Mochtar Pabottingi: Karaeng, Darah Yang Harus Terbaca

KARAENG. Salah satu puisi karya Mochtar Pabottingi berjudul “Karaeng”. Puisi ini ditulis di Honolulu, 1986, yang dimuat dalam buku “Lima Puluh Seniman Sulawesi Selatan dan Karyanya”, terbitan Disbudpar Sulsel, 2005, penyusun Yudhistira  Sukatanya.





-----

PEDOMAN KARYA

Senin, 31 Oktober 2022

 

Jejak Sastrawan Sulsel (Bagian 5):

 

 

Mochtar Pabottingi: Karaeng, Darah Yang Harus Terbaca

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Sastrawan, Budayawan, Kritikus Sastra)


Kata Pembuka

 

Di Sulawesi Selatan, khususnya daerah Bugis-Makassar, ada gelar kebangsawanan yang disebut Karaeng. Tidak jelas asal-usul istilah itu. Namun sebuah desas-desus yang, boleh jadi mitos, mengatakan bahwa Karaeng berasal dari bahasa Arab.

Konon, di awal Islamisasi kerajaan Gowa-Tallo pada abad ke-16 Masehi, pedagang yang juga ulama dari Arab menghadap Raja. Terjadi dialog di antara mereka. Pimpinan rombongan yang berbicara langsung dengan Raja sering terlihat manggut-manggut, seraya dari mulutnya keluar kalimat: “Ya, karim.”

Ucapan “Ya, karim” ini bermakna semiosis meng-iya-kan sesuatu, yang artinya: “baik, yang mulia”. Dari frasa inilah terjadi proses morfofonemik, menyesuaikan karakter bahasa Makassar, menjadi “Yo’, Karaeng.”

Narasi di atas hanya sekilas pengantar memasuki gagasan puitik Mochtar Pabottingi, seorang sastrawan nasional asal Sulawesi Selatan.

Di masyarakat luas, lelaki kelahiran Bulukumba, 17 Juli 1945, tidak banyak dikenal sebagai sastrawan. Kehadirannya sebagai peneliti ahli di satu lembaga ilmiah terkemuka di Indonesia, seakan menutupi kreativitas seninya di bidang penulisan sastra.

Di kalangan budayawan, Mochtar dikenal sebagai penyair “suara alam sunyi”. Belum jelas mengapa ia berjuluk seperti itu. Boleh jadi karena puisinya berjudul “Suara-suara” (Jakarta 1986) yang selalu mengusik dirinya di rahim malam (?).

Selain Peneliti Utama di LIPI dan Analis Politik terkemuka di negeri ini, Prof Dr Mochtar Pabottingi juga seorang pengarang yang kreatif menulis puisi, cerita pendek, dan esai di berbagai media cetak.

Terakhir ia menulis buku otobiografi berjudul “Burung-burung Cakrawala” (Gramedia, 2013). Buku ini berkisah tentang dirinya, sejak kecil di salah satu kampung bernama Barebba-Bulukumba Sulsel, hingga menyelesaikan pendidikan di Luar Negeri (University of Hawaii Amerika Serikat, 1991).

 

Puisi “Karaeng”

 

Salah satu puisi Mochtar Pabottingi berjudul “Karaeng” ingin saya bicarakan di sini. Puisi tersebut ditulis di Honolulu, 1986, dan saya petik dari buku “Lima Puluh Seniman Sulawesi Selatan dan Karyanya”, terbitan Disbudpar Sulsel, 2005, penyusun Yudhistira  Sukatanya. Puisi ini terbilang panjang, sebagai berikut:

 

KARAENG

      I

Karaeng tegak di hulu kapalnya

Memandang ke ufuk yang gemetar

Oleh riuh badai. Di balik samudera

Dilihatnya dasar gelombang

Yang berpacu

Didengarnya lagu darah

Yang mengembangkan layar-layar pinisi

Hingga ke pantai-pantai asing

Hingga ke benua-benua yang jauh

Dibiarkannya laksana kata yang meletup-letup di sekitarnya

Bagai gelembung-gelembung pecah

Dia rindu pada kata

Yang menampakkan wajahnya

Seperti nama leluhurnya yang tewas di ujung tangga

Seperti nama leluhurnya yang ditebas batang lehernya

Seperti nama leluhurnya yang bersemayam di balai palangnya

Dia rindu pada kata

Yang masih setia

Leluhurnya tidak memperalat kata

Tidak menunggangi kata

Tidak memantra kata

Jadi sampah. Bersama dirinya

         II

Karaeng tegak di hulu kapalnya

Memandang ke ufuk yang gemetar

Oleh riuh badai. Di balik samudera

Setelah kilat dan gelegar

Setelah pengembaraan di tujuh benua

Dia tak memerlukan gita

Untuk jadi nyata

Dia perlu jadi partha

Darah yang menggenggam tubuhnya adalah sisa murni

Setelah harga dikukuhkan

Setelah sele' dan kawali

Setelah leluhur menatap wajah sejarah yang dahsyat

Di depan armada Kompeni

Yang menikamkan keris saudara-saudaranya sendiri

Dan darah pun mengalir ke sepanjang Tanah Jawa

Di sepanjang Malaka dan Sumatra

Di mana-mana ia memberi kehidupan

Harganya yang sebenarnya

       III

Hanya yang berdarah berhak berkata

Sebab hanya dengan darah kehidupan ditegakkan

Secara terhormat

Hanya dengan darah kehidupan mereka

Dan mengalir bukan sebagai buih

Atau barang rongsokan

Pada waktunya

Darahnya akan mengalir pada lembar-lembar buku

Pada puncak-puncak gunung

Pada tanah-tanah persawahan

Pada pabrik-pabrik yang gemuruh

Pada taman-taman bunga

Pada medan-medan baja

Pada bunyi dan gerak

Pada bintang-bintang

Yang selalu dibaca leluhurnya

Maka Karaeng menengok kembali ke samudera

Yang bergolak dalam tubuhnya. Menangkap sayup denting musim

Sebab hari kian tak pasti.

 

-Honolulu,1986-

 

Struktur puisi ini cukup panjang. Terdiri dari tiga bagian. Masing-masing bagian berbicara sesuai amanah yang dititipkan oleh penyairnya. Bagian I, penyair menggarisbawahi makna filosofi Karaeng sebagai konsep diri manusia yang mulia (Al karim), berkarakter, berani dan jujur. Karaeng, di mata penyair, adalah nakhoda di laut lepas, tegak di anjungan memandang masa depan yang penuh optimisme.

Dalam perspektif kehidupan modern, analogi Karaeng bermakna pemimpin atau tokoh penting di tengah masyarakat. Mari kita simak salah satu bait dari Bagian pertama puisi tersebut:

 

“Dia rindu pada kata/

Yang masih setia/

Leluhurnya tidak memperalat kata/

Tidak menunggangi kata/

Tidak memantra kata/

Jadi sampah/ Bersama dirinya ..."

 

Penyair menekankan makna “kata” di bait puisinya. Seakan puisi di atas ingin berbicara kepada kita bahwa harga diri di balik nama besar seorang Karaeng adalah perilaku istiqamah: satunya kata dengan perbuatan.

Leluhur para Karaeng sangat pantang memanipulasi kata-kata. Bagi seorang Karaeng, setia pada kata-kata adalah sumpah. Dan Karaeng (baca: turunan bangsawan, pemimpin, pemuka masyarakat atau tokoh agama) yang sering memainkan kata-kata menjadi mantra kemunafikan, hakikatnya adalah sampah.

Darah leluhur yang mengalir dalam tubuh seorang Karaeng berisi amanah kehidupan yang murni. Amanah yang lahir dari komitmen kemanusiaan atas nama “sirik na pace” (baca: martabat dan kepekaan rasa).

Karena itu, di mata penyair, Karaeng tidak hanya bermakna status dalam konteks strata sosial, tetapi juga, Karaeng adalah pejuang pembebasan nilai-nilai universal kemanusiaan dari penjajahan hawa nafsu. Karaeng harus selalu tampil menawarkan “harganya” untuk kehidupan yang luas.

Pada Bagian II puisinya, penyair mengangkat nilai kepribadian luhur yang wajib ada di dalam diri seorang Karaeng, seperti berikut:

 

“Darah yang menggenggam tubuhnya adalah sisa murni/

Setelah harga dikukuhkan/

Setelah sele' dan kawali/

Setelah leluhur menatap wajah sejarah yang dahsyat/

Di depan armada Kompeni/

Yang menikamkan keris saudara-saudaranya sendiri/

Dan darah pun mengalir ke sepanjang Tanah Jawa/

Di sepanjang Malaka dan Sumatra/

Di mana-mana ia memberi kehidupan/

Harganya yang sebenarnya ... “

 

Karaeng yang sesungguhnya adalah darah yang berwujud dalam kiprah manusia. Mochtar Pabottingi tampaknya amat memahami filosofi agama “khalifatan fil ardhi” pada diri seorang Karaeng.

Darah, dalam visi penyair, bukanlah sekadar simbolisme derajat manusia di tengah kearifan lokal. Melainkan, nilai-nilai keberdayaan individu untuk tampil menjadi khalifah (pemimpin) dan membangun kehidupan secara terhormat.

 

Di bait awal puisinya Bagian III, Penyair menulis :

“Hanya yang berdarah berhak berkata/

Sebab hanya dengan darah kehidupan ditegakkan/

Secara terhormat ...”

 

Sebagai analis politik (secara luas, perspektif kebangsaan), Mochtar Pabottingi tentu tidak kosong dari ekspektasi masa depan yang diinginkan. Harapan manusiawi penyair dilekatkan pada keniscayaan sosok Karaeng menjadi darah kehidupan yang lebih konkret dan universal.

Darah yang hidup dengan cita-cita. Darah yang mengalir bukan sebagai buih. Atau darah yang membeku bagai barang rongsokan. Tetapi darah yang dimaksud penyair adalah seperti pada bait akhir Bagian III puisinya berikut:

 

“Pada waktunya

Darahnya akan mengalir pada lembar-lembar buku/

Pada puncak-puncak gunung/

Pada tanah-tanah persawahan/

Pada pabrik-pabrik yang gemuruh/

Pada taman-taman bunga/

Pada medan-medan baja/

Pada bunyi dan gerak/

Pada bintang-bintang/

Yang selalu dibaca leluhurnya ...”

 

Kata Penutup

 

Penyair mengantar apresiasi kita dengan menghadirkan flashback sesosok Karaeng di bagian akhir puisinya. Pada dimensi semiotika-kultural inilah Mochtar Pabottingi menitipkan bahasa kerinduan manusiawinya. Dia menulis di ending “Karaeng” sebagai berikut:

 

  “Maka Karaeng

  menengok kembali

  ke samudera/

  Yang bergolak dalam

  tubuhnya.

  Menangkap sayup

  denting musim/

  Sebab hari kian tak

  pasti.”

 

Di “hari kian tak pasti” ini, pembaca merasa tercubit. Para Karaeng, di level status apa pun namanya, dituntut turun gunung. Mochtar Pabottingi mengajak para Karaeng agar istiqamah menghadirkan “darah”-nya untuk kehidupan yang terhormat dan penuh kemuliaan (Al karim). Darah yang selalu mengalir dan terbaca oleh leluhur (sejarah peradaban). *   

 

-         Makassar, 30 Oktober  2022


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama