-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 05 November
2025
Catatan
Jelang Hari Pahlawan:
Kontroversi Gelar
Pahlawan untuk Soeharto, Antara Dendam dan Rasionalitas Sejarah
Oleh: Usman Lonta
Saya
awali tulisan ini dengan ungkapan yang sangat arif dari kampung saya “matea
antu appakabaji” (kematianlah yang memperbaiki). Memperbaiki hubungan
kekeluargaan, kekerabatan, dan hubungan persahabatan yang pernah tercoreng di
masa lalu.
Ungkapan
ini kerap kali menjadi nasehat kepada orang-orang yang bermental pendendam dan
tidak mau berdamai, meskipun yang bersangkutan menyaksikan kerabatnya,
keluarganya, atau bahkan saudara kandungnya dalam keadaan sakratul maut.
Tradisi
di kampung saya, orang yang bermental pendendam seperti ini berpotensi menjadi
musuh bersama. Ungkapan inilah yang membuka perbincangan tentang kontroversi
mengenai wacana penetapan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Sebagian
masyarakat menyambut ide itu dengan bangga, sementara sebagian lain menolak
keras seolah luka sejarah belum sempat disembuhkan. Perdebatan ini sebenarnya
lebih mencerminkan politik memori dan dendam masa lalu, daripada kepentingan
rasional bangsa hari ini.
Padahal,
jika ditinjau secara objektif dan rasional, pemberian gelar pahlawan tidak
mengganggu jalannya pemerintahan, tidak menurunkan kualitas pelayanan publik,
bahkan tidak mempengaruhi stabilitas politik nasional.
Ia
hanya simbol penghargaan sejarah terhadap sosok yang memiliki peran penting
dalam perjalanan bangsa. Ironisnya, penolakan yang muncul justru menunjukkan
betapa emosi politik masih lebih kuat daripada kearifan sejarah.
Soeharto
adalah figur yang kompleks. Di satu sisi, ia dianggap sebagai pemimpin
pembangunan, stabilisator ekonomi, dan simbol kemajuan nasional pada masanya.
Namun di sisi lain, ia juga dikenang sebagai penguasa otoriter yang membatasi
kebebasan berekspresi, mengekang pers, dan memupuk kekuasaan melalui praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dua sisi itu tidak dapat dihapus satu sama
lain. Keduanya adalah bagian dari realitas sejarah bangsa yang harus diterima
dengan bijaksana.
Menolak
Soeharto hanya karena luka masa lalu tanpa mempertimbangkan jasa strategisnya
bagi stabilitas negara adalah bentuk ketidakarifan politik. Sebab, sejarah
tidak bisa dibaca dengan kacamata kebencian. Ia harus dipahami dengan nalar
kebangsaan.
Banyak
negara lain mampu berdamai dengan masa lalunya tanpa menghapus catatan kelam
tokohnya. Korea Selatan tetap menghormati Park Chung Hee, walau tahu ia juga
seorang diktator. Singapura menyanjung Lee Kuan Yew meski kepemimpinannya keras
dan penuh kontrol. Mereka belajar memisahkan antara rekam jejak manusia yang
tidak sempurna dan jasa besar bagi bangsanya.
Sementara
itu, di Indonesia, banyak perdebatan politik justru tersandera oleh sentimen
masa lalu. Seseorang dinilai bukan karena kapasitas dan pengabdiannya, melainkan
karena afiliasi sejarah atau warna politiknya. Akibatnya, kita sibuk
memperdebatkan masa lampau, tapi lalai mengawasi masa depan.
Seharusnya
energi bangsa diarahkan untuk mengkritisi calon-calon pemimpin baru yang minim
kapasitas, miskin gagasan, namun rakus kekuasaan, bukan untuk memperdebatkan
penghargaan simbolik kepada tokoh yang sudah tiada.
Jika
ada alasan untuk bersikap “kontra” hari ini, mestinya bukan terhadap gelar
pahlawan untuk Soeharto, melainkan terhadap praktik politik yang mengulang
kesalahan masa lalu, yaitu politik dinasti, penyalahgunaan jabatan, dan
pembusukan moral birokrasi.
Itu
yang lebih nyata menghambat kemajuan bangsa, bukan sekadar pengakuan terhadap
tokoh sejarah. Ibarat pengendara mobil, sejatinya kita fokus ke masa depan,
dengan sesekali menengok spion. Jangan fokus ke spion, agar mobil yang namanya
Indonesia ini bisa melaju kencang menggapai harapan.
Soeharto,
seperti juga banyak pemimpin besar dunia, punya catatan kelam. Tetapi, menilai
sejarah tidak bisa hanya dengan kacamata moral hitam-putih. Bangsa besar adalah
bangsa yang mampu berdamai dengan masa lalunya, tanpa harus menafikan kebenaran
atau menutupi luka.
Mengakui
jasa Soeharto bukan berarti melupakan penderitaan rakyat di bawah kekuasaannya.
Itu berarti mengakui bahwa sejarah bangsa ini dibangun oleh berbagai tangan, baik
yang bersih maupun yang berdarah.
Kini,
setelah lebih dari dua dekade reformasi, sudah seharusnya bangsa ini keluar
dari jebakan dendam politik. Penghargaan terhadap Soeharto semestinya dilihat
dalam konteks rekonsiliasi nasional, bukan glorifikasi pribadi. Ia adalah
bagian dari sejarah Indonesia yang tak bisa dihapus, suka atau tidak suka. Dan
sejarah tidak membutuhkan izin dari kebencian.
Karena
itu, menolak penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional semata atas dasar
dendam dan kebencian adalah sikap yang tidak bijaksana. Kita boleh berbeda
pendapat, tetapi kebijaksanaan bangsa menuntut agar perdebatan disandarkan pada
logika sejarah, bukan emosi politik. Justru yang lebih berbahaya adalah ketika
bangsa ini kehilangan kemampuan menilai secara objektif, menolak karena benci,
menerima karena fanatik.
Benarlah
apa yang pernah diungkapkan oleh Buya Hamka, bahwa “sayang dan benci jangan
dijadikan dasar untuk menilai seseorang, karena kedua kata ini akan mengubur
kebijaksanaan, menghilangkan objektifitas dalam diri manusia.”
Sudah
saatnya kita bersikap bijaksana. Biarlah sejarah mencatat jasa dan kesalahan
Soeharto apa adanya. Yang lebih penting, jangan sampai bangsa ini kembali
dikuasai oleh mereka yang ingin menjadi “Soeharto kecil” tanpa kapasitas, tanpa
integritas, dan tanpa kebesaran jiwa. Karena itu, kontra yang sejati bukan pada
masa lalu, tetapi pada ketidakmampuan masa kini.
Saya
tutup dengan ungkapan “lebih baik menyalakan lilin di tengah kegelapan dari
pada meratapi kegelapan“. Wallahu a’lam bishshawab
Sungguminasa,
05 November 2025
