----------
Rabu, 10 September 2025
Kisah Menarik
Menyikapi Perbedaan Pendapat tentang Maulid Nabi
MAKASSAR, (PEDOMAN
KARYA). Ada yang menganggap acara peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW atau peringatan hari kelahiran Rasulullah SAW, sebagai
bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah SAW.
Ada pula yang
berpendapat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai sesuatu yang
diada-adakan dan masuk dalam kategori bid’ah, karena tidak ada tuntunannya,
tidak pernah diadakan pada zaman Nabi, tidak pernah diadakan pada masa
Khulafaur Rasyidin, dan juga tidak pernah diadakan pada masa tabi’in, dan
tabi’ut tabi'in.
“Empat imam mahzab
pun tidak ada yang merayakannya, mulai dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, sampai Imam Ahmad bin Hambal,” kata Anggota Komisi Kominfo Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulsel, Asnawin Aminuddin, saat membawakan
ceramah kultum dhuhur, di Masjid Subulussalam Al-Khoory Kampus Unismuh
Makassar, Selasa, 09 September 2025.
Mengenai bagaimana
menghadapi atau menyikapi perbedaan pendapat, Asnawin yang juga Wakil Ketua
Majelis Tabligh Muhammadiyah Sulsel, menceritakan sebuah kisah menarik yang
sangat baik untuk dijadikan contoh.
Kisah tersebut
adalah kisah perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Syafi’i. Imam Malik
adalah guru dari Imam Syafi’i. Imam Malik wafat pada tahun 179 Hijriyah,
sedangkan Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H.
“Suatu hari, Imam
Malik menyampaikan bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah. Rezeki bisa datang
tanpa sebab, dan manusia cukup bertawakkal dengan benar, lalu Allah akan
memberinya rezeki. Imam Malik mengatakan, lakukan yang menjadi bagianmu,
selanjutnya biarkan Allah mengurus yang lainnya,” tutur Asnawin.
Bukan tanpa
landasan, pendapat Imam Malik tersebut berdasarkan hadits Rasulullah, “Andai
kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Allah akan
berikan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung
yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad).
Namun ternyata
Imam Syafi’i, sang murid, memiliki pendapat lain. Menurutnya, seandainya burung
tersebut tidak keluar dari sangkar, niscaya ia tidak akan mendapat rezeki.
Menurut Imam
Syafi’i, untuk mendapat rezeki, dibutuhkan usaha dan kerja keras. Ia
mengatakan, rezeki tidak datang sendiri, tapi harus dicari.
Imam Syafi’i
mengatakan, seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana
mungkin ia akan mendapatkan rezeki?
Keduanya tetap
pada pendapat masing-masing, tapi tak nampak rasa kesal dan benci satu sama
lain karena perbedaan pandangan tersebut.
“Suatu hari, Imam
Syafi’i berjalan-jalan. Ia melihat sekelompok orang tengah memanen buah anggur.
Tanpa diminta, Imam Syafi’i berinisiatif membantu mereka. Setelah selesai, ia
diberikan beberapa ikat anggur sebagai imbalan,” lanjut Asnawin.
Kejadian ini
mengingatkan Imam Syafi’i tentang pendapatnya seputar rezeki. Pendapatnya
terbukti dengan dirinya yang berinisitif membantu sekelompok orang tadi. Jika
ia tidak berusaha membantu, tentu ia tidak akan mendapat beberapa ikat anggur.
Imam Syafi’i
senang bukan main. Ia lantas bergegas menemui sang guru. Hendak membenarkan
pendapatnya tersebut.
Kemudian
dijumpainya Imam Malik yang tengah duduk santai. Sambil menaruh seluruh anggur
yang didapatnya, ia menceritakan kisahnya barusan. Dan keduanya pun makan
anggur bersama-sama.
Sambil makan
anggur, Imam Safi’i mengatakan, “Seandainya saya tidak keluar pondok dan
melakukan sesuatu, tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan
saya.”
“Mendengar ujaran
tersebut, Imam Malik hanya tersenyum. Ia kemudian menimpali, ‘seharian ini aku
tidak keluar pondok dan hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit
membayangkan alangkah nikmatnya jika di hari yang panas ini, aku bisa menikmati
anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawa anggur untukku. Bukankah ini
juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab? Keduanya pun lantas tertawa
bersama,” kisah Asnawin yang membuat jamaah ikut tersenyum.
Di akhir
kultumnya, Asnawin mengatakan, kita boleh berbeda pendapat, termasuk tentang
hukum peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tetapi perbedaan pendapat itu jangan
membuat kita berselisih atau bermusuhan.
“Kalau kita
berbeda pendapat, tidak ada masalah, kita tetap makan dan minum bersama
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i,” kata Asnawin
sambil tersenyum. (zak)
