Menikmati Indahnya Perjuangan Hidup dengan Gaji Kecil di Unismuh Makassar


“Kita juga terjun langsung ke lapangan, termasuk pulang kampung, mengajak keluarga dan orang di kampung untuk masuk kuliah di Unismuh. Gaji kecil, tidak ada biaya pulang kampung, dan mempromosikan Unismuh, tapi kami tetap menikmati dan ternyata disitulah indahnya perjuangan.”
- Harto Imayaduddin - 

 



-----------

PEDOMAN KARYA
Jumat, 21 Juni 2019


Harto Imayaduddin, Staf Khusus Rektor Unismuh Bidang Keamanan (2):


Menikmati Indahnya Perjuangan Hidup dengan Gaji Kecil di Unismuh Makassar



Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan Pedoman Karya)


Peristiwa yang hampir sama pernah dialaminya beberapa tahun sebelumnya. Harto yang menamatkan pendidikan dasar dan menengahnya di Dompu, NTB (SD 1 Kari Jawa Dompu, SMP Negeri 1 Dompu, dan SMA Negeri 1 Dompu), pernah mendaftar menjadi tentara saat masih menetap di Dompu dan langsung diterima tanpa tes, tetapi ia kemudian mengundurkan diri karena tidak mendapat restu dari orangtua.

“Waktu itu orangtua saya melarang karena tidak setuju kalau saya ikut dikirim ke Timor Timur (dulu salah satu provinsi di Indonesia, sekarang sudah berdiri sendiri sebagai sebuah negara dengan nama Timor Leste),” kata Harto.

Setelah mengundurkan diri sebagai tentara, ia kemudian “hijrah” ke Makassar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.

“Kakak saya yang bawa ke Makassar, karena kebetulan beliau sudah ada dan menetap di Makassar,” ungkap Harto yang memiliki tinggi badan 172 sentimeter.

-------
Tulisan bagian 1:

Harto Tidak Mendaftar ASN Demi Mengabdi di Unismuh Makassar 

-------


Gaji Rp78 Ribu

Setelah menyelesaikan kuliahnya pada program sarjana (S1) Prodi Kurikulum dan Teknologi Pendidikan (KTP) FKIP Unismuh Makassar, Harto tetap memilih mengabdi sebagai karyawan di Unismuh Makassar, meskipun gajinya sangatlah kecil dibandingkan gaji ASN dan gaji karyawan swasta pada umumnya.

Ada dua alasan yang membuat Harto memilih bertahan dan setia mengabdi di Unismuh Makassar. Pertama karena ia alumni Unismuh Makassar dan kedua karena ia adalah kader tulen Muhammadiyah (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah / IMM), Tapak Suci Putra Muhammadiyah, serta Komando Kesiap-siagaan Angkatan Muda Muhammadiyah / Kokam Pemuda Muhammadiyah).

Hingga pertengahan tahun 90-an, gaji yang terima sebagai karyawan Unismuh masih kurang dari Rp100 ribu per bulan. Secara logika, gaji sekecil itu tidak mungkin cukup untuk biaya hidup satu bulan. Jangankan untuk berumah-tangga dan menghidupi seorang isteri, untuk diri sendiri saja tidak mungkin cukup.

“Ketika saya menikah pada tahun 1996, gaji saya malah masih Rp78.900 per bulan. Istilahnya bukan gaji, melainkan nafkah,” ungkap Harto.

Ia menikah dengan Suriani, perempuan asal Kabupaten Bulukumba, dan telah memberinya tiga orang anak. Suriani juga bekerja sebagai karyawan Unismuh Makassar.

Dengan gaji kecil dan tanpa diberi uang jalan pun, Harto bahkan berani pulang kampung untuk melakukan sosialisasi dan mencari calon mahasiswa baru Unismuh Makassar.

“Kita juga terjun langsung ke lapangan, termasuk pulang kampung, mengajak keluarga dan orang di kampung untuk masuk kuliah di Unismuh. Gaji kecil, tidak ada biaya pulang kampung, dan mempromosikan Unismuh, tapi kami tetap menikmati dan ternyata disitulah indahnya perjuangan,” kata Harto sambil tersenyum. (bersambung)

----------
Baca juga:

Rakhim Nanda, KH Djamaluddin Amien, dan Kebahagiaan 

Rektor Unismuh di Mata Mantan Rektor 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama