Langsung Melamar Tanpa Didampingi Keluarga


Di rumah Puang Daeng, Andi Nurlaela keluar membawakan air minum untuk Sahban. Tanpa pikir panjang lagi, Sahban langsung melamar di depan keluarga yang hadir. Hal itu membuat keluarga Andi Nurlaela tercengang tidak menyangka akan ada pernyataan lamaran seperti ini.

 



--------

PEDOMAN KARYA
Ahad, 12 Mei 2019


Biografi Sahban Liba (17):


Langsung Melamar Tanpa Didampingi Keluarga



Penulis: Hernita Sahban Liba


Setelah menghadiri pesta pernikahan temannya, Kolonel Amir Bima, di Makassar, dan berpartisipasi pada tradisi pedang pora bagi tentara militer aktif yang melangsungkan pernikahan, Sahban pun pamit pulang kampung ke Kalosi, Enrekang.

Ia berencana pulang kampung hanya dua hari. Sahban telah rindu dengan kampung halamannya, terlebih kepada ibundanya tersayang yang telah lama ditinggalkan oleh ayahnya. Sang ayah telah meninggal dunia saat Sahban berada dalam pendidikan tahun 1967.

Tentu saja ia disambut dengan penuh suka cita oleh keluarganya, baik oleh dan saudara-saudaranya, maupun oleh keluarganya yang lain. Di tengah suasana penuh suka cita itu, kakaknya, H. Hanafi bertanya kepada Sahban.

“Apa kamu sudah menikah?” tanya Hanafi
“Belum kakak,” jawab Sahban.
“Apa sudah ada rencana dengan seseorang di Jakarta?’ tanya kakaknya lagi.
“Kalau rencana sudah ada. Teman gadis di Jakarta atau di Ujung Pandang memang ada, tapi belum ada yang resmi, semuanya masih sebatas teman,” jawab Sahban.
“Kalau begitu, apa kau setuju dicarikan gadis di Desa Kalosi?” tanya Hanafi.
“Ya! Kalau ada dan cocok silakan saja,” jawab Sahban singkat.
Dengan dasar ini, Sahban diminta untuk mendekati keluarga dari seorang gadis di desa itu yang bernama Andi Nurlaela.

Pagi hari dengan berpakaian loreng Marinir Angkatan Luat, lengkap dengan pistol di pinggang dan baret merah, Sahban langsung ke kantornya Puang Daeng, Paman dari gadis tersebut.

“Assalamualaikum..!” sapa Sahban.
“Wa’alaikummussalam…” jawab Puang Daeng agak kaget melihat kedatangan Sahban yang tidak biasanya.

Ia menyangka kedatangan Sahban untuk meminjam uang, karena kebetulan beliau punya usaha Koperasi Simpan Pinjam (KPR) atas bantuan Bank Rakyat Indonesia (sekarang disebut Bank BRI).

Tanpa banyak basa-basi, Sahban langsung bertanya.
“Apa keponakan Puang Daeng yang bernama Andi Nulalela itu sudah ada yang punya?” tanya Sahban.
“Ya, dulu memang ada, tapi sekarang sudah putus,” jawab Puang Daeng.
“Kalau begitu tolong hubungkan dengan saya, saya rencana mempersunting Andi Nurlaela..!” ungkap Sahban.

Puang Daeng kemudian menyarankan kepada Sahban agar datang ke rumahnya malam itu juga, jam 19.00. Sahban tidak mau membuang waktu lagi, apalagi setelah ibundanya memang selalu mengatakan kalau hanya nama itu yang beliau setujui. Lagipula, kakaknya, H. Hanafi, sudah sangat setuju dengan pilihan tersebut.

Di rumah Puang Daeng, Andi Nurlaela keluar membawakan air minum untuk Sahban. Tanpa pikir panjang lagi, Sahban langsung melamar di depan keluarga yang hadir. Hal itu membuat keluarga Andi Nurlaela tercengang tidak menyangka akan ada pernyataan lamaran seperti ini.

Mereka kaget karena Sahban tidak  didampingi keluarga besar dan tidak pula memberikan penyampaian terlebih dahulu. Hal ini kurang sesuai dengan adat  mammanuk-manuk yang berlaku di daerah tersebut. Idealnya, sesuai adat yang berlaku, kegiatan pelamaran seseorang perempuan mengikuti lima tahap.

Tahap pertama, mattiro (menjadi tamu). Pada tahap ini, calon laki-laki melihat calon perempuan dari jauh untuk membuka jalan (mabbaja laleng). Hal ini dilakukan dengan calon laki-laki datang ke rumah calon perempuan dan menilai kelayakannya. Sahban telah melakukan ini dengan datang ke rumah Andi Nurlela.

Tahap kedua, mappesek-pesek (mencari informasi). Pada tahap ini, wakil dari calon laki-laki, misalnya orangtua atau saudara, mencari informasi yang lebih mendalam mengenai calon perempuan. Sahban sebenarnya telah melalui ini karena informasi tentang Andi Nurlela telah dimiliki oleh ibunya maupun kakaknya.

Tahap ketiga, mammanuk-manuk (penyampaian berita burung atau berita yang belum resmi). Pada tahap ini dibuat kesepakatan dimana pihak laki-laki datang bersama orangtua untuk membicarakan lamaran dengan orangtua dan calon perempuan. Hal inilah yang tidak dilakukan oleh Sahban karena ia hanya datang sendiri.

Tahap keempat, madduta mallino (pengutusan untuk menyampaikan secara terang-terangan). Pada tahap ini akan ada pertemuan dua keluarga besar untuk secara formal menyatakan ketegasan tentang keputusan melamar. Pada tahap ini pula diputuskan apakah lamaran diterima atau tidak.

Tahap kelima, mappasiarekkeng (mengikat dengan kuat). Pada tahap ini dilakukan perjanjian bersama untuk melakukan pernikahan, termasuk penentuan hari, biaya, dan mas kawin.

Pada tahap ini pula diselenggarakan jamuan makanan ringan berupa kue-kue tradisional bagi para tetamu yang hadir. Jumlah variasi makanan ringan mencerminkan status sosial dari mempelai perempuan karena menunjukkan kepandaian dari perempuan tersebut dalam membuat makanan.

Tapi memang itulah yang terjadi, Sahban merasa diburu oleh waktu karena keesokan paginya ia harus pulang kembali ke Jakarta. Setelah lamaran diterima dengan baik, Sahban menyalami keluarga Andi Nurlela. Ia  menitip pesan agar jangan ada orang lain lagi yang melamar gadis itu.

Setelah kembali ke rumah, Sahban melaporkan seluruhnya kepada ibu dan kakaknya yang menyambutnya dengan sangat gembira. Perasaan Sahban telah tenang dan akhirnya kembali ke Jakarta. (bersambung)

Editor: Asnawin Aminuddin

-------
Artikel terkait:

Tentara yang Lanjut Kuliah S1 dan S2

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama