Lahir di Bima, Kuliah di Makassar, Berkiprah di Jakarta


PENGELANA. Penulis (kiri) foto bersama Maman A Majid Binfas, saat bertemu pada acara Munas Tarjih Muhammadiyah, di Balai Sidang Muktamar 47 Kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Rabu, 24 Januari 2018. (dok. pribadi)






--------
PEDOMAN KARYA

Rabu, 24 Januari 2018


Maman A Majid Binfas:

Lahir di Bima, Kuliah di Makassar, Berkiprah di Jakarta


            Namanya Maman A Majid Binfas. Dia seorang pengelana yang sebenar-benarnya pengelana. Ia telah berkelana ribuan kilometer dari Bima menuju Makassar, dan kemudian “terdampar” di Jakarta.
Maman lahir di sebuah desa yang bernama Desa Doridungga, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 1 Januari l969. Setelah menamatkan sekolah lanjutan atas, ia berkelana mencari ilmu dan menantang kerasnya kehidupan di Kota Daeng, julukan Kota Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.
Menimba ilmu Sastra Indonesia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, tidaklah cukup bagi seorang Maman A Majid Binfas.
Karena itulah, ia juga aktif menempa dirinya pada organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Tidak tanggung-tanggung, Maman akhirnya menceburkan dirinya menjadi pengurus inti Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IMM Sulsel dan kemudian menerima tantangan sebagai Ketua Korps Instruktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IMM.
Saat berkelana dan menimba ilmu di Kota Makassar itulah, kami berkenalan, karena kebetulan kami sama-sama kader IMM. Puncak keakraban saya dan Maman terjadi saat melakukan perjalanan darat dari Makassar ke Kendari melalui Pelabuhan Bajoe Bone, sekitar tahun 1995.
Maman berangkat sebagai Pengurus IMM Sulsel untuk menghadiri Muktamar VIII IMM, dan saya berangkat sebagai wartawan Harian Pedoman Rakyat. Tentu saja banyak pengalaman menarik selama perjalanan pergi dan pulang, serta selama berada di Kendari.
Tidak puas dengan ilmu dan pengalaman yang diperoleh selama beberapa tahun di Kota Makassar, Maman kemudian memantapkan langkah berkelana ke Ibukota Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Di Jakarta, darah seniman yang mengalir di tubuhnya mengantarkan ia bertemu, belajar, serta berteman dengan para seniman, dan akhirnya menjadi bagian dari para seniman dan budayawan yang kerap tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Pengelanaannya tidak cukup sampai di situ. Maman tidak puas kalau seluruh bakat, kemampuan, dan ilmu yang dimilikinya hanya untuk dinikmati sendiri.
Maka ia pun membagi-bagikan ilmu dan pengalamannya dalam bentuk buku (kumpulan puisi, dan lain-lain), dalam bentuk pertunjukan drama, serta dalam bentuk ceramah dan mengajar sebagai dosen.
Gelar doktor yang disandangnya sudah cukup untuk tidak meragukan kemampuannya sebagai seorang dosen. Kiprahnya sebagai pengajar di perguruan tinggi, seniman, dan tentu saja sebagai “aktivis” Muhammadiyah, tentu saja membuat seorang Maman A Majid Binfas telah berada di jalur yang benar alias “on the track” untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada sesama.
Hanya itulah yang saya kenal pada sosok lelaki kelahiran Bima, yang kemudian kuliah di Makassar, dan kini berkiprah di Jakarta.
Tentu saja tidak lengkap, tetapi bayangan dan pengetahuan itulah kira-kira yang melintas di benak saya dan langsung saya tuangkan dalam bentuk artikel profil singkat, setelah bertemu dan foto bersama Maman A Majid Binfas di arena Munas Tarjih Muhammadiyah, di Balai Sidang Muktamar 47 Kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Rabu, 24 Januari 2018.
Selamat atas berbagai karya dan prestasi yang telah saudaraku raih. Saya yakin saudaraku tidak akan pernah berhenti berkelana dan mengembara menimba ilmu untuk berbagi kepada sesama. Insya Allah karya, prestasi, dan pengabdian saudaraku Maman A Majid Binfas akan abadi. (asnawin aminuddin)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama