![]() |
| Berkaryalah jangan ditunda sekalipun, tak sempurna biar ia mengalir apa adanya menjadi wujud pengabdianmu. - Maman A. Majid Binfas - |
-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 25 September 2025
OPINI
Presiden,
Otokritik Apapun
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Hampir sebagiann besar para ilmuwan,
menyepakati makna dari otokritik sebagai kemampuan untuk melakukan penilaian
diri secara objektif. Kemampuan yang melibatkan proses refleksi dan analisis
diri terhadap tindakan, baik berupa keputusan atau karya yang dihasilkan untuk
mencapai pemahaman yang lebih baik dengan perbaikan maksimal.
Dalam konteks seni, otokritik bisa
diartikan sebagai penilaian terhadap unsur-unsur estetis dalam suatu karya
untuk mencapai kualitas bentuk yang optimal. Sementara itu, dalam konteks
psikologi, Sigmund Freud (1890) menganggap kritik sebagai upaya untuk mengubah
ketidaksadaran menjadi kesadaran, yang merupakan dasar dari
psikoanalisis.
Psikoanalisis adalah teori psikologis
dan metode terapi yang berfokus pada pemahaman alam bawah sadar dan pengaruhnya
terhadap perilaku manusia, baik secara sadar maupun tidak sadar. Tujuannya
untuk menggiring ingatan dan emosi yang tertekan ke permukaan, sehingga
seseorang dapat mengatasi masalah psikologisnya dengan lebih baik. Teori
ini digunakan sebagai metode penelitian sistematis untuk mempelajari perilaku
dan pikiran manusia.
Temasuk, otokritik juga bemuara kepada
kemampuan untuk mengkritik diri sendiri secara objektif, mengakui
ketidaksempurnaan, dan memiliki niat untuk berubah menjadi pribadi manusia yang
lebih baik guna membuang moral kebinatangan.
Jiwa / karakter manusia menurut Al-Ghazali
di dalam kitab Ihya' Ulumuddin (t.th) diperkirakan tahun 489 H/1095
M, menjelaskan bahwa manusia memiliki jiwa yang kompleks dengan tiga komponen
utama.
Jiwa Rasional (Nafs al-Natiqah) yang
bertanggung jawab atas kecerdasan, Jiwa Hewani (Nafs
al-Hayawaniyah) yang berkaitan dengan emosi dan nafsu, dan Jiwa
Jasmani/Plant (Nafs al-Nabatiyah) yang mengatur fungsi tubuh dasar.
Hati berfungsi sebagai “raja” yang
mengatur akal dan nafsu, dengan akal sebagai “perdana menteri” untuk memahami
kebenaran dan nafsu yang mengarah pada kesenangan duniawi. Sifat manusia
ditentukan oleh kualitas hatinya; hati yang baik menghasilkan perilaku baik,
sementara hati yang buruk mengarah pada kehancuran menjadi perpaduan berjiwa
keblisan dan hewani.
Jiwa hewani adalah sumber konflik
internal, karena ia selalu bersaing dengan jiwa rasional (jiwa manusiawi).
Kesehatan mental dan spiritual bergantung pada kemampuan jiwa rasional untuk
mengendalikan dan mengarahkan jiwa hewani menuju moralis untuk mengabdi dengan
Lillahi Ta'ala sehingga tidak berjiwa kebabian.
Jiwa Bah Bermoral Babian
Sub bagian goresan berikut ini, awalnya
berjudul “Presiden, Demokrasi ala Moral Babi”. Kemudian, saya kirim ke media Pedoman
Karya, dan direspon dengan saran santun oleh Ustadz Asnawin Aminuddin /
pimpinan redaksinya dengan komentar japrian:
“Afwan, sepertinya judulnya terlalu peka,
sebaiknya jangan pakai kata Babi.” Saya balas: “Oh gitu, ustadz”. Selanjutnya,
beliau balas lagi: “Iye', tidak nyaman ki...”. Saya balas: “Ok, saya pikirkan
lagi judulnya, terimakasih.”
Kemudian, saya kirim goresan
tersebut kepada koordinator media lintas nusantara “C. dr. Nursalim” untuk
mengetahui juga tanggapannya, lebih kurang pkl. 21:50, 4/9/2025. beliau
berkometar singkat ' Keras ', lalu saya balas : memang agak keras untuk suasana
sekarang.
Selanjutnya, beliau komentar “Bukan takut
tapi resikonya”, dan saya balas “ok, dimaklumi, syukron.
Dan akhirnya, saya menghargai kesantunan
dari saran tersebut, dengan mengubah judulnya menjadi “Presiden, Demokrasi ala
Hewan” termasuk, diksi bagian kesimpulan diselaraskan dengan judulnya.
Tujuan saya, tidak lain hanya berdiologis
tentang pengaruh psikologis akan perilaku sehingga diharamkan mengkonsumsi
daging babi di dalam agama Islam. Sebagaimana, dialogis cerdas Muhammad Abduh
dengan ilmuwan Perancis.
Di mana, “Ketika Muhammad Abduh berada di
Perancis, ada beberapa ilmuwan di sana mengajak diologis dengan mengajukan
pertanyaan menggelitik dan membingungkan mengenai keharaman daging babi.
“Kalian umat Islam mengatakan bahwa babi
haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba dan
bakteri-bakteri lainnya. Hal itu, sekarang ini sudah tidak ada. Babi diternak
dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi
yang mencukupi. Bagaimana mungkin, babi-babi itu terjangkit cacing pita atau
bakteri dan mikroba lainnya?”
Sebagai ulama yang cerdas dan tawadhu,
Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecedasannya,
beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam
betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina.
Mengetahui hal itu, mereka bertanya: “Untuk
apa semua ini?”
“Penuhi apa yang saya minta, maka akan
saya perlihatkan suatu rahasia.”
Mereka memenuhi apa yang beliau pinta.
Kemudian beliau memerintahkan mengurung secara terpisah antara yang betina
dengan jantan selama kurang lebih sepekan. Setelah itu, menyuruhnya untuk
menggabungkan dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu
kandang.
Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling
membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu
dari keduanya hampir tewas.
Kemudian, beliau lagi menyuruh mereka
untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini
mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama
jantan untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga
diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya...”
Akhirnya, goresan dimaksud, termuat di
Pedoman Karya (2025/09) dengan topik. Presiden, Demokrasi ala Hewan.
Kemudian, ada lagi goresan saya bertopik “Presiden
Prabowo, Kesurupan Bernegara”, di media MabessneW. TNI-POLRI dan Pedoman Karya
(9/9/2025).
Muncul beragam yang mengomentari dan
mendanggapi goresan tersebut, baik bersifat Argumen Logis (ArLog) maupun
berindikasikan kepada Apologistik Bersifat Argumentatif Hasutan (Abah).
Di Group Whatsapp Tamadun antar
Bangsa di antaranya, Dr Abidin Pamu: "Mantap komennya Sahabatku Dr.Maman.
Sastrawan dan Budayawan menyatu dalam nama yg bernama "Maman".
Kemudian, saya balas "Waduh, bila senior telah berkoment demikian, saya
manut aje, terimakasih".
Ada beragam komentar yang bersifat ala
tendensius, sekalipun tak logis di tautan Facebook, di antaranya;
"Penulisnya juga kesurupan membela yang dicopot." Saya menanggapi;
maksudnya, dari sudut mananya?. dia balas "baca ulang tulisanta ha ...".
Kemudian, Saya balas dengan terpaksa menekan durasi agak berkesan logis;
“Kalau dari esensinya, belum telalu
maksimal dengan itu saja, mungkin ada tambahan idenya untuk saya goresan lagi,
kira2 dari sudut apanya lagi ?" tanpa dibalas, kemudian muncul komentar
dari temannya, "husss keras itu Dinda, narasi ta".
Jadi, apapun bentuk otokritik yang muncul
dari hasil karya kita, tidak mesti ditanggapi dengan menguras gizi energi, baik
kritikal yang bersifat arlog maupun abah an sich and desperate doang tak
karuan.
Bahkan dengan munculnya otokritik beragam,
justru akan semakin bening nan benderang kelogisan kita di dalam menempa karya
goresan apa pun sebagai wujud berkifayahan.
Diksi "kifayah" boleh diartikan
"kecukupan" dan secara istilah merujuk pada fardhu kifayah, yaitu
kewajiban kolektif dalam Islam yang akan gugur bagi seluruh umat Muslim, jika
sudah dilaksanakan oleh sebagian dari kaum atau umat muslimin.
Berkifayahan dalam Berkarya
Kalau tak mampu bersaing dengan sehat,
baik di dalam berkarya atau berikhtiar kifayah tak serupa
Logisnya. adalah bersabar untuk memahami
akan kadar kualitas diri yang diridhai Tuhan.
Bukan memaksakan diri sehingga menggerutu
akan kelebihan orang lain. Bila demikian, alur kadar logikanya, tentu mustahil
tak berdampak hingga berpenyakitan kedengkian yang berangkulan dalam dimensi
super kedunguan tulen.
Dimensi logika demikian, tentu tanpa bisa
dibendung lagi hingga mautan kematian mendadak pun mesti diterima pula.
Hidup yang logis dan eloknya, adalah
saling memahami kadar kualitas diri masing-masing, sehingga diberkahi oleh
Tuhan hingga yaumul akhir pun tetap akan berseri kepada husnul khotimah yang
mesti diaamiinkan.
Maka, barkaryalah dengan berkifayahan yang
logis tanpa berkesudahan, demi pengabdian yang Lillahi ta'ala mesti
dikedepankan sehingga mengalir alami.
Diberkahi Mengalir Alami
Elok dan indahnya kehidupan ini, adalah
mengalir alami dan menghindari diri dari arogansi di dalam menyuburkan
kesombongan.
Nikmati saja apa adanya yang diberkahi,
tidak mesti berlebihan.
Manakala, mau bersalaman dengan kesuburan
dan keberkahan dari QS Al_A'raf:56 yang berarti;
"Sesungguhnya rahmat Allah sangat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik".
Bila ada kelebihan, sebaiknya berbagi guna
saling membagi kebahagiaan antara satu sama lain dengan baik agar mengalir
alami.
Bukan sebaliknya, dipamerin yang justru
akan berdampak buruk kepada diri dan keluarga.
Apalagi, bagian diarogansikan bukan dari
hasil keringat yang diberkahi, tetapi atas kelihaian bersilumamisasi di dalam
bergaronisasi hak orang lain.
Manaka demikian, maka tidak terlalu keliru
bila orang lain pun, mungkin akan mengotokritik dengan logika kedunguan, namun
bagi yang warasan memang tak mesti membalas dengan perilaku logika demikian
pula. Apalagi, dibiaskan kepada "Dasar Dunguan" pula.
Orang yang terjangkiti saraf otak akut
dunguan, memang sulit disiumankan akan kemajnunannya, biar puluhan tahun pun
diterapi secara masif tetap saja akutan. Bahkan orang yang waras menjenguknya,
dibilangin tak waras pula !
Dasar kedunguan akutan, kita mesti
memahaminya dengan logika super bening kesabaran, baik secara pikiran maupun
batin.
Bening
Bening batin, itu kosong dari noda
gulitaan apapun
Hening pikiran, itu kosong dari noda
gulitaan apapun
Bening dan hening, yakni tidak berpaling,
di antaranya dari QS Al-An'am : 108 yang berarti;
“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan
penglihatan mereka kepada kebatilan, ... dan Kami biarkan mereka bingung dalam
kesesatan karena keengganan mereka mengikuti petunjuk.”
Selanjutnya di dalam QS Al-An'am: 110 yang
berarti;
" ... Kami akan memalingkan hati dan
penglihatan mereka, seperti pertama kali mereka tidak beriman kepadanya
(Al-Qur’an) serta Kami membiarkan mereka bingung dalam kesesatan"
Maka, agar tetap meyakini pesan otokritik
ayat di atas, sebaiknya kita berkarya dengan lillah, sekalipun bersifat
otokritik apa pun bentuknya dimunculkan.
Berkaryalah Dengan Lillah
Bila idemu telah ada jangan ditunda,
bergegaslah untuk menggores apa adanya. Biar pada secarik sobekan kertas
bungkus rokok agar tak terlupakan.
Sekalipun, tak sempurna, namun tangkap
titisan secuil gagasan sebagai ilham anugerah dari Tuhan. Jangan biarkan
potongan diksi mengalir dengan percuma tanpa berkesan.
Biar suratan akan bersuara alami, tak usah
dirisaukan tapak akan merona atau ecekan diakumulasikan menanti dikemudian. Itu
soal lain, bukan menjadi harapan akan pujian atau makian
Terpenting, berkarya dengan cahaya akar
dari kebenaran lillahi Ta'ala, sebagai wujud pengabdian tulen hanya kepada
Tuhan.
Berkaryalah jangan ditunda sekalipun, tak
sempurna biar ia mengalir apa adanya menjadi wujud pengabdianmu
Jadi, otokritik sesungguhnya, adalah obat
pengabdian sebagai wujud kemampuan sesorang untuk mengkritik diri sendiri
secara objektif, mengakui ketidaksempurnaan dirinya.
Termasuk, ada niat untuk siumam guna
berubah menjadi pribadi manusia yang lebih baik guna membuang moral
kebinatangan. Apalagi, di saat menggenggam amanah ubun-ubun publik secara
meluas, tidak terkecuali yang dialamatkan kepada Presiden atau yang lainnya
berkaĺam. _Wallahualam.
