Benih Perdamaian Sekolah Pedalangan Wayang Sasak

Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, tampil di Korea Selatan dalam dua agenda besar kebudayaan internasional yang digagas oleh The Center for Intangible Culture Studies (CICS), pada 22-24 September 2025. (ist)

 

----

PEDOMAN KARYA

Senin, 06 Oktober 2025

 

Benih Perdamaian Sekolah Pedalangan Wayang Sasak

 

Catatan Agus K Saputra

 

Dunia tengah bergejolak. Konflik, perang, dan perpecahan mewarnai banyak belahan bumi. Di tengah situasi global yang penuh ketegangan itu, Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, hadir membawa pesan damai melalui kesenian tradisional yang sarat nilai spiritual dan kemanusiaan.

Melalui pertunjukan bertajuk: “Benih Perdamaian dari Timur”, SPWS diundang untuk tampil di Korea Selatan dalam dua agenda besar kebudayaan internasional yang digagas oleh The Center for Intangible Culture Studies (CICS), pada 22-24 September 2025.

Pertunjukan ini mengisahkan tokoh legendaris dari jagat pewayangan Sasak, Raden Jayengrane, yang merasa gundah menyaksikan dunia yang kian terpecah dan kehilangan arah. Dalam kebijaksanaannya, Jayengrane mengutus Raden Umar Maye untuk mencari obat bagi perdamaian dunia.

Umar Maye, dengan membawa Kembang Dangar—simbol kasih dan ketulusan—melakukan perjalanan suci menuju negeri jauh untuk mencari pasangan bunga yang dapat menyembuhkan luka bumi.

Perjalanan itu membawanya ke sebuah bukit sakral di Korea, tempat ia bertemu Raja Dangun—tokoh mitologis Korea yang dikenal sebagai pendiri bangsa dan simbol kebijaksanaan.

Pertemuan dua tokoh lintas budaya ini menjadi momen simbolis: penyatuan Kembang Dangar dari Lombok dengan Mugunghwa (bunga nasional Korea) menjadi Bibit Bunga Perdamaian.

Dari sinilah benih kesembuhan bumi lahir, dan dua tokoh wayang botol bernama Wa dan Tol ditugaskan untuk menanam benih itu di setiap hati manusia di seluruh dunia.

Kisah Benih Perdamaian dari Timur bukan sekadar pertunjukan wayang; ia adalah refleksi mendalam tentang nilai-nilai kemanusiaan yang melintasi batas geografis dan budaya. Dalam konteks global yang diwarnai pertikaian dan polarisasi, pesan dari tanah Lombok ini menjadi simbol penting bagaimana kesenian tradisi bisa menjadi sarana diplomasi kebudayaan dan jembatan perdamaian.

SPWS diundang secara khusus oleh CICS dan menjadi salah satu dari tiga lembaga di dunia yang menerima penghargaan bergengsi The Jeonju International Awards for Promoting Intangible Cultural Heritage (JIAPICH) 2025. Ini merupakan pencapaian luar biasa bagi lembaga yang baru berusia satu dekade, sejak berdiri pada tahun 2015.

Sebelumnya, pada tahun 2024, SPWS juga telah meraih penghargaan dari CRIHAP (International Training Center for Intangible Cultural Heritage in the Asia-Pacific Region) atas komitmennya dalam melestarikan seni pedalangan tradisional.

Penghargaan ini bukan hanya bentuk pengakuan internasional terhadap eksistensi Wayang Sasak, tetapi juga bukti bahwa kearifan lokal mampu berbicara di panggung dunia. Wayang Sasak yang selama ini tumbuh dan hidup dalam masyarakat Lombok ternyata memiliki kekuatan naratif universal yang dapat menyentuh hati manusia lintas bangsa.

Nilai-nilai spiritualitas, kebijaksanaan, dan moralitas yang terkandung di dalamnya menegaskan bahwa seni tradisi bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan warisan hidup yang terus beradaptasi dan relevan dengan zaman.

SPWS melihat penghargaan ini sebagai persembahan bagi para pendahulu—para dalang senior, maestro, dan pegiat seni pedalangan yang dengan penuh cinta menjaga tradisi Wayang Sasak agar tetap hidup. Mereka adalah penjaga warisan yang tak ternilai, yang dengan kesetiaan dan kerja sunyi menjaga roh kebudayaan tetap menyala.

 

Regenerasi, Harapan, dan Masa Depan Wayang Sasak

 

Keberangkatan tim SPWS ke Korea membawa semangat baru bagi dunia pedalangan di Lombok. Tim tersebut terdiri atas lima sosok penting: Fitri Rachmawati (penggagas sekaligus pendiri SPWS), Abdul Latief Apriaman (Ketua Yayasan Pedalangan Wayang Sasak), H. Safwan (dalang senior dan Kepala SPWS), serta dua anggota tim kreatif, Wahyu Kurnia dan Alamsyah.

Mereka adalah representasi lintas generasi—dari pendiri hingga pelaku muda—yang bahu-membahu menjaga kesinambungan tradisi.

Dalam pandangan Fitri Rachmawati, penghargaan ini adalah kabar baik bagi semua pihak yang telah berjuang melestarikan Wayang Sasak. Ia adalah simbol harapan bahwa seni tradisi tidak akan tenggelam oleh arus modernitas, tetapi justru mampu berdialog dengan dunia global tanpa kehilangan jati dirinya.

Pernyataan itu menggambarkan bahwa tradisi bukan sesuatu yang statis, melainkan ruang kreatif yang terus tumbuh dan menyesuaikan diri dengan tantangan zaman.

Pertunjukan Benih Perdamaian dari Timur adalah bukti nyata bagaimana Wayang Sasak mampu menjadi medium diplomasi kultural yang membawa pesan universal: perdamaian, cinta, dan kesadaran ekologis.

Ketika Kembang Dangar dan Mugunghwa bersatu, ia bukan sekadar kisah simbolik dua bangsa, tetapi juga doa agar manusia di seluruh dunia dapat memelihara keseimbangan, menghormati perbedaan, dan memulihkan luka bumi yang kian dalam.

SPWS telah menunjukkan bahwa kesenian tradisional dapat berperan strategis dalam memperkuat jembatan antarbangsa. Dari Lombok, benih perdamaian itu tumbuh dan kini mekar di Korea—menandai babak baru perjalanan Wayang Sasak menuju panggung dunia.

Dan siapa tahu, dari Timur kecil bernama Lombok inilah, dunia kembali belajar tentang arti sejati kemanusiaan dan cinta kasih yang menembus batas ruang dan waktu.

 

#Akuair-Ampenan, 06-10-2025

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama