Di Jeneponto, Murid Belajar di Rumah, Jarang ke Sekolah

Hari itu, saat kami pulang dari rumah warga melakukan survey lokasi, dan secara tidak langsung kami bersilaturrahim dengan warga, tiba-tiba kami tersentak melihat dua ekor kuda berada di dalam lingkungan sebuah sekolah. Langkah kami tiba-tiba terhenti di depan sekolah itu dan terpana menyaksikan dua ekor kuda tersebut, tapi itu tidak berlangsung lama. Kami langsung tertawa mengingat ucapan seorang ibu yang kami temui beberapa saat sebelumnya. (int)

 

 

-------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 21 Maret 2021

 

 

Di Jeneponto, Murid Belajar di Rumah, Jarang ke Sekolah

 

 

“Murid belajar di rumah, jarang ke sekolah.” Itulah ungkapan seorang ibu yang kami temui di rumahnya saat kami melakukan survei sebagai bagian dari program kerja kami, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata / Kuliah Kerja Profesi (KKN/P) Universitas Pancasakti (Unpacti) Makassar.

Kami, mahasiswa KKN/P Unpacti Makassar, berjumlah 160 orang, dan ditempatkan pada 16 desa dan kelurahan di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Arungkeke, Kecamatan Tarowang, dan Kecamatan Batang.

Kami tahu bahwa sejak Pandemi Covid-19, proses belajar mengajar sistem tatap muka memang ditiadakan, berganti dengan sistem belajar di rumah. Kami tahu bahwa rasa bosan, malas dan tidak bergairah dalam pembelajaran pun jadi keseharian hampir sebagian besar murid.

Sebagian teman kami mahasiswa KKN/P Unpacti, khususnya mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), tentu juga merasa tidak nyaman dengan kondisi siswa belajar di rumah, karena teman-teman kami ingin praktek mengajar.

Teman-teman kami dari FKIP tentu saja ingin merasakan atmosfir proses belajar mengajar di sekolah, khususnya di Kabupaten Jeneponto, yang konon masyarakatnya memiliki ciri khas tersendiri dan berbeda dengan masyarakat di daerah lain di Sulawesi Selatan.

Kami bisa merasakan kekecewaan teman-teman dari FKIP, karena mereka tidak bisa mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari di kampus, baik ilmu tentang program studi masing-masing yakni fisika, matematika, dan Bahasa Indonesia, maupun ilmu tentang pengelolaan kelas, serta ilmu pedagogik.

Dan yang paling utama, teman-teman kami dari FKIP tidak mendapat kesempatan merasakan atmosfir atau suasana proses belajar secara normal di sekolah, padahal itulah inti dari proses belajar mengajar di sekolah.

Hari itu, saat kami pulang dari rumah warga melakukan survey lokasi, dan secara tidak langsung kami bersilaturrahim dengan warga, tiba-tiba langkah kami terhenti di depan sebuah sekolah.

Kami prihatin melihat kondisi sekolah tersebut karena kurang terurus, mungkin karena murid-murid jarang datang padahal keberadaan merekalah yang membuat suasana sekolah menjadi hidup dan rumput-rumput seribg dipangkas.

Saat masih berdiri, kami membayangkan beberapa ekor kuda merumput di halaman sekolah itu. Kami langsung tertawa mengingat ucapan seorang ibu yang kami temui beberapa saat sebelumnya.

“Murid belajar di rumah, jarang ke sekolah.” Ternyata inilah yang dimaksudkan ibu tersebut. Murid-murid belajar di rumah karena masih belajar secara daring (online), dan jarang ke sekolah. Jarang dalam bahasa Makassar berarti kuda.

Oh, ternyata inilah maksud ibu tersebut. Anak-anak seolah belajar di rumah, sementara di sekolah-sekolah, banyak jarang atau kuda yang asyik merumput, he..he..he.. (Andi Mappanganro, mahasiswa KKN/P Unpacti Makassar)

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama