Perintah Berpuasa


Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah/2: 183).






---------

PEDOMAN KARYA
Kamis, 09 Januari 2020


Al-Qur’an Menyapa Orang-Orang Beriman (05):


Perintah Berpuasa



Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh Makassar / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah/2: 183).

Puasa bukanlah merupakan syariat yang baru dan bukan hanya diperintahkan kepada orang-orang yang berimanumat Muhammadsekarang ini, melainkan telah diwajibkan pula kepada umat-umat terdahulu. Dengan begitu, orang-orang yang beriman tentu tidak akan memandang puasa sebagai perintah yang memberatkan, karena ternyata generasi-generasi terdahulu telah mampu menunaikannya.

Dengan diwajibkannya puasa ini, sejak umat terdahulu hingga kepada umat sekarang ini dan sampai akhir zaman perintah puasa itu akan tetap diwajibkan, berarti puasa merupakan syariat yang amat penting bagi proses perjalanan hidup manusia.

Dan karena pentingnya itu pula, maka puasa itu harus dilakukan atas dasar keimanan dan penuh perhitungan yang cermat (imanan wahtisaban). Kalau puasa harus dilakukan dengan landasan iman dan kesadaran, maka yang akan terpanggil untuk memenuhi perintah menunaikan puasa sudah tentu orang-orang yang beriman dan sadar pula.

Menurut Muhammad Husain Haekal, puasa adalah merupakan proses pembersihan atau pensucian jiwa. Orang yang berpuasa diharuskan oleh pikirannya yang timbul atas kehendak sendiri, supaya kebebasan kemauan dan kebebasan berpikir dapat diperoleh kembali.

Kebebasan kemauan dan berpikir ini bila telah diperoleh kembali, maka ia dapat mengangkat manusia, orang-orang yang beriman, ke tingkat martabat yang lebih tinggi, setingkat dengan iman yang sebenarnya kepada Allah.

Sepintas hal ini tampak bertentangan dengan definisi yang telah diketahui selama ini, bahwa puasa adalah pencegahan dan pembatasan atas kebebasan manusia.

Hal ini memang tampak agak aneh, oleh karena kebebasan dalam bayangan manusia telah dibentuk oleh pikiran modern, dimana batas-batas rohani dan spiritual (mental) dihancurkan, kemudian dicuatkan batas-batas kebendaan dan dipertahankan.

Pada umumnya, pemikiran yang dipengaruhi oleh kehidupan modern menganggap bahwa manusia tidak bebas dalam kaitannya dengan harta ataupun pribadi orang lain, akan tetapi memiliki kebebasan penuh terhadap dirinya walaupun pada kenyataannya telah melampaui batas-batas yang diterima akal dan dibenarkan oleh kaidah-kaidah moral.

Sesungguhnya bukanlah demikian, lanjut Haekal! Pada kenyataannya manusia sering diperbudak oleh keinginan dan kebiasaannya. Seorang yang biasa makan pada pagi, siang dan malam hari, jika dikatakan kepadanya agar cukup makan pagi dan sore saja, maka ia akan menganggap bahwa keinginan itu hanya akan membatasi kebiasaannya. Padahal itu adalah pembatasan atas perbudakan kebiasaannya.

Demikian pula dengan orang yang biasa merokok sampai batas dia diperbudak oleh kebiasaannya merokok itu, jika dikatakan berhentilah merokok maka dia akan merasa dilanggar kebiasaannya, padahal yang dilanggar lain tidak adalah perbudakan dirinya oleh kebiasaannya.

Budak kebiasaan seperti contoh di atas merusak kemauan, dan merusak arti yang sebenarnya dari kebebasan yang sesungguhnya, juga merusak cara berpikir sehat. Mengapa demikian? Karena dengan demikian berarti manusia telah ditundukkan oleh hajat kehendak jasmani dari segi kebendaan yang telah dibentuk oleh kebiasaannya itu.

Jika puasa disambut dengan kemauan sendiri atas dasar iman dan kesadaran bahwa perintah Allah tidak akan pernah bertentangan dengan cara-cara berpikir yang sehat yang telah memahami tujuan hidup yang hakiki, maka dapat dimengerti arti puasa yang dapat membebaskan diri dari budak kebiasaan itu. Di samping itu juga sebagai latihan menghadapi kemauan dan arti kebebasan kita sendiri.

Dengan demikian, dapat disadari bahwa cara yang paling baik untuk mencapai martabat iman yang paling tinggi, adalah dengan menyadari bahwa apa yang telah ditentukan manusia terhadap dirinya sendiri --atas kehendak Allah-- mengenai batas-batas rohani dan mentalnya, adalah sehubungan dengan kebebasan yang dimilikinya untuk melepaskan diri dari beberapa kebiasaan dan dorongan nafsunya.

Kiranya inilah yang dimaksud dengan puasa atas dasar keimanan dan kesadaran atau perhitungan, sebagaimana sabda Rasulullah dalam hadits yang diriwatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah r.a.

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan iman dan penuh perhitungan (hanya mengharap pahala), maka diampuni atas dirinya dari dosa-dosanya yang telah lalu.(HR Bukhari dan Muslim).

Seperti telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, bahwa tujuan dari puasa ini adalah untuk mencapai derajat iman yang tinggi di hadapan Allah, yaitu taqwa (la ‘allakum tattaquun).

Jika memperhatikan Al-Qur’anul kariim secara cermat dapat difahami beberapa ayat yang pada akhir ayat tersebut disebutkan sifat-sifat yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang beriman agar dia menjadi seorang yang taqwa, sebagai berikut ini:

Wahai manusia! Sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.(QS Al-Baqarah/2: 21).

Dan ketika Kami mengambil janji dari kamu dan kami angkatkan gunung (Tursina) di atasmu (lalu Kami berfirman): “Pegang teguhlah apa yang Kami berikan kepadamu (Al Kitab) dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertaqwa”(QS Al_Baqarah/2: 63).

Dan dalam qishash itu ada hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertaqwa (QS Al-Baqarah/2: 179).

Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamakn atas kamu oleh Rabb-mu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabb-mu supaya kamu memahaminya (151).

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang baik, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun dia adalah kerabatmu, dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat (152),

dan bahwasanya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa (153)(QS Al-An’am:6: 151-153).

Dan ketika kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami firmankan kepada mereka): “Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu (al Kitab), serta ingatlah selalu apa yang tersebut di dalamnya agar kamu bertaqwa”(QS Al-A’raf/7: 171).

Dari ayat-ayat tersebut dapat diambil intisari beberapa amalan yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepada ‘manusia’ pada umumnya dan ‘orang-orang yang beriman’ khususnya, agar menjadi orang-orang yang bertaqwa, yang dirangkum sebagai berikut:

(1) Beribadah dengan ikhlas kepada Tuhan Allah SWT, (2) berpegang teguh pada kitab Allah dan selalu berdzikir kepadaNya, (3) melaksanakan hukum Allah SWT (qishash), (4) menunaikan ibadah puasa.
(5) menempuh jalan-jalan kebaikan (sabilal rusydi) menuju jalan kebenaran atau jalan lurus (sirathal mustaqim), yakni tidak mempersekutukan sesuatu dengan Allah, berbuat baik kepada kedua orang ibu bapak, tidak membunuh anak dengan alasan apapun, tidak melakukan perbuatan keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, tidak membunuh jiwa yang dilarang Allah kecuali dengan alasan yang benar.
Selanjutnya, jangan mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang baik, sempurnakan takaran dan timbangna dengan adil, berlaku adil, walaupun terhadap saudara sendiri, serta penuhi janji Allah (yakni senantiasa taat atas perintah dan larangannya serta ketentuan kitabNya dan sunnah Rasul-Nya)

Inilah jalan-jalan menuju taqwa yang difirmnkan oleh Allah s.w.t. dalam Al-Qur’anul kariem dimana “puasa” adalah salah satu di antaranya.

Demikian sekelumit uraian tentang puasa terkait syariat, makna dan tujuannya. Adapun tata cara (kaifiyat) pelaksanaan puasa dapat kita perdalam dalam ayat-ayat berikutnya (QS Al-Baqarah/2: 184-187) serta memahami hadits-hadits Rasulullah terkait dengan hal tersebut. (bersambung)

----- 
Artikel sebelumnya:

Bagian 5: Perintah Qishash Berkenaan dengan Orang Dibunuh

Bagian 4: Makanlah dari Rezeki yang Baik-baik

Bagian 3: Mohonlah Pertolongan dengan Sabar dan Shalat

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama