Tiada Patut Mencium Kaki Orang-orang Belanda di Makassar untuk Mendapatkan Kekuasaan

“Tuanku Maggauka, sesudah hamba berpikir menimbang-nimbang, rasanya tak layak tiada patut Datu Jarewe berbuat serupa itu. Mencium kaki orang-orang Belanda di Makassar untuk mendapatkan kekuasaan yang tak wajar, merupakan suatu perbuatan yang hina-dina. Perbuatan itu berarti penjualan tanah pusaka kepada kompeni. Mengalihkan kekuasaan dari tangan tuanku ke tangannya tanpa hak sedikit pun, tak boleh kita biarkan begitu saja. Kita harus mencegahnya, walaupun menempuh cara apa pun. Tapi karena pengkhianatan itu tak berdiri sendiri, maka hamba rasa kita harus mencari jalan yang setepat-tepatnya. Hamba sependapat dengan tuanku bahwa Datu Jarewe mengandalkan kekuatan lain yang berada di belakangnya.” (int)
 


------

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 18 Juni 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (23):

 

 

Tiada Patut Mencium Kaki Orang-orang Belanda di Makassar untuk Mendapatkan Kekuasaan

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

Maggauka lalu bertepuk tangan tiga kali berturut-turut, dan tampak sang abdi mendekat sambil membungkuk-bungkuk memegang lutut, lalu duduk bersila dengan takzimnya.

“Suro, berangkat sekarang juga memanggil semua anggota adat. Katakan agar mereka segera menghadap ke istana atas perintahku. Jangan lupa sampaikan bahwa Gelarang sudah lama menunggu!”

“Hamba, tuanku.” Suro, berdatang sembah kemudian berlalu dari tempatnya. Tinggal Maggauka dan Gelarang sekarang duduk bendua sambil memperbincangkan terus peristiwa Datu Jarewe itu.

Beberapa lama kemudian, seluruh anggota adat sudah hadir di balairung, dan Maggauka mulai membuka kerapatan.

“Saudara-saudara anggota adat sekalian yang terhormat. Aku mengundang saudara karena ada berita yang sangat menusuk jantung, memerahkan daun telinga dan memanas-mendidihkan hati. perbuatan Datu Jarewe di Makassar, di Gowa tanah seberang.” Maggauka lalu menceritakan dari awal sampai akhir kejadian-kejadian di Makassar yang mengancam kedaulatannya yang merupakan pusaka turun-temurun.

“Pengumuman kekuasaan di tangan Data Jarewe yang disebarkan di Makassar itu adalah pengkhianatan yang keji. Aku rasa pasti orang-orang Belanda yang berdiri di belakang pengkhianatan ini. Tanpa mengandalkan kekuatan kompeni, kukira Datu Jarewe tidak akan selancang itu. Sekarang apa bicara saudara-saudara sekalian. Aku minta agar dipertimbangkan bersama penyelesaian masalahnya,” kata Maggauka sambil memandang anggota adat satu persatu.

Kerapatan menjadi sepi, tak ada suara yang keluar, semua memeras otak berpikir.

“Tuanku Maggauka, sesudah hamba berpikir menimbang-nimbang, rasanya tak layak tiada patut Datu Jarewe berbuat serupa itu. Mencium kaki orang-orang Belanda di Makassar untuk mendapatkan kekuasaan yang tak wajar, merupakan suatu perbuatan yang hina-dina. Perbuatan itu berarti penjualan tanah pusaka kepada kompeni. Mengalihkan kekuasaan dari tangan tuanku ke tangannya tanpa hak sedikit pun, tak boleh kita biarkan begitu saja. Kita harus mencegahnya, walaupun menempuh cara apa pun. Tapi karena pengkhianatan itu tak berdiri sendiri, maka hamba rasa kita harus mencari jalan yang setepat-tepatnya. Hamba sependapat dengan tuanku bahwa Datu Jarewe mengandalkan kekuatan lain yang berada di belakangnya.”

Gelarang kemudian angkat bicara pula, “Ya, hamba rasa Belanda-lah yang menjadi dalang utama pengkhianatan Datu Jarewe itu. Oleh sebab itu kita harus bertindak dengan tegas dan cepat. Kita harus mengirim utusan ke Makassar untuk menyelidiki, kemudian menyelesaikan peristiwa yang sangat mengancam kedaulatan dan ketenteraman negeri kita.”

Maggauka kemudian bertanya kepada anggota-anggota adat lainnya, yang dijawab bahwa mereka semua menyetujui pendapat ketua adat mereka.

“Kalau begitu,” kata Maggauka, “Aku pun menyetujui pendapat itu. Tetapi siapakah yang akan ke sana? Kalau dapat sebaiknya kerapatan ini pun memilih dan menetapkan orang yang akan diberi tugas berat ini. Bukankah kita harus cepat mengatasi keadaan yang berbahaya itu? Aku pun berpikir, jika dibiarkan berlarut-larut, akhirnya kita tak dapat mengendalikannya lagi, dan si pengkhianat Datu Jarewe akan berpesta-pora di atas takhta rampasannya. Tetapkanlah sekarang juga!”

Mendengar itu, kerapatan diam lagi, tapi sejenak kemudian Deanga Pongringali angkat bicara,

“Tuanku Maggauka yang mulia, hamba kira tiada lain yang layak dan pantas menjadi utusan ke Makassar selain anak kita karaeng Datu Museng I Baso Mallarangang. Karena dia adalah kepala dari segala tubarani, pahlawan panglima-perang harapan kita yang tak kenal mundur setapak pun dan haram menghitung bilangan musuh. Dia adalah kepala dari setiap lelaki di Sumbawa ini, cukup ilmu, kuat rohani dan jasmani, tiada cacat dan tiada celanya. Padanya genap apa yang dicari, cukup tiada kekurangan. Malah lebihnya saja yang dapat dihitung. Dia adalah lelaki tiada tandingan, jarang samanya. Boleh dilihat tak dapat diturut, bertindak selalu tegas dan bijaksana. Bicaranya tak banyak, sepatah kata saja, cukup jadi pegangan. Hamba rasa tak ada jeleknya jika kita menggantungkan harapan padanya. Tuanku, itulah ucapan hamba, kata hati ulasan jantung dari sanubari putih-bersih.”

“Terima kasih alas anjuran saudara. Mari kita pertimbangkanm bersama usul ini, supaya bulat kata sepakat dan bulat pula kita bersatu-padu. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Ke gunung sama mendaki, ke lurah sama menurun. Bersatu adalah adat, bercerai adalah khianat. Pengkhianat dan pengrusak, hukumnya dibuang jauh dari masyarakat ramai,” Maggauka berhenti dan memandang he seluruh anggota adat.

Ketika pandangannya tertumbuk pada pandangan Gelarang, ketua adat itu pun berkata, “Tuanku, sudah cukup hamba berpikir dan rasanya tak ada salahnya jika kita sekarang mengambil keputusan.”

Ia berhenti sejenak dan memandang kepada seluruh anggota adat, kemudian melanjutkan bicaranya, “Bagaimana pendapat saudara sekalian? Aku sendiri sangat setuju atas usul saudara Deanga Pongringali. Jika saudara ada pendapat lain, majukanlah segera supaya kita dengarkan bersama.”

“Kami pun menyetujui usul itu,” jawab mereka hampir serempak.

“Tuanku, inilah keputusan rapat. Namun demikian, hamba pikir sebaiknya sekarang diundang anak kita Datu Museng untuk mendengarkan keputusan kita dan minta pendapatnya.”

“Jika demikian katamu, baiklah kita suruh panggil anak kita itu,” kata Maggauka sambil berpaling kepada Gelarang dan memberi isyarat agar Suro disuruh menjemput menantunya. (bersambung)


------

Kisah sebelumnya:

Datu Jarewe di Makassar Mempermaklumkan Dirinya Berkuasa di Sumbawa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama