Mendiskusikan Puisi “Pada Sebuah Reuni” Karya Aslan Abidin

SATU BIJI PUISI. Dari kiri ke kanan Dr Asia Ramli Prapanca (moderator), Mahrus Andis (pembicara), dan Dr Aslan Abidin, penyair yang puisinya dibahas pada Diskusi Puisi "Pada Sebuah Reuni", di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)





----- 

PEDOMAN KARYA

Rabu, 19 Januari 2022

 

Catatan dari Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” (2):

 

 

Mendiskusikan Puisi “Pada Sebuah Reuni” Karya Aslan Abidin

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan)

 

Diskusi puisi atau diskusi buku biasanya membahas satu buah buku kumpulan puisi atau satu buah buku secara utuh, tapi diskusi puisi yang diadakan Forum Sastra Indonesia Timur (Fosait) di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022, hanya mendiskusikan “satu biji” puisi.

Hebatnya lagi, orang-orang yang hadir dalam diskusi itu, baik pembicara, pembanding, moderator, maupun peserta diskusi, sebagian besar adalah para pendekar sastra, penyair puisi, cerpenis, dan kritikus sastra.

Hanya beberapa gelintir yang “penggembira”, karena bukan siapa-siapa dalam dunia sastra atau dalam dunia ke-penyair-an, tentu termasuk saya, he..he..he…

Mereka yang hadir antara lain Mahrus Andis (penyair, kritikus sastra), Dr Asia Ramli Prapanca (penyair, pemain drama, sutradara), Badaruddin Amir (penyair, cerpenis), Yudhistira Sukatanya (penyair, pemain drama, cerpenis), Dr Suradi Yasil (penulis, penyair), Tri Astoto Kodarie (penulis, penyair), Bahar Merdu (penyair, penulis naskah drama, sutradara).

Penyair, cerpenis, dan penulis lain yang hadir, antara lain Anwar Nasyaruddin, Ishakim, Muhammad Amir Jaya, Andi Wanua Tangke, Andi Ruhban, Idwar Anwar, Rusdin Tompo, Syahril Daeng Nassa, Rahman Rumaday, Fadli Andi Natsif, Agus K Saputra, serta beberapa mahasiswa dan peminat sastra.

“Satu biji” puisi yang dibahas dalam diskusi itu ialah puisi berjudul “Pada Sebuah Reuni” karya Aslan Abidin.

Puisi tersebut dimuat pada halaman 4, Majalah Sastra Horison, Edisi Khusus 55 Tahun Horison (1966-2021).

Aslan Abidin adalah seorang penyair, seorang doktor ilmu linguistik, seorang akademisi (dosen), dan mantan wartawan, yang puisi dan esainya sudah banyak dimuat di media massa nasional, dan juga sudah banyak yang dibukukan, baik dalam bentuk buku kumpulan puisi, maupun dalam bentuk satu buku secara utuh (buku tunggal).

Buku tunggal Aslan Abidin diberi judul Bahaya Laten Malam Pengantin (Ininnawa, 2008), dan diterbitkan ulang dengan judul Orkestra Pemakaman (Penerbit KPG, 2018).

“Tidak gampang satu puisi dibahas dalam forum sebesar ini. Mungkin baru pertama kali terjadi. Terus terang saya bukan penggemar Aslan Abidin. Aslan Abidin saya anggap biasa-biasa saja,” kata cerpenis Andi Wanua Tangke dengan nada datar.

Sebagai orang awam dalam dunia sastra dan ke-penyair-an, terus terang saya tidak paham dengan ucapan Andi Wanua Tangke.


Apakah itu merupakan bentuk protes, apakah sengaja ingin mengecilkan Aslan Abidin, atau memang begitu gayanya saat mengkritisi tapi secara tidak langsung ingin mengangkat maqam orang yang dikritisinya.

Namun satu hal yang pasti, pernyataan dan pertanyaan Andi Wanua Tangke, langsung menstimulir otak saya untuk berpikir dan kemungkinan juga menstimulir otak para peserta diskusi.

Sebelum diskusi dimulai, terlebih dahulu dibacakan puisi “Pada Sebuah Reuni” karya Aslan Abidin tersebut, dan penyair Muhammad Amir Jaya yang tampil membacakannya.

Berikut teks puisinya:

 

Pada Sebuah Reuni

 

reuni, bagai mesin waktu, -serupa

            upaya sia-sia kembali lagi ke masa

silam semata tunjukkan kalau kita

tidaklah punya kesempatan kedua.

 

setidaknya, mementalkan kita dari

masa lalu serta berhadapan kembali,

berdiri kikuk –sejauh sepuluh tahun

silam dari lambaian lesu perpisahan.

 

kita bersalaman, –berpencaran pula

kenangan dari ingatan, penuh tanya:

bersama siapa gerangan kini? ––apa

sudah nikah atau masih sendiri juga?

 

dulu kau gadis belia penuh tawaran

cinta di kerlingan matamu, ––

namun aku, lelaki muda yang semata hanya

gemetar bisu ditimpa cinta pertama.

 

“ada ruang sepi dalam rongga diriku,

tempat ku menantimu penuh rindu,

tapi kau tak kunjung datang. tak kau

pahamkah tanda yang aku beri dulu?”

 

ya, sungguh reuni sekolah menengah

atas semata hanya tempat menumpah

sesal. sudah begitu jauhkah dari kita

angan-angan bahagia semasa remaja?

 

apa yang dahulu tidak terungkapkan,

kini tampak tiada berguna, ––impian

serta kenyataan, serupa garis suratan

rumit bersilangan di telapak tangan 

 

lalu lampu-lampu mulai dipadamkan

serta pintu-pintu menanti ditutupkan.

mulai membayang rawan kesendirian.

cinta, ternyata masih kukuh bertahan.

 

saat seusai reuni malam itu, sembari

berjalan mundur, kita juga kembali

saling melambai. sebelum berpaling

berbalik jalani nasib masing-masing.

 

terasa sunyi membesar setiap jarak

kita melebar. seperti dulu, kita tak

juga pulang bersama. betapa cinta,

bisa sebegitu bertahan ––dan sia-sia.

 

Makassar 2018

 

Seusai pembacaan puisi oleh Muhammad Amir Jaya, acara diskusi puisi pun dimulai yang dimoderatori Dr Asia Ramli Prapanca, dengan pembicara Mahrus Andis, dan pembanding Badaruddin Amir. (bersambung)


-----

Artikel sebelumnya:

Terselip di Antara Para Pendekar Sastra, Penyair, dan Cerpenis

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama