastrawan untuk mengangkatnya menjadi narasi fiksi, dengan penyingkapan-penyingkapan dehumanisasi di baliknya.

Cerpen “1965” karya Andi Wanua Tangke ini merupakan salah satu narasi fiksi yang berobsesi pada peristiwa konfrontasi kekuasaan Orla. Cerpen ini mengingatkan saya pada karya Umar Kayam yang selalu membekas pada ingatan, yakni “Sri Sumarah” dan “Bawuk.”

Kedua cerpen panjang itu tidak sekadar menggugat kekuatan koersif kekuasaan Orba saat menindas kekuatan politik lama, tetapi lebih pada mencipta konstruksi struktur narasi akan nasib perempuan yang tidak semestinya menjadi korban dominasi kekuasaan. 

Cerpen “1965” juga mencipta konstruksi narasi yang menyingkap penderitaan kaum perempuan dalam tiga generasi: nenek, ibu, dan anak.   

Tentu saja Andi Wanua Tangke mencipta cerpen “1965” dengan sudut pandang “defamiliarisasi”. Sebagai seseorang yang terpikat pada teori “defamiliarisasi” Formalis Rusia, izinkan saya memanfaatkan pendapat  Victor Shklovsky untuk memaknai cerpen-yang menyingkap katarsis hegemoni kekuasaan. 

Ia mengemukakan bahwa sifat kesastraan muncul sebagai akibat penyusunan dan penggubahan bahan yang semula bersifat netral. Para pengarang menyulap teks-teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya dari otomatisasi. Proses penyulapan oleh pengarang ini disebut “defamiliarisasi”, yakni teknik membuat teks menjadi aneh dan asing atau teknik bercerita dengan gaya bahasa yang menonjol dan menyimpang dari biasanya. 

                                                              ***

MENAFSIR struktur narasi cerpen “1965”, saya dihadapkan pada tiga konfrontasi hegemoni kekuasaan yang dialami kaum perempuan: Ratmini, Sundari, dan Endang. 

Pertama, konfrontasi hegemoni kekuasaan yang dialami nenek, tokoh bernama Ratmini yang ditangkap berdasarkan tuduhan sebagai Gerwani. Ia dilenyapkan dari sejarah, dan tak diketahui keberadaannya. Ia tak diketahui kuburnya. 

Hegemoni kekuasaan telah nelakukan tindak kekerasan melenyapkan seorang perempuan yang tak diketahui dosa politik yang dilakukannya, tanpa pembelaan, tanpa peradilan, tanpa hak hidup. Andi Wanua Tangke mengisahkan betapa rakyat jelata tak memiliki otoritas di hadapan hegemoni kekuasaan.

Kedua, konfrontasi hegemoni kekuasaan yang dilakukan Sundari, anak perempuan Ratmini. Sebagai anak perempuan yang berbakti pada ibunya, tokoh Sundari selalu menjaga rahasia ibunya. Ia tak pernah membongkar jatidiri ibunya. Ia melakukan konfrontasi hegemoni kekuasaan dengan “menyembunyikan” identitas ibunya. Suami dan anak Sundari juga tak memahami identitas Ratmini. 

Ketiga, konfrontasi hegemoni kekuasaan dilakukan Endang, cucu Ratmini. Gadis ini tidak memahami nenek yang menjadi leluhurnya. Akan tetapi, ia mengalami sebuah mimpi bertemu nenek, yang secara mitos bermakna ajalnya sudah dekat. 

Seorang cucu dari seorang nenek yang ditangkap rezim Orba, tak memiliki kemerdekaan untuk menemukan kubur neneknya, agar bisa berziarah. Ia tetaplah cucu yang memperoleh nasib buruk karena kesalahan rezim sebelumnya.   

Andi Wanua Tangke menyusupkan unsur mitos tentang “seseorang yang ditemui leluhurnya bermakna ajalnya sudah dekat”. Mitos inilah yang membangun struktur narasi dengan defamiliarisasi, sehingga cerpen – sebagai teks fiksi – memancarkan teka-teki untuk dinikmati pembaca. 

                                                                       ***

TENTU, secara sekilas, saya harus memaknai cerpen “1965” sebagai teks yang dikategorikan memiliki (1) kedalaman emosi dan keunikan ungkapan pribadi, (2) dicipta dengan  totalitas efek kesan yang ditampilkannya, (3) memprepresentasikan penyingkapan hegemoni kekuasaan untuk mencapai katarsis, dan (4) pengarang menyulap teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya dari otomatisasi. 

Saya mesti jujur dengan pembacaan saya terhadap cerpen “1965” karya Andi Wanua Tangke, yang membangkitkan beberapa lapis makna konfrontasi hegemoni kekuasaan. Ia tak sekadar menulis untuk mencapai katarsis. 

Lebih dari itu, ia memanfaatkan sejarah, struktur narasi, imajinasi, dan “defamiliarisasi” untuk menghadirkan cerita yang berangkat dari fakta dan berita yang sudah lazim kita baca menjadi teks yang memiliki keutuhan dan kompleksitas pengalaman.  

                                                                      ***

Penulis S. Prasetyo Utomo adalah sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.

  

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama