------
Kamis, 07 Agustus 2025
Tantangan di Balik
Usaha Reklame di Makassar
Oleh: Rusdin Tompo
(Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)
Kalau kita bicara reklame di Makassar, ada
dua jalan yang lekat dengan lokasi pembuatannya, yakni Jalan Sungai Pareman di
Kelurahan Lariangbangi, Kecamatan Makassar, dan Jalan Sungai Saddang Baru di
Kelurahan Ballaparang, Kecamatan Rappocini.
Meski ada pula pembuatan reklame di
jalan-jalan lain, namun sentra pembuatan reklame berada di kedua jalan itu.
Khusus di Jalan Sungai Saddang Baru, menjadi pusat pembuatan reklame dan
digital printing dalam skala besar.
“Sebelum era digital printing, pembuatan
reklame dahulu masih manual. Masih menggunakan spoit dico. Jadi kita
menggunakan seniman lukis. Sekarang yang bekerja serba komputer, dilakukan oleh
desain grafis,” jelas AB Iwan Azis, soal perkembangan usaha reklame di
Makassar.
Iwan Azis adalah Ketua ASPRI (Asosiasi
Pengusaha Reklame Indonesia). Beliau banyak mengungkap seluk beluk usaha
reklame di Makassar, organisasi yang menaungi para pengusaha reklame, serta
kisah di balik titik-titik reklame di Jalan Andi Pangerang Pettarani —biasa
disingkat Jl. AP Pettarani.
Katanya, mungkin tidak banyak orang yang
tahu, bagaimana peran pengusaha reklame saat pembangunan Jalan AP Petta Rani.
Jalan ini merupakan jalan nasional, dengan panjang 4,3 kilometer. Mulai dari
Kilometer 4 (Jalan Jenderal Urip Sumoharjo-Tol Reformasi) di utara hingga Jalan
Sultan Alauddin di bagian selatan.
Nama jalan ini diambil dari nama Andi
Pangerang Petta Rani (14 Mei 1903-12 Agustus 1975), yang punya nama lengkap
Andi Pangerang Petta Rani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe ri
Panaikang.
Andi Pangerang Petta Rani merupakan
bangsawan, birokrat, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Beliau
merupakan Gubernur Sulawesi ke-5, atau yang terakhir (1956-1960). Setelah itu,
Sulawesi terbagi atas beberapa provinsi, dengan masing-masing gubernurnya
sendiri.
Tahun 1980an, Jalan AP Pettarani belum
seperti sekarang. Para pengusaha reklame punya andil di jalan yang kini menjadi
pusat bisnis, komersial, dan perkantoran tersebut.
Saat masih dalam proses pengerjaan, cerita
Iwan Azis, setiap perusahaan reklame menyumbang hingga 25 truk pasir / tanah
untuk menimbun median jalannya.
Itulah yang kemudian menjadi kompensasi
bagi pengusaha-pengusaha reklame. Sebab, saat itu, kata dia, belum ada aturan
yang paten. Bahkan hingga saat ini, peraturan yang ada soal reklame masih
tumpang-tindih.
“Pengusaha, waktu itu, dibolehkan mencari
titik lokasi, sementara pemerintah juga butuh proyeknya selesai. Ini semacam
tukar guling. Jadi ada sejarahnya,” terangnya.
Iwan Azis melanjutkan, kala itu, usaha
reklame belum menjadi daya tarik bagi banyak kalangan. Belum dilihat potensi
bisnisnya dan memberi dampak bagi kehidupan pelaku usahanya, sehingga hanya ada
beberapa gelintir orang yang punya usaha reklame.
Reklame dalam tulisan ini, yakni reklame
luar ruang, atau Out-of-Home (OOH) advertising. Ia adalah bentuk periklanan
yang berada di ruang publik guna membangun kesadaran merek dan menjangkau
audiens yang lebih luas, yang tengah melakukan aktivitas di luar rumah.
Media reklame jenis ini macam-macam, juga
bisa sangat kreatif dan inovatif. Di antaranya billboard, baliho, megatron,
videotron, spanduk, neon box, dan lain sebagainya.
Kini usaha pembuatan reklame sudah berupa
digital printing, yang relatif lebih praktis dan ringkas. Ada efisiensi dalam
pengerjaan desainnya. Namun, tetap punya tingkat kesulitan saat bongkar pasang.
Pengerjaan reklame yang notabene di luar
ruang ini, kerap memakan korban. Pekerjanya berisiko, bisa jatuh dan terkena
sengatan listrik. Ini pekerjaan dengan risiko tinggi juga.
“Kalau pasang reklamenya tidak hati-hati
bisa terkena musibah. Bisa kesetrum, atau jatuh, yang berakibat cedera, bahkan
meninggal,” ungkap Iwan Azis.
Beliau mengibaratkan usaha reklame bagai
kaleng kurma. Karena sering diangkut dan berpindah-pindah, kalengnya
keppo-keppo (penyot) tetapi kurmanya sendiri masih bagus. Cuma orang hanya
melihat tampilan kalengnya, yang terkesan rusak, sehingga membuatnya tidak
tertarik.
Kondisi usaha reklame ya seperti itu di
masa awal. Bisnisnya masih tergantung dari Jakarta, rentang birokrasinya
panjang. Maka, kata dia, ada teman-temannya yang muncul sebagai pemain yang
terpisah dari Jakarta.
“Banyak pintu yang mesti dilewati, dan itu
bukan pintu pemerintah, melainkan pintu-pintu yang dibuat sendiri oleh kita.
Ya, kata lugasnya itu, banyak broker yang mesti disuapi,” tambah lelaki yang
pernah aktif sebagai wartawan itu.
Contohnya, papar Iwan Azis, kalau ada yang
mau pasang iklan produk tertentu, dia akan ditanya, mau kasi berapa persen,
nanti dicarikan titik reklamenya. Ini juga berisiko, sebab seandainya posisi
reklamenya mestinya melintang (lanskap), sementara reklame yang dipasang
berdiri (vertikal/portrait) maka bisa terkena komplain.
Kalau lampu reklamenya mati, dan tidak
terlihat pada malam hari, bisa-bisa terkena komplain lagi. Untuk lampu ini,
harus juga berurusan dengan PLN. Dahulu, belum ada pekerja yang mahir untuk
itu. Sekarang sudah ada yang bisa tangani, yakni anak-anak alumni STM.
Sekarang, kata dia, sudah banyak
bermunculan pengusaha reklame. Bahkan ada yang mantan-mantan pejabat sehingga
terjadi seperti yang bisa dilihat oleh masyarakat di lapangan.
Menurut Iwan Azis, usaha reklame ini
bisnis jasa. Butuh kepercayaan dan kemampuan komunikasi tertentu. Beda dengan
kalau, misalnya, kita jualan mobil, barangnya jelas, dengan merek-merek mobil
yang juga sudah paten.
“Jadi tidak semua itu pekerjaan
digampang-gampangkan,” kata dia mengingatkan.
Banyak orang yang mau ikut berkecimpung di
bisnis reklame. Dia bikin titik, tetapi titik-titiknya ini tidak laku. Mengapa?
Karena orang itu tidak tahu bagaimana strategi pemasarannya. Dia tidak punya
networking, dan sebagai pemain baru, dia tidak dikenal.
Iwan Azis lantas membagi pengalamannya.
Katanya, perlu ada komunikasi antara pemasang iklan dengan yang punya titik.
Kalau pemasangnya sudah terbiasa dengan
orang yang punya titik tertentu, sudah punya ikatan emosional, maka sulit untuk
dia berpindah pada pemilik titik reklame lainnya.
Orang tersebut tidak akan pergi ke
mana-mana. Dia hanya bilang, kontak dengan si A, si B, maka akan jalan
sebagaimana biasanya.
Sekarang ini, penguasaan titik-titik
berubah. Ada sistem baru yang dibangun. Sistem ini tergantung orangnya yang
pintar bermain, seperti apa.
Diakui bahwa tidak bisa dinafikan, ada
hal-hal yang dikreasikan dan menjadi diskresi dari penentu kebijakan. Untuk
itu, dia menyarankan, pemerintah juga perlu lebih tegas dan dibuatkan aturan
yang tidak monopolistik.
Iwan Azis kemudian menyodorkan fakta
lapangan. Katanya, dia yang membongkar, dia yang memberi izin, dia juga yang
mengatur. Bagaimana caranya? Model one stop service ini harus tetap ada check
and balance-nya, agar tidak terjadi tindakan semena-mena.
“Ibaratnya, pemain dan wasitnya sama, maka
terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan,” kata dia prihatin.
Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) membuat
kebijakan, sementara pemerintah juga membuat PTSP (Pelayanan Terpadu Satu
Pintu), yang juga mengatur perizinan. Sementara kalau terjadi dugaan
pelanggaran, yang bertindak Bapenda, bukan Satpol PP sebagai petugas penegak
Perda.
Pemerintah Kota Makassar di bawah
Walikota, Munafri Arifuddin, dan Wakil Walikota, Aliyah Mustika Ilham, perlu
mengkaji kembali hal ini supaya penataan reklame makin bagus ke depan.***
