Sulsel Butuh Kritik Film

BUTUH KRITIK FILM. Mahrus Andis (pakai kpiah, ketiga dari kiri) foto bersama Hasan Kuba (paling kanan), Iwan Azis (pakai jaket merah), wartawan senior Machmud Salli (paling kiri) serta sastrawan Muhammad Amir Jaya (kedua dari kiri), Syahril Rani Patakkai (baju putih, topi putih, ketiga dari kanan), dan Anwar Nasyaruddin, di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Jumat, 11 November 2022. (ist)

 



-----

PEDOMAN KARYA

Ahad, 13 November 2022

 

 

Sulsel Butuh Kritik Film

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Sastrawan, Seniman, Kritikus Sastra)

 

Seusai salat Jumat, saya berbincang lepas dengan dua tokoh perfilman Sulawesi Selatan. Teaterawan Hasan Kuba dan Iwan (dua tokoh yang saya maksud) mungkin hanya kebetulan bertemu di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Jumat, 11 November 2022, tempat para sastrawan dan wartawan berbincang sambil menikmati aroma kopi.

Terlepas itu, kebetulan atau kebenaran yang direncanakan, saya merasa bahagia bertemu keduanya.

Iwan Azis Bintang dan Hasan Kuba adalah Pengurus Parfi (Persatuan Artis Film), pegiat film senior di Sulsel yang juga aktif di jurnalistik dan teater. Keduanya sudah berusia di atas 70 tahun, namun secara fisik, mereka masih tampak tegar seperti bodigar Dewan Kesenian Makassar di masa silam.

Banyak hal yang dibicarakan. Salah satu yang fokus adalah dinamika perfilman. Kata Bung Iwan, pengakuan orang luar daerah terhadap produksi film di Makassar cukup membanggakan.

Hadirnya sineas-sineas muda (film maker) menjadi tolok ukur bahwa gebrakan perfilman daerah tidak pernah surut, apalagi mati. Banyak film produksi sineas kita di daerah ini mencuat sampai ke pasar nasional. Tapi sangat disayangkan, tema-tema lokal yang digarap kurang menukik ke esensi kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan.

Iwan Aziz tidak menyalahkan, dan bahkan sangat apresiatif, atas kerja para sineas muda. Yang dia soroti adalah peran Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan yang kurang peduli terhadap orang-orang film.

Harusnya, sesuai fungsi pembinaan yang diatur dalam Undang-undang No. 5 Th 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Pemerintah Daerah memberikan porsi perhatian yang besar terhadap kerja kreatif para seniman, termasuk seniman film dan teater.

Pemda wajib menyadari bahwa film dan teater adalah media solutif untuk memosisikan Sulawesi Selatan sebagai daerah multikultural dan menjadi tolok ukur hadirnya sebuah kota metropolit yang berdimensi dunia.

Iwan juga menyentil para pegiat film di Makassar yang kurang cerdas menggarap tematik kearifan lokal leluhurnya.

Silakan menerima tema pesanan film dari luar, tapi harus tetap menjaga nilai integritas yang kita garap itu.

Sebagai contoh, Iwan Azis menunjuk beberapa film lokal yang mengangkat tema siriq na pacce (martabat kemanusiaan orang Bugis-Makassar). Alur kisahnya bagus dengan fitur-fitur lokal yang jelas, namun esensi dedikasi moralnya hilang tergerus oleh obsesi komersial dan kepentingan ekasegi.

Katakanlah, karena kepentingan pasar dan pariwisata, esensi nilai-nilai kearifan leluhur Bugis-Makassar berupa etos kerja, sopan santun atau sifat “getting” (istikamah), tidak mendapat porsi penting dalam penggarapan film.

Jadinya, kita kehilangan jatidiri dalam berkesenian. Kita telah mengorbankan kehormatan berpikir warisan leluhur dengan menjual ideologi kultural kita kepada pemodal dan pemburu “tepuk tangan” (baca: penghargaan semu).

Salah satu pemicu krisisnya moral berkesenian, khususnya perfilman, yaitu hilangnya kritik film di masyarakat. Menurut Iwan Azis, kritik film dibutuhkan untuk memberi masukan terhadap persoalan moralitas tematik cerita yang difilmkan.

“Saya sering heran. Banyak tema-tema kearifan lokal yang diangkat dalam cerita film, namun esensinya hilang,” kata Iwan Azis yang diiyakan oleh Hasan Kuba dan teman lain yang ikut mendengarkan.

Iwan menunjuk beberapa film yang bertema silariang sebagai konsep dasar penegakan nilai siriq na pacce orang Sulsel.

“Aneh dan sangat memperihatinkan. Satu tema, sebutlah contoh silariang, digarap beberapa produser, tapi esensialitas kulturnya berbeda. Harusnya esensi siriqnya tetap sama, meskipun teknik filmisnya yang berbeda, sesuai tingkat kecerdasan kreatif dan tuntutan masa kini,” jelas Bung Iwan, seraya mengunci ucapannya dan melirik ke Bung Hasan Kuba.

Bung Iwan Azis menambahkan, “Kita butuh kritik film. Ini tugas kita bersama. Pemerintah Daerah harus dibangunkan dan Dewan Kesenian Makassar tidak boleh terus berdiam diri.”

Hasan Kuba dan saya saling memandang. Lalu kami bubar. Tersisa narasi ini sebagai notulen. *

 

Makassar, 11 November 2022

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama