Bangga Ber-IMM dan Ber-Muhammadiyah



BANGGA BER-IMM. Sebagai kader Muhammadiyah dan alumni IMM, saya tentu menginginkan anak-anak kami juga menjadi kader IMM dan sekaligus kader Muhammadiyah. Dan alhamdulillah tiga anak kami sudah menjadi kader IMM sekaligus kader Muhammadiyah.


-----

PEDOMAN KARYA

Ahad, 14 Maret 2021



Bangga Ber-IMM dan Ber-Muhammadiyah



Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulsel)


Rumah orangtua kami di kampung hanya berjarak kurang lebih 150 meter dari Masjid Muhammadiyah, Bulukumba, dan jalanan di depan rumah orangtua kami tembus langsung ke pintu Masjid Muhammadiyah. Masjid itu akan langsung terlihat jika kami membuka pintu rumah bagian depan.

Meskipun dekat, saya tidak belajar pendidikan agama tambahan di Masjid Muhammadiyah, yang berada di lingkungan Appasarengnge. Saya justru belajar pendidikan agama tambahan di Masjid Babul Khaer, di Kampong Nipa, dan masjid ini adalah pusat kegiatan organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Saya belajar pendidikan agama pada sekolah sore di Masjid Babul Khaer. Pada pagi hari, saya tetap belajar di sekolah umum. Saya belajar di sekolah sore itu mulai sekitar tahun 1978, saat saya duduk di bangku kelas 4 SD Negeri 10 Ela-ela, sampai saya duduk di bangku kelas dua SMP Negeri 1 Bulukumba.

Cukup lama. Saya berhenti begitu saja pada sekolah sore itu tanpa pamit dan tanpa mendapatkan ijazah, karena waktu itu saya merasa sayalah santri terlama dan termasuk paling besar secara fisik, he..he..he..

Mungkin sekolah sore itulah yang menjadi rintisan Pondok Pesantren Babul Khaer Bulukumba yang kini memiliki gedung dan masjid yang cukup bagus di areal yang cukup luas di daerah Lembang, Kecamatan Ujungloe.

Saya kemudian lebih banyak belajar agama secara tidak langsung pada pengajian yang sering diadakan di Masjid Muhammadiyah. Penceramahnya lebih sering didatangkan dari Sinjai, khususnya para ustadz dari pesantren berafiliasi Muhammadiyah. Nama yang masih saya ingat antara lain Ustadz Sirajuddin (Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sinjai) dan Ustadz Yahya. Ada juga seorang ustadz buta yang sangat bagus bila berceramah, tapi saya lupa namanya.

Pengajiannya tidak selalu diadakan di Masjid Muhammadiyah, kadang-kadang diadakan di rumah pengurus atau simpatisan Muhammadiyah, baik di dalam kota maupun di luar kota.

Setamat SMA (SMA Negeri 1 Bulukumba) tahun 1986, saya kuliah di IKIP Ujungpandang (sekarang Universitas Negeri Makassar), pada Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan disingkat FPOK (sekarang Fakultas Ilmu Keolahragaan, disingkat FIK).

Pada akhir Desember 1986 atau awal Januari 1987, saya mengikuti Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar (sekarang Darul Arqam Dasar, disingkat DAD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang diadakan Komisariat Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) IKIP Ujungpandang.

Saya bersama sekitar 30 orang mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi mengikuti training selama kurang lebih sepekan di Gedung Muhammadiyah Sulsel, Jl Gunung Lompobattang, Makassar. Gedung itu kini menjadi Gedung Pusat Dakwah Islam Pimpinan Daerah Muhammadiyah (Pusdim) Makassar.

Gedung itu dulu lebih akrab disebut Gedung Lombat (singkatan dari Lompobattang) oleh pengurus dan kader Muhammadiyah. 

Saya tidak ingat persis tahun berapa, tapi saya kebetulan ada di Gedung Lombat saat Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) diundang membawakan materi dan memberikan motivasi kepada kader-kader IMM.

Sertifikat LK Tingkat Dasar atau DAD IMM saya ditandatangani oleh Ketua PC IMM Kota Makassar Agung Wirawan, dan Sekretaris Chaeruddin Hakim. Instruktur yang saya ingat ketika itu antara lain Ardias Barah dan Lamir Dacing.

Pada pertengahan tahun 1987, saya mengikuti training Darul Arqam Menengah (DAM) IMM, di Gedung SMP Muhammadiyah 1 Makassar, Jl Maccini. Ada sekitar 20-an peserta DAM ketika itu, termasuk kalau tidak salah Jumiati Nur, Sulaiman Gosalam, dan Kurnia Makkawaru. Instruktur yang saya ingat ketika itu antara lain Syaiful Saleh dan Kamaruddin Moha.

Setelah itu, kami menjadi panitia DAM IMM yang diadakan di Benteng Ujungpandang atau Fort Rotterdam Makassar. 

Saat itulah saya mengenal Irwan Akib yang kemudian terpilih sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah Sulsel, terpilih jadi Rektor Unismuh Makassar, dan Sekretaris Muhammadiyah Sulsel.

Meskipun mengikuti pengkaderan mulai DAD sampai DAM, saya tidak pernah aktif sebagai pengurus IMM. Saya baru aktif "ber-Muhammadiyah" setelah menjadi wartawan Harian Pedoman Rakyat tahun 1993.

Saya aktif ber-Muhammadiyah tentu saja belum sebagai pengurus, melainkan aktif memberitakan kegiatan-kegiatan Muhammadiyah, amal usaha Muhammadiyah, dan organisasi otonom (Ortom) Muhammadiyah melalui Harian Pedoman Rakyat. Itu terjadi atas jasa almarhum Husni Yunus yang waktu itu menjabat Humas Unismuh dan Humas Muhammadiyah Sulsel.

Saya antara lain meliput Muktamar IMM di Kendari, kalau tidak salah tahun 1993 atau tahun 1994. Saya juga meliput Muktamar Muhammadiyah tahun 1995 di Aceh.

Pada Musywil Muhammadiyah Sulsel di Pinrang, barulah saya dimasukkan sebagai pengurus Muhammadiyah Sulsel.

Juga masuk pengurus Pemuda Muhammadiyah Sulsel di era kepemimpinan Irwan Akib dan Imran Hanafi.

Sebagai kader Muhammadiyah dan alumni IMM, saya tentu menginginkan anak-anak kami juga menjadi kader IMM dan sekaligus kader Muhammadiyah. Dan alhamdulillah tiga anak kami sudah menjadi kader IMM sekaligus kader Muhammadiyah, bahkan anak kedua kami sempat menjadi Ketua Pimpinan Komisariat IMM Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka) Jakarta.

Tentu saja saya dan tiga anak kami yang sudah menjadi kader IMM, bangga ber-IMM, karena kami pernah mengikuti training atau pelatihan bersama orang-orang hebat di IMM, dan sekaligus menjadi kader organisasi besar bernama Muhammadiyah.

Selamat milad ke-57 IMM, 14 Maret 1964 - 14 Maret 2021.

....

Gowa, 14 Maret 2021

#TettaTompo

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama