Peran Partai Politik dalam Memutus Mata Rantai Kekerasan Anak



Partai, melalui fraksinya di parlemen dapat menjalankan fungsi legislasi, budgeter dan pengawasan secara efektif jika mereka memiliki political will. Fungsi-fungsi itu akan memastikan bahwa negara selalu hadir dan berikhtiar memutus mata rantai kekerasan pada anak.” – Rusdin Tompo –  






--------

PEDOMAN KARYA
Kamis, 03 Oktober 2019


Peran Partai Politik dalam Memutus Mata Rantai Kekerasan Anak


Oleh: RusdinTompo
(Penulis dan Fasilitator Sekolah Ramah Anak)

Indonesia berada dalam darurat kekerasan anak. Begitu pernyataan para aktivis maupun petinggi negara. Kekerasan dengan angka-angka yang cenderung terus meningkat dan dengan kualitas kesadisan yang sedemikian mengerikan itu, menyadarkan banyak orang untuk melakukan kampanye “Bunyikan Tanda Bahaya.

Mereka yang berempati pada korban, juga mengajak masyarakat untuk peduli lewat gerakan “Save Our Sister” (SOS). Lebih memiriskan lagi karena para pelaku, dalam banyak kasus, justru adalah orang-orang yang dikenal dekat, bahkan yang seharusnya melindungi korban. Mereka, para pelaku itu, bias merupakan ayah, ibu, kerabat, tetangga, atau guru korban.

Fungsi Representasi, Artikulasi, dan Agregasi

Semua upaya untuk memutus mata rantai kekerasan itu, pada esensinya hendak mengajak kita untuk turun tangan memainkan peran sesuai potensi, kapasitas dan kewenangan yang dimiliki, termasuk Partai Politik.

Rasa-rasanya, masih kurang wacana membincangkan peran Partai Politik untuk menghentikan, atau paling tidak meminimalisasi, kasus-kasus kekerasan terhadap anak-anak dan perempuan.

Partai Politik, atas dasar kemanusiaan, tentu tidak tega mendengar dan menyaksikan anak-anak itu menjadi sasaran berbagai bentuk kekerasan fisik dan seksual, yang berujung kematian. Karena itu, Partai Politik mesti memobilisasi dan mendorong partisipasi jutaan sumber dayanya. Partai punya simpatisan, kader dan pengurus, mulai dari Pengurus Anak Cabang (PAC) hingga Dewan Pimpinan Pusat (DPP).

Partai Politik mesti peka menjalankan fungsi representasi, artikulasi dan agregasi kepentingannya, dengan merespons dan mengartikulasikan isu-isu yang berkembang di masyarakat, tak terbatas hanya pada apa yang menjadi kebutuhan konstituennya.

Partai Politik mesti sigap menyikapi persoalan berbagai kelompok kepentingan, terutama hak-hak anak dan perempuan sebagai kelompok rentan, dengan mengemasnya sebagai isu politik dan keberpihakan politik.

Setiap Partai Politik sejatinya ikut mengedukasi masyarakat agar lebih faham akan hak-hak anak dan menanamkan nilai-nilai kesetaraan, keadilan, demokrasi dan budaya hukum pada setiap keluarga. Dengan begitu, munculnya kasus-kasus baru bisa dicegah, sekaligus mendorong kelompok-kelompok masyarakat untuk proaktif terlibat dalam penyelesaian kasus.

Dari Resolusi ke Regulasi

Dalam konteks ini maka apa yang dilakukan oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem), dengan menggelar diskusi “Stop Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak”, pada pertengahan Mei 2016, perlu diapresiasi.

Kegiatan yang dimotori oleh Garda Wanita (Garnita) Malahayati, yang merupakan organisasi sayap partai itu, diharapkan tidak hanya berhenti pada resolusi atau kebulatan pendapat untuk menghentikan kekerasan.

Sebagai Partai Politik dengan jumlah kader mencapai 15 juta orang, yang tersebar di hampir semua desa di Tanah Air, sebagaimana klaim Surya Paloh, pendiri dan Ketua Umum Partai NasDem (www.merdeka.com), niscaya keterlibatan partai ini akan sangat signifikan.

Pada forum di mana penulis diminta menjadi moderator itu, diungkapkan bahwa Partai
NasDem bertekad mendorong adanya payung regulasi yang lebih menjamin kepastian hukum bagi perempuan dan anak.

Fraksi Partai NasDem di DPR RI bahkan menyikapi positif langkah pemerintah menerbitkan Perppu untuk menjatuhkan sanksi yang keras sebagai efek jera bagi pelaku tindak kejahatan seksual.

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem Sulawesi Selatan, Sri Sajekti Sudjunadi, ketika itu, bahkan menghendaki agar RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dimasukkan dalam Prolegnas 2016. RUU PKS itu kini menuai pro kontra untuk disahkan.

Tokoh penting Partai NasDem itu juga menginstruksikan agar setiap kadernya di parlemen memperjuangkan secara proporsional anggaran yang pro gender dan pro child, sehingga, program-program pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak, serta program-program pemberdayaan perempuan dan anak bisa lebih efektif.

Wanita yang dikenal dengan panggilan Ibu Jeanetta itu sepertinya hendak mengaktualisasikan salah satu misi Partai NasDem, yakni menggalang kesadaran dan kekuatan masyarakat untuk melakukan Gerakan Perubahan melalui Restorasi Indonesia.

Melalui manifestonya, partai ini hendak memastikan bahwa negara menjalankan mandat konstitusinya untuk menjadikan manusia Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera, merdeka sebagai negara, merdeka sebagai rakyat.

Dengan lugas NasDem menegaskan bahwa yang dimaksud merdeka berarti kebutuhan rakyat terpenuhi. NasDem menolak negara yang meninggalkan perannya dalam pemenuhan hak-hak warganya. Apalagi, jika hak-hak mereka dilanggar dan dinistakan.

Partai NasDem telah menginspirasi kita bahwa ada kekuatan Partai Politik yang mesti dimaksimalkan. Partai bisa mendinamisasi kekuatan politiknya pada tingkatan basis hingga
parlemen.

Partai, melalui fraksinya di parlemen dapat menjalankan fungsi legislasi, budgeter dan pengawasan secara efektif jika mereka memiliki political will. Fungsi-fungsi itu akan memastikan bahwa negara selalu hadir dan berikhtiar memutus mata rantai kekerasan pada anak.

Juga membuktikan bahwa para elite politik berkomitmen memadukan politik kesejahteraan dan kemanusiaan, bukan semata politik kekuasaan, sekaligus menampakkan paras demokrasi yang berdimensi kepublikan. Maka tidak salah, jika kita berharap pada anggota DPR RI dan DPRD, periode 2019-2024, yang baru saja dilantik dan diambil sumpahnya.



 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama