Di Balik Pers Indonesia Berduka (3-habis)

Jagat pers Indonesia berduka. Jurnalis Mara Salem Harahap alias Marsal Harahap, ditemukan tewas dengan luka tembak dan bersimbah darah di tubuhnya, Sabtu dinihari, 19 Juni 2021. Pembunuhan terhadap Marsal Harahap ini mengingatkan kita akan kasus serupa yang menimpa Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin pada 13 Agustus 1996.




------------ 

PEDOMAN KARYA

Senin, 21 Juni 2021

 

 

Di Balik Pers Indonesia Berduka (3-habis)

 

 

Catatan M Dahlan Abubakar

(Tokoh Pers versi Dewan Pers)



Kematian Udin

 

Lalu bagaimana pula dengan Udin? Udin adalah wartawan surat kabar harian asal Yogyakarta, Bernas. Semasa bekerja sebagai wartawan, Udin sudah banyak menulis laporan yang membikin telinga penguasa panas.

Sebelum tewas, Udin disibukkan dengan agenda peliputan pemilihan Bupati Bantul untuk masa jabatan 1996-2001. Ia mengikuti tiap perkembangan informasi dengan seksama. Pemilihan saat itu dianggap alot dan rumit. Pasalnya, terdapat tiga calon yang maju dan semuanya berlatar-belakang militer.

Satu calon yang mencolok ialah sang petahana, Sri Roso Sudarmo. Keikutsertaan Sri Roso dalam kontestasi pilkada cukup mengejutkan. Pasalnya, menurut pemberitahuan dari Danrem 072/Pamungkas, Kolonel (Inf.) Abdul Rahman Gaffar, Sri Roso bakal dipindahtugaskan ke daerah lain. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: Sri Roso turut serta dalam pertarungan menuju kursi kekuasaan.

Masuknya Sri Roso ke gelanggang membuka jalan bagi Udin untuk membongkar borok-borok pemerintahannya. Selama memegang kendali pemerintahan, Sri Roso dianggap tidak kompeten dan penuh praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

Maka, jadilan laporan-laporan yang sarat kritik macam “Tiga Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul”, “Soal Pencalonan Bupati Bantul: Banyak ‘Invisible Hand’ Pengaruhi Pencalonan”, “Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo”, hingga “Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis.”

Tak cuma menyerang Suroso, laporan Udin juga menampar Orde Baru yang kala itu telah berada di senjakala kuasanya.

Yang paling bikin gempar tentu laporan Udin soal surat kaleng yang isinya menuturkan ada seorang calon bupati yang diduga kuat bakal memberikan dana sebesar satu miliar rupiah kepada Yayasan Dharmais milik Soeharto.

Walaupun tidak dijelaskan siapa calon yang dimaksud, belakangan jelas bahwa sosok tersebut adalah Sri Roso. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya “surat pernyataan” bersegel yang ditulis dan ditandatangani oleh Sri Roso. Surat tersebut menjelaskan bahwa Sri Roso setuju “membantu” pendanaan Yayasan Dharmais apabila terpilih sebagai Bupati Bantul periode 1996-2001.

Dengan segala laporan yang ditulisnya, Udin bukannya tanpa kekhawatiran. Ia sadar sedang melawan tiran. Berkali-kali ia diikuti orang tak dikenal dan gerak-geriknya sering diawasi. Namun, rasa takut tak menghentikan niatnya untuk menulis dan menyebarkan kebenaran.

Keberanian itu pula yang menuntunnya pada laporan terakhir tentang dugaan kasus korupsi pembangunan jalan. Tulisan yang kelak diberi judul “Proyek Jalan 2 Km, Hanya Digarap 1,2 Km” tersebut terbit sehari sebelum Udin meninggal.

Beberapa rekan Udin pun akhirnya membuat tim investigasi pencari fakta. Dari sejumlah penyelidikan, tim menyimpulkan bahwa tewasnya Udin tak bisa dilepaskan dari berita-berita yang ia tulis. Laporan Udin dipandang memancing kemarahan penguasa. Dalang di balik pembunuhan Udin mengerucut pada satu nama: Sri Roso. Tentu Sri Roso menolak hasil penyelidikan itu.

Seminggu setelah kematian Udin, Sri Roso menggelar konferensi pers dan menyatakan sama sekali tak terlibat dalam pembunuhan Udin. Pernyataan Sri Roso juga dipertegas kepolisian. Diwakili Kapolres Bantul, Letkol Pol Ade Subardan, polisi mengatakan kasus Udin tak punya dalang dan pembunuhnya akan ditangkap dalam kurun waktu tiga hari.

Polisi memang menangkap “pelaku” pembunuhan Udin. Ia bernama Dwi Sumaji alias Iwik yang bekerja sebagai sopir di perusahaan iklan. Masalahnya, Iwik bukanlah pelaku sebenarnya. Ia hanya tumbal kepolisian.

Dalam persidangan tertanggal 5 Agustus 1997, Iwik dipaksa mengaku bahwa ia membunuh Udin. Iwik terpaksa mengaku di bawah ancaman dan pengaruh alkohol yang disuplai Serma Pol Edy Wuryanto alias Franki, Kanitserse Polres Bantul.

Iwik dijadikan tumbal untuk melindungi kepentingan bisnis, politik, serta nama baik Sri Roso. November 1997, pengadilan memvonis bebas Iwik. Majelis hakim berpendapat tidak ada bukti yang menguatkan bahwa Iwik adalah pelaku pembunuhan Udin.

Penangkapan Iwik adalah satu dari sekian keganjilan pengusutan kasus Udin. Sebelumnya, muncul pengakuan Tri Sumaryani yang menyatakan diiming-imingi sejumlah uang oleh “oknum tertentu” jika bersedia berkata pada publik dan persidangan bahwa ia berselingkuh dengan Udin. Perselingkuhan tersebut, menurut Tri Sumaryani, membikin suaminya murka dan akhirnya membunuh Udin.

Belum lagi masalah barang bukti yang dihilangkan. Lagi-lagi yang bertanggungjawab ialah Edy Wuryanto. Edy diketahui telah melarung sampel darah serta mengambil buku catatan milik Udin. Alasannya, kata Edy, demi “kepentingan penyelidikan dan penyidikan.”

Tindakan Edy digugat oleh Marsiyem, istri Udin. Pada April 1997, Majelis hakim menyatakan Edy bersalah dan dianggap melakukan tindakan melanggar hukum. Namun, Edy hanya dimutasi ke Mabes Polri, alih-alih dijerat hukuman.

Belum ada tanda-tanda kasus Udin bakal diselesaikan secara tuntas kendati telah berlalu dua dekade. Aparat masih belum bisa mengungkap siapa dalang yang membunuh Udin dan apa motif yang dibawanya.

Sri Roso memang dicokok polisi. Namun, bukan karena terlibat dalam pembunuhan Udin melainkan gara-gara kasus suap kepada Yayasan Dharmais.

Orde Baru sudah tumbang dan tergantikan oleh reformasi. Sayang, kebebasan pers masih punya pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan. Dan Udin mengingatkan kita akan hal itu.

Dua peristiwa keji terhadap wartawan tersebut mewakili dua era yang sangat berbeda. Era Orde Baru saat kebebasan pers dilumpuhkan dan era reformasi ketika kebebasan pers kebablasan. Produknya, sama, kekerasan terhadap wartawan tetap terjadi.

Oleh karena itu, kepada segenap insan pers agar tetap waspada dan lebih taat asas, mematuhi kode etik jurnalistik yang menjadi rambu-rambu. Jangan terlalu berhatap dengan hak jawab karena hak itu tidak berlaku kalau wartawan melanggar kode etiknya sendiri. Hak jawab boleh dilakukan jika ada keterangan yang diberikan perlu diluruskan dari pemberi hak jawab. Bukan diberikan karena kelalaian wartawan melakukan konfirmasi lalai menerapkan kode etik jurnalistik. (*)

-------

Artikel sebelumnya:

Di Balik Pers Indonesia Berduka (1)

Di Balik Pers Indonesia Berduka (2)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama