Bertengkar dalam Diam


LULUH. Atun–sapaan akrab Rabihatun–pun sebenarnya tidak tertarik dan tak pernah membayangkan akan menikah dengan Idris Arief, karena dirinya menyadari perbedaan yang cukup mencolok antara dirinya yang kuper dengan Idris yang gaul. Namun karena terus-menerus didekati dan diyakinkan bahwa Idris memang mencintainya sepenuh hati untuk dijadikan sebagai pasangan hidup, akhirnya hati Atun luluh juga.





-----------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 09 Agustus 2015


Bertengkar dalam Diam


(Kisah Mahligai Rumah-tangga Prof Idris Arief dan Prof Rabihatun)


Seorang pemuda jangkung, gagah, berpendidikan, supel, dan tentu saja disenangi oleh banyak wanita, idealnya akan memilih wanita cantik dan supel sebagai pasangan hidupnya. Namun Idris Arief punya pemikiran lain.

Wanita pilihannya memang cantik, tetapi tidak tinggi dan sama sekali bukan wanita gaul. Rabihatun–demikian nama wanita tersebut–malah tergolong wanita kuper alias kurang pergaulan.

Atun–sapaan akrab Rabihatun–pun sebenarnya tidak tertarik dan tak pernah membayangkan akan menikah dengan Idris Arief, karena dirinya menyadari perbedaan yang cukup mencolok antara dirinya yang kuper dengan Idris yang gaul.

Namun karena terus-menerus didekati dan diyakinkan bahwa Idris memang mencintainya sepenuh hati untuk dijadikan sebagai pasangan hidup, akhirnya hati Atun luluh juga.

Kedua sejoli itu pun menikah, hidup bersama selama lebih dari 40 tahun, dan mereka bahagia bersama lima anak dan sejumlah cucu.

Begitulah kisah singkat mahligai rumah-tangga Prof Idris Arief (alm) dengan Prof Rabihatun, yang sama-sama berprofesi sebagai dosen Universitas Negeri Makassar (dulu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan/IKIP Makassar).

Sebagai dosen, mereka berdua pun sama-sama berhasil meraih gelar doktor (gelar akademik tertinggi) dan sama-sama meraih gelar profesor (pangkat tertinggi bagi seorang dosen). Idris Arief bahkan kemudian terpilih sebagai Rektor UNM selama dua periode berturut-turut.

Selain sebagai dosen UNM, keduanya juga mendirikan dan mengelola perguruan tinggi swasta yang diberi nama Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Makassar (STIEM) Bongaya. Perguruan tinggi yang terletak di Jalan Mappaoddang Makassar ini tergolong favorit dan banyak peminatnya dengan jumlah mahasiswa lebih dari 4.000 orang, sebuah angka yang cukup besar untuk ukuran Sekolah Tinggi.

Anak Patuh

Sebagai anak perempuan dan anak pertama dari tujuh bersaudara dari keluarga yang cukup terpandang, Rabihatun sebenarnya bisa meminta diperlakukan lebih istimewa, tetapi wanita kelahiran tahun 1942 ini memilih menjadi anak patuh kepada kedua orangtuanya.

“Saya termasuk anak patuh kepada kedua orangtua,” ungkap Rabihatun, kepada penulis di kediamannya, Rabu, 24 Juni 2015.

Atun tidak protes, bahkan menerima dengan senang hati, ketika sang ayah (Drs H Abdul Rauf, Kepala Sekolah pertama SMA Negeri 2 Makassar, mantan Sekretaris Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Selatan) menyekolahkannya pada SMP Khatolik Rajawali Makassar dan kemudian berlanjut ke SMA Khatolik Rajawali, yang seluruh siswanya adalah perempuan.

“Ayah saya (yang berasal dari Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan) seorang yang sangat taat beribadah dan juga Kepala sekolah di sekolah negeri, tetapi beliau memilih menyekolahkan saya pada sekolah Khatolik, karena waktu itu masih jaman gerombolan dan sekolah Khatolik tergolong bagus,” paparnya.

Atun pun dengan senang hati menerima cara mendidik ibunya yang tidak terlalu memberinya kebebasan untuk bergaul di tengah masyarakat, padahal sang ibu (Hj Kamariah) tergolong wanita berpendidikan, karena sempat belajar pada sekolah Belanda di Makassar ketika itu.

Terbiasa Rapi

Selain menjadi anak patuh, Atun juga terbiasa dengan hal-hal yang rapi, bersih, dan tertib. Dirinya terbiasa rapi, karena ibunya mengajarkan dan memberikan contoh di rumah, dan dirinya menemukan hal yang sama di sekolah, yakni di SMP Khatolik Rajawali dan SMA Khatolik Rajawali.

“Saya belajar di sekolah yang semua siswanya adalah perempuan. Saya terbiasa rapi sejak masih kecil dan itulah juga yang saya bawa dalam rumah-tangga dan saya biasakan pada anak-anak,” kata Rabihatun.

Tinggal di Asrama

Setelah tamat di SMA Khatolik Rajawali Makassar, ia memilih kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang dengan mengambil jurusan Pendidikan Sejarah.

Selama kuliah di Malang, Rabihatun tinggal di asrama. Awalnya ia tinggal di asrama Khatolik, lalu kemudian pindah ke asrama umum.

“Saya tinggal di asrama Khatolik atas rekomendasi dari suster saya di SMA Khatolik Rajawali Makassar. Saya terpaksa pindah ke asrama umum, karena saya selalu meminta izin masuk kamar setiap masuk waktu shalat dan itu dianggap dapat mengganggu anak-anak asrama yang lain yang semuanya beragama Kristen Khatolik,” tuturnya.

Jadi Dosen

Menjadi mahasiswa dan tinggal jauh dari orangtua, tidak membuat Rabihatun seperti burung yang lepas dari sangkarnya. Ia tetaplah seorang wanita yang senang tinggal di asrama jika tidak ada kegiatan di kampus.

Maka aktivitasnya selama kurang lebih lima tahun kuliah di Malang, lebih banyak dihabiskan di kampus dan di asrama. Nyaris tidak pernah ia luangkan waktu untuk bersenang-senang dengan cara jalan-jalan atau berekreasi.

Setelah kuliahnya selesai, ia terangkat jado dosen di IKIP Makassar. Di kampus itulah ia bertemu dan berkenalan dengan Idris Arief yang kebetulan sama-sama mengajar pada Fakultas Keguruan Ilmu-ilmu Sosial (FKIS).

Perkenalan mereka tidak lebih sebagai sesama dosen pada fakultas yang sama. Tidak ada hubungan lebih apalagi hubungan serius.

“Pak Idris itu orangnya tinggi, gagah, dan gaul, sehing-ga banyak perempuan yang suka, tetapi saya biasa-biasa saja, karena saya menganggap Pak Idris tidak cocok untuk saya. Sebagai perempuan, saya tidak ingin calon suami saya itu menjadi milik orang banyak. Saya ingin dia memang hanya untuk saya,” ujar Rabihatun sambil tersenyum.

Menikah

Justru karena sikapnya yang biasa-biasa saja itulah yang membuat Idris Arief tertarik kepadanya, apalagi memang sudah mulai ada beberapa dosen yang sering menggoda dan menjodoh-jodohkan mereka.

Suatu hari, Idris Arief benar-benar menyatakan keinginannya untuk memperisterikan dirinya, tetapi ia tidak langsung menerimanya.

“Saya tanya dia, mengapa memilih saya. Pak Idris bilang, dirinya tertarik kepada saya karena saya berbeda dengan perempuan lain pada umumnya,” ungkap Ibu Atun,  sapaan akrab Rabihatun.

Setelah mendapat “lampu hijau”, Idris Arief pun memberanikan diri datang ke rumah orangtua Atun untuk memperkenalkan diri sekaligus menyatakan keinginannya menyunting sang pujaan hati.

“Meskipun lamarannya sudah diterima, kami tidak pernah jalan berdua. Pernah saya minta izin untuk pergi berdua nonton film di bioskop. Orangtua saya memberi izin, tetapi dengan syarat saya harus membawa dua orang adik saya. Maka kami pun pergi nonton berempat. Setelah itu, tidak pernah lagi kami jalan bersama sampai menikah,” tuturnya lagi-lagi sambil tersenyum.

Tak Pernah Ribut

Pernikahan keduanya berjalan mulus dan mereka pun akhirnya dikaruniai lima anak yang semuanya sudah menikah. Mahligai rumah-tangga mereka bertahan selama lebih dari 40 tahun.

Apakah mereka tidak pernah cekcok? Tentu saja mereka pernah berbeda pendapat, tetapi uniknya–dan ini jarang terjadi dalam kehidupan suami-isteri, mereka sama sekali tidak pernah ribut. Mereka tentu saja pernah bertengkar, tetapi mereka bertengkar dalam diam.

“Kalau kami bertengkar, kami saling diam dan itu pun hanya dalam kamar tidur, jadi anak-anak tidak tahu kalau kami bertengkar,” kata Ibu Atun.

Lalu bagaimana caranya mereka berdamai?

“Kalau saya yang marah, biasanya bapak menggoda saya, karena beliau memang suka bercanda. Kalau saya sudah tersenyum, berarti sudah baik. Kalau Pak Idris yang marah, sa-ya hanya diam. Kalau bapak su-dah tersenyum, itu berarti beliau tidak marah lagi,” ujarnya.

Menghukum Anak

Bagaimana kalau anak-anak melanggar atau berbuat salah? Apakah mereka dipukul atau dimarahi?

“Kalau anak-anak melakukan kesalahan, maka bapak menghukum mereka dengan cara disuruh duduk bersila di ruangan tamu, kemudian bapak masuk kamar untuk tidur. Mereka tidak boleh berdiri, apalagi meninggalkan tempat selama bapak berada di dalam kamar, meskipun mereka mau kencing,” ungkap Ibu Atun.

Pernah juga ada di antara mereka yang sudah tidak tahan ingin kencing, tetapi ayah mereka masih tidur di kamar. Si anak kemudian memelas kepada ibu mereka dan sang ibu memberinya izin.

“Saya bilang pergi saja ken-cing, nanti saya yang bertang-gungjawab. Kalau bapak sudah bangun dan keluar dari kamar, maka bapak akan bertanya, apa-kah anaknya sudah menyadari kesalahannya atau belum. Setelah anaknya mengakui kesalahannya, barulah mereka dibolehkan berdiri,” katanya.

Cinta Sejati

Selain karena kegigihan dan ketulusan hati Idris Arief untuk menikahi dirinya, sebenarnya ada satu alasan lain yang mem-buat Rabihatun merasa mantap menerima cinta Idris Arief.

“Waktu itu saya tanya ke Pak Idris, apa yang bisa memisahkan kita? Beliau bilang, linggis. Maksudnya linggis yang di-gunakan untuk menggali kuburan. Ternyata memang itulah yang terjadi. Kami berpisah setelah bapak meninggal dunia (di Makassar, pada 22 Juli 2013),” papar Ibu Atun. (asnawin)


------
@copyright Majalah PEDOMAN KARYA, Edisi 1, Vol. I, Juli 2015

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama