Mahrus Andis: Puisi “Pada Sebuah Reuni” Perlu Ditarik ke Ranah Inklusif

Mahrus Andis (kanan) tampil sebagai pembicara pada Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” Karya Aslan Abidin, yang dipandu Ram Prapanca (kiri) sebagai moderator, di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)





----- 

PEDOMAN KARYA

Kamis, 20 Januari 2022

 

Catatan dari Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” (3):

 

 

Mahrus Andis: Puisi “Pada Sebuah Reuni” Perlu Ditarik ke Ranah Inklusif

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan)

 

Menjadi moderator pada sebuah acara diskusi puisi, apalagi dihadiri para pendekar sastra, seniman, cerpenis, budayawan, dan kritikus sastra, tentu bukanlah pekerjaan mudah, karena sang moderator harus mampu memainkan irama diskusi dengan baik sehingga diskusi menjadi hidup dan tidak membosankan.

Dan peran itu mampu dimainkan dengan sangat baik oleh Ram Prapanca pada Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” Karya Aslan Abidin, di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022.

Ram Prapanca atau Dr Asia Ramli Prapanca mampu memimpin, memandu, dan mengendalikan diskusi dengan baik, karena ia juga seorang penyair, pemain drama, dan sutradara, serta menguasai topik yang didiskusikan.

Ia juga mengenal dengan baik pembicara, yakni Mahrus Andis, mengenal dengan baik penulis puisi “Pada Sebuah Reuni”, yakni Aslan Abidin, serta mengenal para peserta diskusi, khususnya yang dari kalangan sastrawan, cerpenis, dan penyair.

Penampilannya saat menjadi moderator juga sangat tidak formal, bahkan terkesan urakan, yakni memakai topi dad hat warna coklat muda, celana jeans warna coklat, sepatu kets, serta baju kaos oblong yang dibungkus jaket yang sengaja tidak dikancing.

Dan hampir setiap kali bicara selalu diiingi dengan senyuman, mulai saat membuka acara hingga saat menutup acara.

Setelah membuka acara diskusi dan memberikan kata pengantar, Ram Prapanca kemudian mempersilakan Mahrus Andis selaku pembicara untuk membahas puisi “Pada Sebuah Reuni” karya Aslan Abidin.

Mahrus Andis mengawali pembicaraannya dengan memberikan apresiasi kepada Forum Sastra Indonesia Timur (Fosait) selaku penyelenggara diskusi.

“Apresiasi yang saya sampaikan bukan karena terselenggaranya kegiatan ini, melainkan lantaran konten acara forum ini sangat berani dan intelek di mata saya,” kata Mahrus.

Berani, katanya, sebab ini menjadi terobosan pertama dalam sejarah dialog sastra di Sulsel, yang hanya membahas satu buah puisi dalam forum semacam ini. Berbeda dari biasanya, dimana forum diskusi sastra selalu menjadikan bedah buku yang berisi ratusan puisi sebagai objek pembahasan.

“Intelek, karena puisi yang dibicarakan adalah karya Aslan Abidin, seorang penyair Indonesia dan menjadi dosen Ilmu Bahasa & Sastra di beberapa perguruan tinggi. Tambahan lagi, puisi yang berjudul Pada Sebuah Reuni ini pernah dimuat di Majalah Sastra Horison, Edisi Khusus 55 Tahun Horison, 1966-2021, setelah majalah bergengsi itu gulung tikar di tahun 2016,” tutur Mahrus.

 

Trikotomi Analisis Semiotik

 

Mahrus mengaku membutuhkan waktu kurang lebih satu pekan untuk mengulang-ulang membaca puisi “Pada Sebuah Reuni” karya Aslan Abidin, tapi hingga tampil sebagai pembicara, dirinya belum dapat menangkap dengan pasti, apa sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh penyair lewat bait-bait puisinya itu.

“Moral puisinya sebenarnya sudah jelas, yaitu tentang suasana empiris yang dirasakan penyair pada reuni di suatu Sekolah Menengah Atas. Akan tetapi intensitas suasana itu perlu ditarik ke ranah inklusif agar pembaca memahami secara arif, adakah puisi itu satire, rekontemplasi atau sungguh-sungguh ekspresi penyesalan masa silam?” kata Mahrus.

Dalam kajian Semiotika Michael Riffaterre (Narudin: Kata, Makna dan Komunikasi. UPI Press, Bandung. 2019) dikatakan bahwa puisi selalu ditelaah dari dua dimensi, yaitu Konvensi Bahasa dan Konvensi Sastra.

“Konvensi Bahasa dikenal dengan istilah first order semiotics atau Semiotika Tahap Pertama, dan Konvensi Sastra dikenal dengan istilah second order semiotics atau Semiotika Tahap Kedua,” urai Mahrus.

Teori ini, lanjutnya, dikembangkan oleh Narudin, seorang kritikus sastra Indonesia, dengan menambahkan satu pendekatan yang dia sebut “Trikotomi Analisis Semiotika.”

Teori ini mencoba melihat karya sastra, khususnya puisi, dari dimensi Sintaksis (Tata Kata), Semantik (Tata Makna), dan Pragmatik (Tata komunikasi, yang juga berkaitan dengan konteksasi makna semiotik dengan aspek personal, sosio-kultural, historikal dan  referensial di balik suatu karya).

“Pendekatan ini sangat koheren dengan upaya menelisik lebih dalam terhadap kemampuan bahasa (linguistik), kemampuan sastra (literary), dan kemampuan kultural-filosofis (filsafat) seorang penyair di dalam menuliskan puisi-puisinya. Karena itu, teori ini dapat pula disebut Semiotika Tahap Ketiga atau Third Order Semiotics,” papar Mahrus. (bersambung)


-----

Artikel sebelumnya:

Mendiskusikan Puisi “Pada Sebuah Reuni” Karya Aslan Abidin

Terselip di Antara Para Pendekar Sastra, Penyair, dan Cerpenis

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama