Akan Kurombak dan Kuhancurkan Segala Adat Istiadat

I LOLOGADING. Sekarang I Lologading terapung megah menunggu keberangkatannya. Awak bahtera telah lengkap hadir, semua siap sedia patuh diperintah menjalankan kewajiban. Tinggal menunggu Datu Museng yang sedang dalam semedi di rumahnya. Bersama kakek ia memohon kepada Tuhan agar perjalanannya berbuah dan berhasil baik. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)



-------

PEDOMAN KARYA

Senin, 18 Januari 2021

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (3):

 

Akan Kurombak dan Kuhancurkan Segala Adat Istiadat

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

Sejak mufakat telah putus bahwa Datu Museng akan berangkat ke Tanah Suci, maka sejak itu pula kakek Adearangang, sibuk mengurus kayu bakal perahu. Dikumpulkannya ahli pembuat bahtera untuk membangun kenaikan (kapal) cucunya.

Dan beberapa bulan kemudian, bahtera telah selesai dan diberi nama I Lologading. Menyaksikan kenaikan sudah rampung, Datu Museng bertambah gembira. Hasratnya serasa tak tertahan-tahan lagi untuk mengarungi laut sebagai pengabdian pada cahaya hayat yang terus menerus mengganggu kalbunya.

Sementara itu kakeknya makin repot pula. Ia menggeledah negeri mencari bahan kelengkapan bahtera. Makan tak makanlah dalam sehari, tidur tak tidurlah dalam semalam, asalkan usaha berhasil untuk menyenangkan hati sang cucu.

Setelah mustaid sudah kelengkapan I Lologading, segala bekal keperluan sudah tersedia, dicarilah waktu yang baik tak bernahas. Bulan dan bintang dilihat nyata. Hari dan tanggal dihitung seksama. Ketika hari telah baik dan bulan pun terhisab suci, maka diturunkanlah I Lologading ke bandar pelabuhan.

Diiringi empat puluh gadis manis berbaju bodo, dielu-elukan dan disorak-sorai teman sekampung, anak daeng dan anak karaeng.

Sekarang I Lologading terapung megah menunggu keberangkatannya. Awak bahtera telah lengkap hadir, semua siap sedia patuh diperintah menjalankan kewajiban. Tinggal menunggu Datu Museng yang sedang dalam semedi di rumahnya. Bersama kakek ia memohon kepada Tuhan agar perjalanannya berbuah dan berhasil baik.

Asap kemenyan harum setanggih memenuhi ruangan kamar. Keadaan tenang sunyi dalam ruang tempat memuja yang dipuja. Dalam kesunyian itu, tercipta bayangan yang diharap, bayangan Maipa Deapati, cempaka putih tanah Sumbawa, bintang yang tak terlindung cahayanya, berkelip selalu menyinari jiwa Datu Museng.

Kini tercipta bayangan itu, hadir di hadapannya. Datu Museng lalu berbisik, “Maipa-ku, adinda Maipa... Kupinta kepada Tuhan, kau kelak jadi kembang petikanku. Kutanam kupelihara dalam jiwaku, kupupuk kusirami dengan air mata harapan. Aku akan pergi, sayang. Untuk mencari dan menemukanmu.”

Datu Museng melanjutkan, “Lihatlah ke piala hati ini, dindaku. Tak ada riak dan tak ada ombak yang tidak karena dikau. Jika sentana pantai hati ini bukan cadas nan keras, sudah lama gugur berkeping-keping. Jatuh menjadi pasir dan abu, lalu terbang tak berbekas, berberita pun tidak.

“Tapi, dindaku sayang,” lanjut Datu Museng, “kendati keras kuat batu di gunung, ia akhirnya akan tembus oleh air lemah yang jatuh menimpa berulang-ulang. Tembus dindaku, tembus... dan jadilah pasir halus hanyut berlarat-larat, hilang ke laut lepas.”

Datu Museng melanjutkan ucapannya, “Akan demikianlah halnya rasa hati ini dindaku, jika aku selalu menjadi tukang berharap saja. Orang dan adat mengatakan kita tak dapat sejajar barsanding-dua karena kau anak Maggauka, orang yang berkuasa dalam pemerintahan. Dan aku hanya anak gelarang (gallarang, pimpinan daerah kecil) Karaeng Palili. Tidak berkuasa, tidak memegang pemerintahan. Aku rendah dalam derajat dari darah yang mengalir dalam tubuhmu.”

“Tapi ketahuilah adinda,” kata Datu Museng, “tekadku telah bulat. Keyakinanku tak tergoyahkan lagi menghadapi adat usang yang ribut tentang asal darahmu dan darahku yang tak boleh bercampur. Batinku menyangkal itu semua. Aku yakin darah kita semua, dari Adam dan Hawa ciptaan Tuhan, bukan ciptaan manusia.”

Datu Museng mengatakan, “Akan kurombak dan kuhancurkan segala adat istiadat yang berdiri membenteng di antara kita berdua. Semua ciptaan manusia yang palsu itu akan kutenggelamkan ke bawah tanah lapis ke tujuh. Kupinta kepada Tuhan, kurebut kau dari tangan manusia, dari kekuasaan duniawi dan ayahandamu Maggauka.”

Tekad Datu Museng telah membara, “Dengarlah adinda, tak ada benteng yang kukuh, tak ada laskar yang kuat, semua akan hancur jika Tuhan menghendaki. Sekarang aku hanya  melihat bayanganmu, berbicara dengan bayanganmu, karena aku tak dapat menjumpaimu dengan badan kasar dan menengokmu ke istana.”

“Aku tak mampu mengunjungimu di dalam bilik peraduanmu yang dijaga inang setia pengapit yang jujur. Aku tak dapat melakukannya, karena aku masih lemah dalam lahir. Kupanggil kau datang, kusebut namamu, kucipta bayanganmu di hadapanku, agar kau melihatku dan aku melihatmu,” lanjut Datu Museng.

Ia mengatakan, “Kukirimkan rasa rinduku ke dalam hatimu, kuleburkan segala rasa yang terbetik dalam jantungku ke dalam jantungmu. Sebentar lagi aku akan pergi berlayar mencari wujudmu. Akan kucari dinda sampai bersua, hingga kau berada dalam pangkuanku, tidak di pangkuan orang lain. Sekarang kuhembuskan nafasku ke dalam nafasmu,dan kuterima nafasmu ke dalam nafasku, kau dan aku hanya satu... amin!” (bersambung)

---------

Kisah sebelumnya:


1 Komentar

  1. Woow very interesting. Salam rindu buat Verdy R. Bso. Salam sehat. Wassalam.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama