Makassar Bisa Tenggelam Jika Maipa Deapati Tersenyum

Jika ia kembang, hamba yakin dialah kembang dari semua kembang. Mata hamba masih percaya, mungkin itu adalah jelmaan bidadari dari kayangan. Sebab matanya kemilau laksana bintang kejora yang mengasyikkan mata, melebur hancur hati untuk menyerah bulat-bulat. Pipinya..., oh tuanku, putih kemerah-merahan, halus terasa dalam hati dijamah mata. Bibirnya…., aduh….., bisa menenggelamkan Makassar jika ia tersenyum.  



-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 06 Juli 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (34):

 

 

Makassar Bisa Tenggelam Jika Maipa Deapati Tersenyum

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

Ketika memasuki benteng, pengawal pintu gerbang melongo menyaksikan prilaku abdi Daeng Jarre. Seperti orang yang sudah kemasukan setan, tak menoleh kiri-kanan seperti yang sering dilakukannya apabila hendak memasuki kamar kedua tuannya.

Tanpa mengetuk pintu memberi isyarat lebih dahulu, suro itu melangkah masuk kamar I Tuan Jurubahasa, lalu duduk bersila dekat kaki tuannya.

Melihat suro demikian, Jurubahasa menyelidiki tanpa berkedip. Suro ini nampaknya tak sempurna lagi. Didorong hati ingin tahu apa yang telah terjadi, ia lalu bertanya.

“Hai suro..., apa yang terjadi hingga keadaanmu seperti ini? Adakah Datu Museng menganiayamu? Katakan, supaya kita bertindak mencari balas. Jika kau dipukuli, berarti kitalah yang dipukuli. Serdadu kita siap mempersilang senjata jika perlu. Katakanlah!”

Kata-kata yang dikeluarkan I Tuan Jurubahasa penuh emosi itu meletup-letup hingga terdengar sampai ke kamar kerja I Tuan Tumalompoa. Gubernur Belanda itu lalu mendatangi kamar Jurubahasa untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi.

Dalam pada itu suro Daeng Jarre belum juga menjawab. Ia masih mencoba mencoba mengumpulkan ingatan. Kini Tumalompoa sudah memasuki kamar Jurubahasa. Diambilnya sebuah kursi dan duduk dekat bawahan kepercayaannya. Kedua pembesar itu kemudian memandangi suro yang kini berangsur-angsur menjadi tenang.

“Suro, ceritakan apa yang telah terjadi, agar Tumalompoa mendengarnya pula!”

“Ampuni hamba, tuan besar, di bawah kaki paduka tuan besar... Hamba sudah menjalankan tugas, datang ke rumah karaeng Datu Museng. Tapi apa yang hamba saksikan adalah....” Daeng Jarre berhenti berkata sesaat, lalu sambungnya lagi, “Ampuni hamba, duli tuanku!”

“Ya kami mengampunimu, bicaralah!” bujuk I Tuan Jurubahasa.

“Tuan besar, hamba telah melihat apa yang belum pernah hamba saksikan.”

“Apa yang kau lihat?” Tumalompoa menyela.

“Hamba melihat bulan purnama sedang duduk di samping karaeng Datu Museng,” Daeng Jarre menundukkan kepala tersipu-sipu ketika selesai mengucapkan kata-kata itu.

“Apakah kau tidak salah lihat? Apakah itu bukan bintang?” tanya Jurubahasa.

“Jika pun bintang, maka itulah bintang dari segala bintang, tuanku!” jawab suro sambil memperbaiki sila kakinya.

“Jika ia kembang, hamba yakin dialah kembang dari semua kembang. Mata hamba masih percaya, mungkin itu adalah jelmaan bidadari dari kayangan. Sebab matanya kemilau laksana bintang kejora yang mengasyikkan mata, melebur hancur hati untuk menyerah bulat-bulat. Pipinya..., oh tuanku, putih kemerah-merahan, halus terasa dalam hati dijamah mata. Bibirnya…., aduh….., bisa menenggelamkan Makassar jika ia tersenyum. Belum lagi hidungnya yang mancung, manis tegak di antara pipi yang montok, menggelitik mata untuk memandangnya kendati hanya sekejap. Apalagi keseluruhan bentuk tubuhnya yang molek padat berisi itu. Buana ini bisa tenggelam dibuatnya. Ampun tuan besar, kelu rasanya lidah hamba untuk menggambarkan semuanya. Hamba kehabisan kata-kata. Cukup rasanya jika hamba katakan, Maipa Deapati sayang jika mati, sayang jika hilang dari dunia ini, sayang apabila maut menjembanya. Apalagi jika tanah memeluknya dan cacing mengerubutinya. Ah, sungguh sayang.... Menurut hemat hamba, tak seorang pun yang bisa sadar jika tegak dan memandang wajah puteri itu. Iman semua lelaki tanpa kecuali, pasti akan runtuh jika sanggup memandang wajahnya sedikit lama. Barangkali puteri itu bidadari yang menjelma manusia, tuanku. Itulah sebabnya hamba gagal mengucapkan kata biar sepatah pun. Otak hamba menjadi buntu, ingatan hilang dan pulang kembali dengan tangan hampa. Tuanku, hamba kembali mencari pesan yang telah hilang dalam ingatan, untuk memungut kata yang tercecer di tengah jalan. Sudah lama hamba menjadi suro, mahir bertutur mengucap kata, bersilat lidah, tapi baru kali ini hamba hilang dan hanyut dalam pikiran. Semoga tuan besar memahami keadaan hamba. Oh tuan besar..., hamba hilang dalam silauan cemerlangnya surya di pagi hari.”

Daeng Jarre berhenti berkata dan merenungi ujung sepatu Jurubahasa, seakan-akan sepatu itu yang diajak berbincang.

“Suro, pulanglah dahulu ke rumahmu untuk menenangkan pikiran. Yakinlah, yang kau saksikan itu adalah manusia biasa, bukan jelmaan bidadari. Besok laksanakan kewajibanmu dengan baik!” kata I Tuan Jurubahasa ketika dilihatnya pesuruh kepercayaannya termenung sedih.

“Tapi ingat, kewajiban jangan dilalaikan lagi,” sela Tumalompoa, yang sedari tadi mengawasi suro itu dengan dada gemuruh, karena tidak berhasil usahanya.

Lama juga suro Daeng Jarre termenung, baru minta diri. Dengan setengah jongkok ia mundur ke belakang dan hilang di balik pintu kamar I Tuan Jurubahasa.

Setelah suro meninggalkan kamar, Tumalompoa dan Jurubahasa berunding mengenai siasat yang akan dipergunakan andaikata usaha secara damai tak berhasil. (bersambung)


----

Kisah sebelumnya:

Suro Daeng Jarre Jatuh Pingsan Menyaksikan Kecantikan Maipa Deapati

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama