Ramli, Bocah Penjual Jalangkote di Pantai Losari



PENJUAL JALANGKOTE'. Penulis, Andi Mulia M Passalowongi (kiri), mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Unismuh Makassar, foto bersama Ramli, salah seorang penjual kue jalangkote', di Anjungan Pantai Losari, Makassar, Ahad, 01 Juli 2018. (ist)







-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 15 Juli 2018


Ramli, Bocah Penjual Jalangkote di Pantai Losari



“Jalangkote’, jalangkote’,...” Begitulah teriakan Ramli (14), seorang bocah penjual kue jalangkote’ (pastel), di Anjungan Pantai Losari, Makassar.

Teriakan tersebut bukan tanpa arti. Itu adalah kode bagi warga yang berkunjung di Pantai Losari, yang hendak membeli dagangannya yang berupa kue tradisional, yang dalam Bahasa Bugis, Bahasa Makassar, Bahasa Mandar, dan Bahasa Toraja, dikenal dengan sebutan jalangkote’. Satu biji kue jalangkote’ ia jual seharga Rp2.000.
 “Kalau jual jalangkote seperti ini kan lumayan, bisa buat jajan nanti di sekolah atau beli peralatan sekolah. Kalau libur panjang begini, penghasilan dari menjual jalangkote’ lumayan banyak, karena pengunjung di sini juga ramai kalau lagi hari libur, tidak seperti hari-hari biasa,” tutur Ramli, kepada penulis, di Anjungan Pantai Losari, Makassar, Ahad, 01 Juli 2018.
Ramli mengaku menjual kue jalangkote’ demi membantu orangtuanya. Dia mengaku hidup keseharian keluarganya tergolong pas-pasan. Ayahnya yang berprofesi sebagai tukang bentor,  serta ibunya yang hanya seorang IRT, membuatnya harus membantu kedua orangtuanya. Meskipun usia masih belia, nampaknya anak ini mengetaui persis kondisi perekonomian keluarganya.
“Uang yang saya dapatkan dari menjual kue jalangkote’, semuanya saya kasi ke mama. Nanti mama yang kasi lagi ke saya (sebagai upah, red), misalnya saya dapat enampuluh ribu, terus saya setor ke mama, lalu saya dikasi duapuluh ribu, berarti sisanya bisa pakai beli beras atau yang lain-lain,” ungkap Ramli.
Meskipun terlihat kecapaian, bocah ini terlihat sangat menikmati profesinya berjualan jalangkote’. Dia tidak merasa risih ataupun malu melakoni pekerjaan itu. Yang penting, dia bisa kerja halal, mandiri, dan bisa mendapat uang jajan.
Ramli mengaku pekerjaannya sebagai penjual jalangkote’, tidak membuat prestasinya di sekolah menurun, bahkan ia mengaku termasuk anak yang cerdas, karena mampu masuk  lima besar di kelasnya.
“Saya termasuk siswa yang memiliki rangking tinggi di kelas,” kata Ramli. (Andi Mulia M Passalowongi, mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Unismuh Makassar)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama