Menyikapi Perbedaan Pendapat tentang Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

MAUDU' LOMPOA. Ini adalah salah satu pemandangan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Cikoang, Kecamatan Mangara'bombang, Kabupaten Takalar, Ahad, 15 November 2020. Acara peringatan maulid ini diberi nama Maudu' Lompoa yang secara harfiah berarti maulid yang besar. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA) 





------

PEDOMAN KARYA

Jumat, 22 Oktober 2021

 

KALAM

 

 

Menyikapi Perbedaan Pendapat tentang Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulsel)

 

Sudah kodratnya manusia berbeda-beda satu sama lain, mulai dari perbedaan warna kulit, perbedaan bahasa, hingga perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut telah disebutkan Allah dalam Surah Al-Hujurat, surah ke-49 dalam Al-Qur’an, ayat ke-13.

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”

Meskipun berbeda, bukan berarti kita harus berselisih, bukan berarti kita harus berperang satu sama lain. Sebaliknya, perbedaan itu seharusnya membuat kita saling kenal, saling akrab, dan saling bergandengan tangan satu sama lain.

Sayangnya, perbedaan itu kerap menonjol, antara lain dalam menafsirkan suatu amalan agama. Salah satu perbedaan yang kita hadapi sebagai sesama umat Islam yaitu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Ada yang menganggap acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW atau peringatan hari kelahiran Rasulullah SAW, sebagai bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah SAW.

Ada pula yang berpendapat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai sesuatu yang diada-adakan dan masuk dalam kategori bid’ah, karena tidak ada tuntunannya, tidak pernah diadakan pada zaman Nabi, tidak pernah diadakan pada masa Khulafaur Rasyidin, dan juga tidak pernah diadakan pada masa tabi’in, dan tabi’ut tabi'in.

Empat imam mahzab pun tidak ada yang merayakannya, mulai dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, sampai Imam Ahmad. Dengan demikian, kalau memang tidak ada dasarnya, mengapa kita mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Maka sejak zaman Rasulullah hingga saat ini, di Arab Saudi, tidak ada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Lalu mengapa di banyak negara, termasuk di Indonesia, banyak orang yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW?

Ini terjadi karena berangkat dari alasan atau pandangan yang berbeda, maka timbullah perbedaan pendapat. Pertanyaannya, bagaimana kita menyikapi perbedaan pendapat itu?

 

Allah berfirman dalam Surah An-Nisa, Surah ke-4 dalam Al-Qur’an, ayat ke-59:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

 

Kalau terjadi perbedaan pendapat, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Carilah dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an. Carilah dalil-dalilnya dalam hadits.

Kalau ternyata tidak ada dalilnya, tidak ada perintahnya, tidak disunnahkan, maka sebaiknya jangan diadakan, tapi kalau tetap mau diadakan dengan alasan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah bentuk kecintaan kepada Rasulullah, maka silakan diadakan.

Jangan karena perbedaan pendapat itu, lalu kita berselisih. Jangan karena perbedaan itu, lalu saling bermusuhan satu sama lain. Jangan karena perbedaan pendapat itu, lalu kita tidak saling menyapa.

Tugas kita hanya menyampaikan atau mengemukakan pendapat sesuai dalil yang kita ketahui dan kita yakini kebenarannya. Kalau ada pendapat lain, silakan saja.

Kalau mau mengadakan acara peringatan Maulid, silakan saja, tapi kita tetap berteman, kita tetap bersahabat, kita tetap bersama-sama shalat berjamaah di masjid, kita tetap bersama-sama dan akrab sebagai tetangga dalam satu kompleks perumahan.

 

Imam Malik dan Imam Syafi’i

 

Mengenai bagaimana menghadapi atau menyikapi perbedaan pendapat, ada satu kisah menarik yang sangat baik untuk kita contoh. Kisah antara Imam Malik dan Imam Syafi’i. Imam Malik adalah guru dari Imam Syafi’i. Imam Malik wafat pada tahun 179 Hijriyah, sedangkan Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H.

Suatu hari, Imam Malik menyampaikan bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah. Rezeki bisa datang tanpa sebab, dan manusia cukup bertawakkal dengan benar, lalu Allah akan memberinya rezeki.

“Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus yang lainnya,” ujar Imam Malik.

Bukan tanpa landasan, pendapat Imam Malik tersebut berdasarkan hadits Rasulullah, “Andai kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Allah akan berikan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad).

Namun ternyata Imam Syafi’i, sang murid, memiliki pendapat lain. Menurutnya, seandainya burung tersebut tidak keluar dari sangkar, niscaya ia tidak akan mendapat rezeki.

Menurut Imam Syafi’i, untuk mendapat rezeki, dibutuhkan usaha dan kerja keras. Ia mengatakan, rezeki tidak datang sendiri, tapi harus dicari.

“Wahai guru, seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki?” demikian sanggahan Imam Syafi’i.

Keduanya tetap pada pendapat masing-masing, tapi tak nampak rasa kesal dan benci satu sama lain karena perbedaan pandangan tersebut.

Pada suatu hari, Imam Syafi’i berjalan-jalan. Ia melihat sekelompok orang tengah memanen buah anggur. Tanpa diminta, Imam Syafi’i berinisiatif membantu mereka. Setelah selesai, ia diberikan beberapa ikat anggur sebagai imbalan.

Kejadian ini mengingatkan Imam Syafi’i tentang pendapatnya seputar rezeki. Pendapatnya terbukti dengan dirinya yang berinisitif membantu sekelompok orang tadi. Jika ia tidak berusaha membantu, tentu ia tidak akan mendapat beberapa ikat anggur.

Imam Syafi’i senang bukan main. Ia lantas bergegas menemui sang guru. Hendak membenarkan pendapatnya tersebut.

Kemudian dijumpainya Imam Malik yang tengah duduk santai. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya, ia menceritakan kisahnya barusan. Dan keduanya pun makan anggur bersama-sama.

Imam Safi’i mengatakan, “Seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu, tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya.”

Mendengar ujaran tersebut, Imam Malik hanya tersenyum. Ia kemudian menimpali, “Seharian ini aku tidak keluar pondok dan hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit membayangkan alangkah nikmatnya jika di hari yang panas ini, aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawa anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab?”

“Cukuplah dengan tawakkal yang benar, niscaya Allah akan memberikan rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya,” tambah Imam Malik sambil tersenyum.

Keduanya lantas tertawa bersama. Masing-masing Imam Malik dan Imam Syafi’i dapat membuktikan pendapatnya.

Jadi kalau kita berbeda pendapat, kita sudah kemukakan pendapat masing-masing, kita sepakat saja untuk tidak sepakat, dan selanjutnya kita ketawa-ketawa saja bersama-sama. Tidak perlu berselisih, tidak perlu bermusuhan. Kita ngopi dan ngobrol sama-sama lagi seperti biasa.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama