![]() |
| Diskusi Buku “RSUD Provinsi NTB: Model Sukses Badan Publik Informatif” karya Dr Cukup Wibowo M.MPd MPd, di Kantor Ombudsman Perwakilan NTB, Kamis, 18 September 2025. |
------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 18 September 2025
Refleksi atas Buku
RSUD Provinsi NTB: “Model Sukses Badan Publik Informatif”:
Keterbukaan
Informasi Publik sebagai Jalan Kepercayaan
Catatan Agus K
Saputra
Ombudsman Republik
Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB) telah melaksanakan Diskusi
Buku “RSUD Provinsi NTB: Model Sukses
Badan Publik Informatif” karya Dr Cukup Wibowo M.MPd MPd, di Kantor Ombudsman Perwakilan NTB, Kota Mataram, Kamis, 18 September
2025.
Pembicara pertama
adalah Kepala Keasistenan Bidang Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI
Perwakilan NTB Yudi Darmadi. Pembicara kedua, Direktur Utama RSUP NTB dr. H.L
Herman Mahaputera MKes MH. Keynote Speaker, Ketua APWI NTB Dr. H. Muslihin MPd
Diskusi Buku ini
merupakan upaya untuk menyebarluaskan gagasan dan praktik baik, refleksi, dan
penguatan keterbukaan informasi publik di berbagai OPD di NTB.
“Kekuasaan tanpa
transparansi akan melahirkan ketidakpercayaan.” – John Locke.
Dalam khazanah
filsafat politik, hubungan antara negara dan warganya selalu diikat oleh
kontraks sosial—sebuah kesepakatan imajiner yang melahirkan legitimasi
kekuasaan.
Thomas Hobbes,
John Locke, hingga Jean-Jacques Rousseau menekankan bahwa masyarakat
menyerahkan sebagian haknya kepada negara demi mendapatkan perlindungan,
keadilan, dan kepastian. Namun, kontrak sosial ini hanya dapat bertahan jika
negara hadir dengan sikap terbuka dan bertanggung jawab.
Muslihin
menggarisbawahi, keterbukaan informasi publik, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, dapat dipandang sebagai manifestasi
kontemporer dari kontrak sosial tersebut.
Negara, melalui
badan publik, berkewajiban membuka informasi agar warganya dapat menilai,
mengawasi, sekaligus berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tanpa
keterbukaan, kontrak sosial kehilangan dasar moralnya; tanpa keterbukaan,
kepercayaan publik akan runtuh.
Maka, buku “RSUD
Provinsi NTB: Model Sukses Badan Publik Informatif” karya Cukup Wibowo hadir
dalam horizon ini. Ia tidak hanya mendokumentasikan praktik birokrasi, tetapi
juga merefleksikan makna filosofis keterbukaan informasi dalam pelayanan
kesehatan. RSUD Provinsi NTB dijadikan contoh bagaimana transparansi, inovasi,
dan partisipasi dapat dirajut dalam satu tarikan napas pelayanan publik.
Fondasi
Kepercayaan
“Kepercayaan
adalah mekanisme untuk mengurangi kompleksitas.” – Niklas Luhmann.
Secara filosofis,
kepercayaan (trust) adalah kategori yang mendahului tindakan sosial. Niklas
Luhmann menyebut kepercayaan sebagai mekanisme yang mengurangi kompleksitas
dalam interaksi manusia.
Tanpa kepercayaan,
setiap hubungan sosial akan lumpuh karena manusia selalu dibayangi kecurigaan.
Dalam konteks pelayanan publik, keterbukaan informasi berfungsi membangun dan
memelihara kepercayaan tersebut.
Sebagaimana
dipaparkan Herman Mahaputera, RSUD Provinsi NTB menyadari bahwa pasien bukan
sekadar objek layanan medis, tetapi juga subjek moral yang berhak tahu. Dengan
menghadirkan layanan informasi terbuka, termasuk melalui program “Halo RSUDP
NTB”, rumah sakit ini menegaskan bahwa pelayanan kesehatan bukan hanya soal
menyembuhkan tubuh, melainkan juga merawat kepercayaan masyarakat.
Dengan kata lain,
keterbukaan informasi publik adalah tindakan etis yang menghidupkan kembali
kontrak sosial antara masyarakat dan birokrasi. Tanpa transparansi, partisipasi
publik mustahil lahir. Sebab, partisipasi hanya tumbuh jika masyarakat percaya
bahwa institusi hadir untuk mereka, bukan sekadar menjalankan prosedur
administratif.
Tanggung Jawab
Moral dalam Birokrasi
“Bertindaklah
sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan manusia sebagai tujuan, bukan
sarana.” – Immanuel Kant.
Filsafat etika,
khususnya yang digagas oleh Immanuel Kant, menekankan kewajiban moral untuk
memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri (end in itself),
bukan sekadar sarana. Dalam kerangka ini, keterbukaan informasi publik menjadi
bentuk penghormatan terhadap martabat manusia.
Pejabat publik
yang menyembunyikan informasi sesungguhnya memperlakukan masyarakat sebagai
objek pasif. Sebaliknya, pejabat yang membuka informasi sedang menegakkan
prinsip Kantian bahwa setiap individu memiliki kapasitas rasional untuk menilai
dan memutuskan.
RSUD Provinsi NTB
dengan sistem PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) yang
terorganisasi memberi contoh bagaimana tanggung jawab moral dapat melekat dalam
struktur birokrasi.
Keterbukaan di
sini bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan panggilan etis. Ia meneguhkan
bahwa birokrasi bukanlah menara gading yang memisahkan diri dari masyarakat,
tetapi ruang dialog tempat kebenaran dan keadilan dipertaruhkan setiap hari.
Teknologi sebagai
Medium Etis
“Teknologi bukan
sekadar alat, melainkan cara menyingkap dunia.” – Martin Heidegger.
Filsuf Martin
Heidegger pernah menegaskan bahwa teknologi bukan sekadar alat, melainkan cara
manusia memahami dan menata dunia. Dalam konteks keterbukaan informasi publik,
teknologi digital dapat berfungsi ganda: sebagai sarana efisiensi sekaligus
medium etis yang memperpendek jarak antara birokrasi dan publik.
RSUD Provinsi NTB
menunjukkan sisi etis teknologi melalui layanan berbasis digital yang
memudahkan akses informasi medis, kebijakan rumah sakit, dan inovasi pelayanan.
Teknologi di sini tidak mengasingkan, melainkan mendekatkan. Ia memungkinkan
pasien, keluarga, bahkan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, untuk
memperoleh informasi yang sama.
Secara filosofis,
penggunaan teknologi untuk keterbukaan informasi mengandung makna demokratisasi
pengetahuan. Informasi yang sebelumnya terkungkung dalam ruang birokrasi kini
menjadi milik publik. Dengan begitu, teknologi menjadi jembatan solidaritas antara
negara dan warganya.
Transparansi
sebagai Jalan Menuju Good Governance
“Pemerintahan yang
baik lahir dari keterbukaan, bukan kerahasiaan.” – Mahatma Gandhi.
Dalam literatur
filsafat politik kontemporer, konsep good governance memuat tiga pilar utama:
transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Transparansi berfungsi sebagai
syarat pertama agar dua pilar lainnya bisa berjalan. Tanpa transparansi,
akuntabilitas hanyalah retorika, dan partisipasi hanya menjadi formalitas.
RSUD Provinsi NTB
berhasil membuktikan bahwa good governance bukan sekadar jargon, melainkan
realitas yang bisa diwujudkan. Dengan meraih penghargaan dari Komisi Informasi
Provinsi NTB, RSUD menunjukkan bahwa praktik keterbukaan informasi yang mereka
bangun diakui secara objektif. Lebih dari itu, masyarakat merasakan langsung
manfaatnya: akses layanan kesehatan menjadi lebih cepat, jelas, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam refleksi
filosofis, good governance bukan sekadar tata kelola, melainkan bentuk praksis
etika politik. Ia adalah cara negara menegakkan keadilan dengan memberikan
ruang kepada masyarakat untuk melihat, menilai, dan bahkan mengoreksi jalannya
birokrasi.
Inspirasi
Filosofis bagi OPD Lain
“Teladan lebih
kuat dari seribu peraturan.” – Aristotle.
Diskusi buku yang
menghadirkan peserta dari kabupaten/kota se-Pulau Lombok, serta perwakilan
Kominfo, Dinsos, Diknas, Dinas Kesehatan, dan Ombudsman, menjadi forum
filosofis yang penting.
Forum ini bukan
hanya sarana berbagi pengalaman teknis, tetapi juga ruang perenungan kolektif:
apakah setiap OPD telah menunaikan tanggung jawab moralnya untuk terbuka kepada
masyarakat?
Sebagaimana
ditegaskan Yudi Darmadi, RSUD Provinsi NTB menjadi model, tetapi sekaligus
cermin. Ia memperlihatkan bahwa keterbukaan bisa dilakukan, meski dengan segala
keterbatasan birokrasi daerah.
Dengan demikian,
keberhasilan ini harus dipandang sebagai undangan filosofis bagi OPD lain untuk
merefleksikan praktiknya sendiri: sejauh mana mereka berani membuka diri,
menerima kritik, dan melibatkan masyarakat dalam proses pelayanan.
Keterbukaan
sebagai Kebajikan Publik
“Kejujuran adalah
bab pertama dari buku kebijaksanaan.” – Thomas Jefferson.
Buku “RSUD
Provinsi NTB: Model Sukses Badan Publik Informatif” memberikan pelajaran
penting bahwa keterbukaan informasi publik bukan sekadar kewajiban legal,
melainkan kebajikan publik (public virtue). Dalam perspektif filsafat,
keterbukaan adalah wajah kejujuran birokrasi, kepercayaan adalah buah yang
lahir darinya, dan partisipasi masyarakat adalah tujuan akhirnya.
dr. Jack, nickname
Herman Mahaputera, menyadari bahwa dengan keterbukaan, birokrasi tidak lagi
menjadi struktur dingin yang penuh prosedur, melainkan ruang moral di mana
martabat manusia dihargai.
Dengan
keterbukaan, teknologi tidak menjadi instrumen alienasi, tetapi jembatan
solidaritas. Dengan keterbukaan, pemerintahan yang baik dan bersih (good
governance and clean government) tidak lagi menjadi slogan kosong, melainkan
realitas yang dapat dirasakan.
RSUD Provinsi NTB
telah memberi teladan. Tugas kita adalah mereplikasi, memperluas, dan
memperdalam teladan itu, sehingga keterbukaan informasi publik benar-benar
menjadi budaya birokrasi Indonesia. Pada akhirnya, keterbukaan adalah jalan
menuju kepercayaan, dan kepercayaan adalah fondasi dari peradaban politik yang
sehat.
#Akuair-Ampenan,
18-09-2025
